Posts

Menemukan Dua Hal yang Penting

Dalam perjalanan mengembangkan diri, saya menyadari ada dua hal yang penting sekali untuk diatasi. Sebelum dua hal ini ditemukan, disadari, saya rasa akan sulit perjalanan ini untuk menemukan ujungnya. Pertama, adalah mengetahui apa kelemahan terbesar kita. Kelemahan itu bisa sesuatu yang memang tidak kita sukai, atau bahkan sesuatu yang kita benci, atau sesuatu yang kita takuti dan sangat hindari. Bisa juga sesuatu yang sangat sulit untuk kita lakukan. Kelemahan ini sebaiknya kita sadari segera agar bisa dicari solusinya, dan supaya usaha kita ke depannya tidak mandeg . Well , saya pribadi menyadari bahwa kelemahan terbesar saya adalah sulit bagi saya untuk bisa konsisten. Istikamah. Dan saya menyadari bahwa ini fatal sekali.  Pasalnya, dari banyak sumber, ustadz, guru, narasumber, buku-buku, seringkali saya menemukan pernyataan bahwa konsistensi adalah kunci. Jelas, dalam beribadah pun konsisten itu sangat penting. Bahkan dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Aisyah ra., Rasululla

Mencari Ketenangan, Melupakan Sumbernya

  “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28) Dalam perjalanan pencarian rumah, berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain, saya dan suami mengobrol dan merenungkan, sebenarnya untuk apa kita berpindah-pindah? Untuk apa membeli rumah? Toh, tidak ada salahnya mengontrak. Ya, sebenarnya doktrin bahwa membeli rumah adalah sebuah kewajiban itu memang diturunkan dari orang tua saya. Bukan hal yang aneh, ketika orang tua berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Dan bagi ibu saya, kehidupan lebih baik itu salah satunya adalah dengan memiliki rumah sendiri. Pasalnya, ibu saya sejak dulu hidup di rumah kontrakan. Saya masih ingat, sekitar 22 tahun lalu, pertama kalinya pindah dari rumah yang saya tempati sejak lahir. Kala itu kami pindah karena si pemilik kontrakan ingin membangun ulang area itu, sehingga kami, dan beberapa tetangga, terpaks

Hal-Hal yang (Bukan) Rahasia

“Rahasia!” kata seorang perempuan berusia paruh baya, sambil malu-malu. Ia lebih tampak seperti orang yang ingin membeberkan rahasia, tapi tidak ingin benar-benar kelihatan begitu. Paham, kan, maksudnya? “Ih, kasih tahu, dong. Ke mana, sih, orang itu? Kok, katanya ngga pulang ke rumahnya, ya?” sahut seorang perempuan lawan bicaranya yang jelas terpancing umpan “rahasia” tadi. “Ibunya aja nggak tahu, lho, dia ke mana.” “Ke mana, sih, emangnya?” Pergunjingan dua ibu-ibu itu pun berlanjut, makin seru. Keduanya tampak begitu antusias. Yang satu semangat membocorkan rahasia berupa aib orang, yang satu tak kalah gigih mengulik aib orang. Sialnya, saya justru merasa risih sekali karena tidak sengaja mendengar obrolan tadi di warung saat sedang belanja.  Entah mengapa, rasanya obrolan langsung mendadak seru kalau sudah ada kalimat seperti itu. Ketika dibilang rahasia, semua justru ingin mendengarnya. Sama seperti kalau dibilang “jangan”, malah tergoda untuk melakukannya.  Padahal, kalau sudah

Sekolah Mahal atau Sekolah Gratis?

