Foto Masa Depan

Apakah Anda punya foto Anda di masa depan? Atau foto anak-anak Anda di masa depan? Tentu saja tidak. Saya pun tidak punya foto dari masa depan. Ya, semua foto yang kita miliki sekarang adalah foto masa lalu. Bisa foto sejam lalu, sehari lalu, atau bertahun-tahun lalu.

Foto-foto masa lalu itu biasanya membangkitkan kenangan. Dulu, ketika kita masih kecil. Setelah menatap foto, kita menyadari, “Wah, sekarang aku sudah tua dewasa.” Atau foto anak-anak kita, lantas kita bergumam, “Sekarang anak ini sudah besar.”

Beberapa detik selanjutnya kita masih membayangkan kejadian-kejadian, waktu-waktu yang berlalu antara foto tersebut dengan sekarang. Mungkin ada beberapa penyesalan, kesedihan, atau kebahagiaan saat melamunkannya. Ya, begitulah kalau kita melihat foto-foto masa lalu.

Tapi, bagaimana jika kita melihat foto-foto masa depan? Apa kira-kira yang ada dalam pikiran kita? Hmm… sebentar, saya bayangkan. Mungkin begini jadinya…

“Ternyata, sekarang aku masih muda, masih bertenaga, punya banyak peluang, dan kesempatan.”

“Wah, ternyata anakku sekarang masih kecil, ya. Badannya saja yang gede. Pantas saja dia masih suka manja dan susah dinasihati.” (hehehe..)

Mungkinkah demikian?

Jika ada foto masa depan, mungkin kita akan lebih bisa menikmati, mensyukuri, dan berbahagia di masa sekarang. Atau malah tak sabar ingin segera menikmati masa depan. Tapi foto masa depan itu tidak ada. Masa depan masih tetap dengan ciri khasnya, misterius.

Dan kita pun kembali ke foto-foto masa lalu, kembali mengenang memori-memori. Tapi kini kita bisa bergumam, “Insyaallah, aku masih punya masa depan untuk dirajut mulai sekarang” dan lebih berbahagia menikmati masa-masa ini. :)

***

Tulisan aneh bin ajaib apa ini, ya? Haha..

Sejatinya ada kata-kata yang berjubel di dalam benak tapi sungguh tak mudah diungkap. Kata-kata itu, dan tulisan ini, terinspirasi oleh sebuah unggahan yang sangat menyentuh hati dari mentor menulis saya. Berikut unggahannya:

View this post on Instagram

Melihat Fesbuk menyodorkan foto-foto memori, seringkali saya merasa perih tiba-tiba. Bukan tentang seting tempatnya. Tapi tentang bocah perempuan itu. . Saya seolah baru menyadari, bahwa dia pernah sekecil itu. Pada waktu itu, di mata saya dia tampak sudah gede. Tentu karena saya membandingkannya dengan ingatan saya dari waktu-waktu sebelumnya, saat dia lebih kecil lagi, dan tidak bisa membayangkan rupa dan bentuknya di masa sesudahnya. . Maka, kadang saya pun memperlakukannya sebagai anak gede. Di sela relasi sayang-sayangan dengan anak, sering saya mengomelinya, bahkan pernah juga dengan keras memarahinya. Sampai dia menangis, mungkin sampai menyisakan luka diam-diam di dasar perasaannya. . Sekarang saya jadi menyesal. Ternyata waktu saya memarahinya dulu, dia masih sekecil itu. Dan saya menyadari bahwa dulu dia sekecil itu ya karena hari ini saya melihat dia sudah jauh lebih besar. . Sepuluh tahun lagi dia akan jauh lebih besar lagi, dan mungkin di hari itu lagi-lagi saya menyesal mengingat bahwa saya memarahinya di hari ini.

A post shared by Iqbal Aji Daryono (@iqbalkita) on




Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik