Kawanku Luar Biasa
Dalam tulisan kali ini, izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman beberapa tahun silam yang sangat berharga. Pengalaman langka bagi saya. Semoga kita bisa sama-sama mengambil pelajaran dari pengalaman sederhana ini. Oh, ya, cerita kali ini adalah kisah nyata yang saya rangkum dalam bentuk faksi alias fakta yang difiksikan. Hehe.
Hari ini aku mengumpulkan data untuk skripsi. Beberapa siswa SD yang menjadi subjek penelitian kuukur TB dan timbang BB mereka, kuminta berlari di lapangan, kemudian aku mencatat waktu dan denyut nadi mereka. Kurang lebih begitu. Terdengar sederhana, bukan? Nah, tantangan sebenarnya dari pengumpulan data ini adalah mengajak para siswa melakukan sesuai instruksi. Ini cukup memakan waktu, tenaga, dan kesabaran. Pasalnya, subjek penelitianku ini bukan anak-anak biasa, mereka luar biasa. Mereka adalah siswa dengan mental retardation tingkat ringan sampai sedang. Jadi, berkomunikasi dengan mereka agak sulit, apalagi bagi orang awam sepertiku.
Tugasku hampir selesai, tinggal dua siswa lagi yang perlu menjalani pengukuran dan tes lari, sebut saja Ardi dan Ridho. Ardi adalah siswa kelas IV dengan berat badan melebihi standar. Di usianya yang baru sekitar 12 tahun, beratnya mencapai 90 kilogram. Dengan kondisi ini tentu Ardi kurang leluasa bergerak. Sementara Ridho, siswa kelas IV yang sudah berusia 16 tahun. Ya, 16 tahun. Di sekolah luar biasa ini memang usia siswa tidak menjadi patokan kelas mereka. Mungkin pengelompokkan kelas lebih pada kemampuan akademik masing-masing anak. Ridho berperawakan tinggi, dengan berat badan ideal, namun ia sangat pendiam. Beda dengan Ardi yang agak lebih aktif bicara.
Aku memberi instruksi pada Ardi dan Ridho untuk membuka sepatu kemudian naik ke atas timbangan. Keduanya bisa memahami dan mengikuti instruksi walaupun perlahan. Saat itu siswa lain sedang bebas bermain karena waktunya istirahat. Ardi dan Ridho bergantian naik ke timbangan. Ardi sambil cengengesan, sementara Ridho dengan wajah yang sangat datar.
***
Pagi menjelang siang, kala itu matahari tersenyum. Sinarnya cerah memancar ke bumi. Walaupun belum tengah hari, tapi panas mulai terasa. Ingin rasanya segera leyeh-leyeh saja. "Sebentar lagi selesai", batinku.Hari ini aku mengumpulkan data untuk skripsi. Beberapa siswa SD yang menjadi subjek penelitian kuukur TB dan timbang BB mereka, kuminta berlari di lapangan, kemudian aku mencatat waktu dan denyut nadi mereka. Kurang lebih begitu. Terdengar sederhana, bukan? Nah, tantangan sebenarnya dari pengumpulan data ini adalah mengajak para siswa melakukan sesuai instruksi. Ini cukup memakan waktu, tenaga, dan kesabaran. Pasalnya, subjek penelitianku ini bukan anak-anak biasa, mereka luar biasa. Mereka adalah siswa dengan mental retardation tingkat ringan sampai sedang. Jadi, berkomunikasi dengan mereka agak sulit, apalagi bagi orang awam sepertiku.
Tugasku hampir selesai, tinggal dua siswa lagi yang perlu menjalani pengukuran dan tes lari, sebut saja Ardi dan Ridho. Ardi adalah siswa kelas IV dengan berat badan melebihi standar. Di usianya yang baru sekitar 12 tahun, beratnya mencapai 90 kilogram. Dengan kondisi ini tentu Ardi kurang leluasa bergerak. Sementara Ridho, siswa kelas IV yang sudah berusia 16 tahun. Ya, 16 tahun. Di sekolah luar biasa ini memang usia siswa tidak menjadi patokan kelas mereka. Mungkin pengelompokkan kelas lebih pada kemampuan akademik masing-masing anak. Ridho berperawakan tinggi, dengan berat badan ideal, namun ia sangat pendiam. Beda dengan Ardi yang agak lebih aktif bicara.
Aku memberi instruksi pada Ardi dan Ridho untuk membuka sepatu kemudian naik ke atas timbangan. Keduanya bisa memahami dan mengikuti instruksi walaupun perlahan. Saat itu siswa lain sedang bebas bermain karena waktunya istirahat. Ardi dan Ridho bergantian naik ke timbangan. Ardi sambil cengengesan, sementara Ridho dengan wajah yang sangat datar.
Setelah selesai, kuminta mereka memakai sepatu lagi. Ridho langsung melakukannya. Tapi Ardi ternyata kesulitan. Sambil duduk, Ardi coba menggapai ujung kakinya untuk memakai sepatu, tapi tidak bisa karena fisiknya yang terlalu gemuk. Saat itulah, tanpa diminta, Ridho langsung membantu Ardi memakai sepatu. Layaknya seorang ibu yang sabar, Ridho mengangkat kaki Ardi dan memasukkannya ke dalam sepatu, satu per satu.
Saya tertegun. Terdiam. Terharu. Ah, campur aduk rasanya. Kejadian itu begitu singkat, begitu simpel sampai mungkin tak ada yang memperhatikan. Tapi kenapa saya begitu terenyuh? Seorang pemuda dengan tulus memakaikan sepatu kawannya, tanpa ada balasan apapun, bahkan tanpa ucapan terima kasih. Tapi keduanya bahagia. Rasanya, di tempat lain, aku belum pernah melihat adegan seindah ini. Duh, mungkinkah ini hanya ke-lebay-anku saja?
Tidak, aku yakin ini bukan hanya perasaanku saja. Mereka memang luar biasa.
#30DWC
#30DWCJilid21
#Day12
#ImWritingInLove
***
Demikian pengalaman saya. Sungguh keindahan hal yang saya lihat waktu itu tak bisa saya gambarkan dengan baik. Tapi semoga bisa menginspirasi kita untuk berbuat baik kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja. #30DWC
#30DWCJilid21
#Day12
#ImWritingInLove
Comments
Post a Comment