Kebablasan
Ada satu hal yang saya benci dengan adanya media sosial saat ini. Saya benci ketika orang-orang seenaknya menuangkan perasaan dan menganggap diri yang paling benar. Contohnya ketika seseorang mengunggah foto anaknya, kemudian ada yang berkomentar "hidungnya pesek, ya", maka pemilik foto alias orang tua si anak langsung emosi tingkat tinggi. Kemudian komentar tulus nan jujur itu disebut body-shaming. Selanjutnya muncullah gerakan massal menentang body-shaming.
Padahal, jika dipikirkan baik-baik, dengan kepala dingin dan hati damai, apa yang salah dengan komentar "hidungnya pesek, ya" tadi? Orang tersebut hanya bilang bahwa hidung anak di foto itu pesek, that's all. Orang itu tidak bilang pesek itu jelek. Apa yang salah dengan pesek? Saya rasa tidak ada yang salah atau memalukan dengan hidung pesek. Sama sekali tidak ada. Banyak orang cantik atau ganteng yang berhidung pesek. Jadi, komentar tersebut sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Apalagi sampai dilabeli body-shamming.
Padahal, jika dipikirkan baik-baik, dengan kepala dingin dan hati damai, apa yang salah dengan komentar "hidungnya pesek, ya" tadi? Orang tersebut hanya bilang bahwa hidung anak di foto itu pesek, that's all. Orang itu tidak bilang pesek itu jelek. Apa yang salah dengan pesek? Saya rasa tidak ada yang salah atau memalukan dengan hidung pesek. Sama sekali tidak ada. Banyak orang cantik atau ganteng yang berhidung pesek. Jadi, komentar tersebut sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Apalagi sampai dilabeli body-shamming.
Ada yang bilang, "tidak ada yang bisa membuat kita sedih kecuali yang kita izinkan", kurang lebih begitu, dan dalam hal ini saya setuju. Ketika seseorang merasa tersinggung dikomentari "pesek", mungkin sebenarnya dalam dirinya sendiri ada rasa tidak percaya diri dengan hidung pesek itu.
Selain body-shaming, ada lagi book-shaming yang sebenarnya juga tidak perlu. Apa itu book-shaming? Singkatnya, book-shaming itu merendahkan bacaaan orang lain. Contoh, “ih, udah gede kok masih baca komik?”. Nah, tapi lagi-lagi, apakah semua komentar demikian disebut merendahkan? Sebetulnya tidak perlu terlalu sensitif (baca: baper) dalam menanggapi komentar orang lain. Jika ada yang bertanya demikian cukup jawab dengan jujur, misal, “iya, baca komik bikin ketawa sih, daripada baca yang berat-berat, pusing gue”. Itu mungkin jawaban saya kalau ditanya demikian.
Karena memang tak dipungkiri, ada bacaan-bacaan yang untuk memahaminya butuh mikir keras. Saya sih mikirnya, “ngapain baca buku berat gitu? Tambah stres bisa-bisa”. Tapi tentu si pembaca buku-buku berat itu tidak perlu merasa tersinggung. Toh, mereka enjoy dengan bacaan tersebut. Intinya, tidak perlu terlalu baper dalam menanggapi komentar orang lain. Selama kita pede, happy dan enjoy dengan yang kita miliki atau yang kita lakukan, yaa santai aja.
Kalau setiap komentar kita labeli dengan shaming, alhasil akan sangat banyak shaming-shaming lainnya yang harus kita urusi, kita perjuangkan. Ujung-ujungnya, orang akan malas komentar apapun, apapun. Karena semua orang terlalu baper dan hanya mau mendengar komentar yang bagus.
Eh, atau ini saya yang terlalu cuek ya?
#30DWC
Eh, atau ini saya yang terlalu cuek ya?
#30DWC
#30DWCJilid21
#Day19
Comments
Post a Comment