Akhir-akhir ini (katanya) sedang ramai dibahas tentang biaya SDIT yang mahal. Isu-isu seperti ini memang wajar mencuat di masa akhir/awal tahun ajaran. Banyak orang tua yang berburu sekolah bagi anak-anaknya. Terlepas dari masih semrawutnya pendidikan di Indonesia, sebenarnya opsi sekolah di kota-kota besar cukup banyak. Mau yang gratis? Ada sekolah negeri. Mau yang berbayar? Banyak sekolah swasta. Masalah kualitas memang tidak bisa disamaratakan. Tinggal dipilah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Tidak ada yang sempurna, tentu saja. Nah, masalahnya, ketika ingin spek mahal dengan harga murah. Lalu, karena kesal, mulai menyebut kalau ilmu seharusnya tidak mahal, pendidikan bukan bisnis, dst. Di sinilah kita harus melihat dari dua sisi. Saya teringat dalam novel Janji karya Tere Liye. Di salah satu bagian disebutkan bahwa “ilmu itu gratis”. Sepertinya senada dengan protes sekolah mahal, kan? Sebenarnya tidak demikian. “Ilmu itu gratis” adalah pemahaman yang bagus jika dipegang

Why Do You Make Me Do This?

Why do you make me do this? Itulah pertanyaan si sulung ketika bius sunatnya habis. Sambil teriak kesakitan, dia mengatakan itu.  Aku jawab karena dokter yang menyarankan, tapi dia tidak terima jawaban itu. Tentu saja. Aku tahu anak ini perlu jawaban yang bisa dia terima untuk rasa sakit yang sebesar itu. Namun, menjelaskan bahwa khitan adalah kewajiban agama di tengah kondisi yang tidak tenang seperti itu rasanya tidak bagus. Aku ingin dia bisa menerima dengan baik, bukan ketika marah-marah dan menyimpulkan kalau kewajiban satu ini menyakitkan. Di situ aku kembali terpikirkan, bahwa semua ada saatnya. Tidak harus semuanya diketahui sekarang. Salah satu contohnya, tentang pernikahan dan kehidupan setelah akad nikah.  Adikku pernah bertanya, ”kenapa kita ga dikasih tahu ini semua dulu sebelum menikah? Sejak dulu?”  Itu pertanyaan yang muncul setelah dia membaca-baca di Twitter, entah dari mana, membahas masalah-masalah pernikahan.  Well, aku hanya menjawab bahwa memang tidak semua harus

Yang Baru Kutahu tentang Khitan

Karena tidak punya saudara laki-laki, saya benar-benar buta tentang sunat menyunat alias khitan. Dan ketika anak sulung sunat hari Minggu lalu, barulah saya menyadari beberapa hal tentang khitan ini. Pertama, selain proses sunat itu sendiri, yang juga butuh kesabaran adalah proses penyembuhannya. Tadinya saya pikir, setelah melewati proses sunat, maka sudah selesai. Yaa tinggal penyembuhan layaknya penyembuhan luka pada umumnya begitu. Seperti habis lahiran normal lah, bahkan setelah selesai dijahit sudah tidak sakit lagi. Ternyata tidak! Proses penyembuhan khitan ini bahkan mungkin lebih menantang dibanding khitannya yang hanya 20 menit itu. Mungkin karena ada bagian yang dihilangkan, ya, jadi sakitnya pun luar biasa. Terutama ketika efek bius habis, aku agak kaget juga karena anaknya teriak-teriak kesakitan. Untunglah keluarga suami sudah tidak heran, dan katanya memang wajar. “Dulu bapaknya juga gitu,” kata mereka. Setelah obat painkiller bekerja, alhamdulillah sakitnya hilang, tid

Untuk Apa?

Day 23 (Eksistensi) { ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ } “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” [Surah Al-Mulk: 2] Kadang, atau malah sering, terutama kalau lagi masa-masa sulit, masa-masa sedih, atau lagi lelah, atau pikiran terombang-ambing, kemudian bertanya-tanya, untuk apa siy sebenarnya hidup ini? Lalu teringat perkataan Allah dalam surat Al Mulk ayat 2. Memanglah dunia ini ya ujian. Sejatinya semuanya ujian. Jadi, jangan heran ketika merasa sedih, lelah, capek, sulit, karena ya, memang sedang diuji. Bahkan harta dan kesenangan juga sebenarnya adalah ujian. Iya ya… Kalau sudah begini, hanya bisa berdoa semoga kita lulus ujian. Semoga ujian ini bukanlah penambah dosa, melainkan penambah pahala. Semoga ujian ini mendatangkan sabar dan syukur, bukan marah dan takabur. Alhamdulill. Kalau begitu, memang semu