28 October 2020

Pengalaman Covid-19 di Keluarga

 

Gambar: Pixabay


Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shalihat.. Per tanggal 12 Oktober lalu, suami saya sudah diperbolehkan keluar RS setelah dirawat selama delapan hari. Dan di tanggal 17 Oktober, isolasi mandiri anak saya juga sudah resmi selesai.

Nah, di tulisan kali ini saya akan cerita ngalor-ngidul tentang mampirnya si covid di keluarga saya. Ini lumayan panjang karena mostly curhat. Hahaha.

Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa teman-teman semua ambil dari pengalaman saya ini. :)

Awalnya itu tanggal 24 September 2020, suami mulai batuk kering dengan frekuensi jarang. Esoknya mulai mengeluh sakit tenggorokan. Dari sini saya sudah curiga covid dan langsung meminta suami memakai masker, saya juga. 

Hari Sabtunya, kecurigaan makin besar karena suami demam, dan hari Minggu memutuskan untuk rapid test. Hasilnya non reaktif, dan diberikan obat oleh dokter. Saya sendiri sangsi dengan hasil rapid test, sudah banyak kasus rapid test ini false negative kan. 

Mertua saya pun yang sudah lebih dulu covid, ya, begitu, rapid test beberapa kali hasilnya negatif padahal gejala sudah muncul.

Hari Minggu malam, anak saya yang berusia tiga tahunan juga demam. Dia demam semalaman dan tidurnya rewel, biasalah anak-anak kalau demam. Alhamdulillah pagi harinya demamnya sudah hilang dan anaknya aktif seperti biasa, tidak ada batuk dan lain-lain. Nafsu makannya pun normal, jadi saya tidak khawatir lagi. Alhamdulillah.

Tapi di hari Senin itu justru saya sendiri yang demam seharian. Badan terasa pegal-pegal, kepala pusing, lidah rasanya pahit, ga nafsu makan, kaki meraung-raung minta dipijitin, pinginnya leyeh-leyeh seharian. Wkwk. 

Alhamdulillah keluhan itu hanya sehari, besoknya demam saya sudah hilang, makan sudah mulai enak, pegal juga tinggal sedikit. Hanya masih terasa agak pusing. Alhamdulillah juga saya batuk tuh hanya sedikit sekali.

Di sisi lain, suami walaupun demamnya juga sudah turun dan tenggorokan tidak sakit, tapi batuknya belum mereda. Malah semakin menjadi-jadi. Masih lemas juga, dan nafsu makan juga hilang karena lidah masih pahit.

Akhirnya dia ke dokter lain lagi, dan dikasih obat lagi. Tapi ngga ngaruh juga. Batuknya semakin menjadi, dan mulai muncul sesak nafas. Di hari Jumat, 2 Oktober, suami tes swab mandiri. Sehari kemudian keluar hasilnya positif covid. Pihak klinik tempat swab pun langsung menghubungi puskesmas sesuai tempat tinggal.

Jadi klinik ini memang koordinasi dengan puskesmas. Jika ada hasil swab positif maka akan langsung lapor ke puskesmas untuk tindak lanjut. 

Kira-kira sejam setelah dikabari hasilnya, suami langsung ditelepon oleh petugas puskesmas setempat dan diberitahu kalau akan dijemput dengan ambulans hari itu juga. Karena suami ada keluhan batuk dan sesak, petugas puskesmas meminta suami dirawat di RSOB.

Di situ saya lega karena kalau di RS kan akan terpantau setiap hari oleh dokter, dan diberi pengobatan yang sesuai. Walaupun covid ini belum ada obatnya, tapi dokter taulah mana medikasi yang pas, karena diagnosisnya sudah jelas.

Tindak lanjutnya adalah saya dan anak harus tes swab juga. Kami dijadwalkan tes hari Senin, tes swab di RS Embung Fatimah. Waktu dan tempat swab ini ditentukan oleh puskesmas, ga bisa milih sendiri yak. Ini beda-beda siy di provinsi lain.

Mertua saya yang sudah lebih dulu covid, di Jakarta, diarahkan untuk swab sekeluarga di puskesmas setempat. Sedangkan di Batam ini swab untuk tracing dilakukan di RS.

Untuk swab, saya ditawari mau dijemput ambulans atau berangkat sendiri. Tentu saya pilih berangkat sendiri, yak. Biar ga heboh. Lagipula si bocil ditanya mau naik ambulans atau ngga jawabnya ga mau..hahaha..

Berbekal kemampuan nyetir dan parkir yang masih ecek-ecek, saya beranikan diri nyetir ke RSUD Embung Fatimah. Sampai sana, bocil nangis ga mau turun gara-gara saya bilang nanti idungnya dikorek. Hahaha.. Akhirnya bujuk rayu dulu lah ya. 

Di gedung Tun Sundari RSUD Embung Fatimah (tempat khusus swab), saya setorkan dulu fotokopi KTP dan KK, lalu menunggu dipanggil. Banyak juga yang tes, dan rata-rata keluarga (suami istri dan anak-anak). Ketika tiba giliran kami, seperti yang sudah diprediksi, si bocil meraung-raung ga mau diswab. Untunglah swab ini cepat, petugasnya juga telaten sekali jadi tetap bisa walaupun anaknya nangis-nangis.

Ada juga anak balita yang ga nangis lho pas di-swab, anteng-anteng aja gitu kayak nothing happen.

Saya sendiri siy ngerasanya ga sakit, tapi bikin geli-geli nyebelin gimana gitu. Swab pun tergantung petugas juga. Ada yang bisa nge-swab dengan lembut dan minim efek, ada yang bikin perih. Suami saya pertama di-swab itu katanya perih, tapi ketika swab kedua ketiga tidak begitu.

Dua hari kemudian hasil swab keluar. Saya dikabari via WA oleh petugas puskesmas. Hasilnya, saya negatif, sedangkan anak saya positif. Sebagai catatan, walaupun suami sudah dibawa ke RS, saya tetap pakai masker di rumah, termasuk saat tidur. Karena ada kemungkinan semacam ini, hasil swab beda. Dan ternyata benar.

Saya sempat mengira justru swab saya yang positif dan anak yang negatif. Tapi ternyata malah sebaliknya.

Awalnya anak diminta isolasi di RS bersama bapaknya. Tapi dengan berbagai pertimbangan, saya meminta isolasi mandiri untuk anak, dan alhamdulillah diizinkan.

Suami dirawat di RSOB selama delapan hari. Alhamdulillah hasil swab sudah negatif, dan sudah boleh pulang dengan dibekali vitamin. Sementara anak selama 14 hari isolasi mandiri tidak ada gejala, jadi dinyatakan sembuh jg. Alhamdulillah.

Saya pribadi mengajukan isolasi mandiri karena anak tidak ada gejala, aktif, nafsu makan pun baik. Kedua karena di rumah hanya ada saya dan anak, tidak ada orang tua/saudara yang berisiko tertular. Ketiga karena anak masih balita dan belum bisa mandiri. 

Keempat karena saya ansos. Wkwk. Tapi serius sih, kalau saya tipe yang sering dikunjungi tetangga mungkin jadi bahaya untuk isolasi mandiri. Dan selama 14 hari isolasi mandiri ini saya laporan ke petugas puskesmas terkait kondisi kesehatan anak dan saya.

Yang perlu digarisbawahi, untuk isolasi mandiri ini ada kriterianya ya, ga bisa sembarangan. Dan tiap provinsi bisa jadi beda kebijakan terkait ini. Untuk kriteria isolasi mandiri bisa dilihat di gambar berikut:

Sumbernya dari KMK 413, lebih jelasnya bisa dibaca di link berikut:

https://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/kmk/kmk_no._hk.01.07-menkes-413-2020_ttg_pedoman_pencegahan_dan_pengendalian_covid-19

Sedangkan untuk DKI Jakarta punya kriteria lebih ketat terkait isolasi mandiri:


https://www.instagram.com/p/CGCAo_sArvU/?igshid=s3who8ea0wvm

Saran saya, sekali lagi, banyak berdoa, patuhi protokol kesehatan, dan jangan panik. Bagi Anda yang sehat, ingatlah, Covid ini masih penyakit baru dengan tingkat keparahan yang beragam. Ada yang tanpa gejala, ringan, ada juga yang berat bahkan sampai meninggal. Tak hanya lansia, penderita Covid usia produktif pun banyak yang bergejala berat bahkan meninggal. Jadi jangan anggap sepele. Better safe than sorry.

Sedangkan bagi Anda yang saat ini positif Covid, atau jika ada keluarga yang positif Covid, tetap semangat, jangan putus asa. Menurut data, sebagian besar pasien Covid bisa sembuh. Insyaallah, badai pasti berlalu. :))

Sekian sharing yang panjang dan lama dari saya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.


Share:

20 October 2020

Me Time, Kawan atau Lawan?

(Gambar: Pixabay)


Me time ini bagi saya menjadi kata-kata yang agak mengerikan. Kenapa? Karena kalau mendapatkan me time, jadi senang, happy. Tapi sebaliknya, ketika tidak sempat ber-me time ria, jadi sebel sendiri.

Kebanyakan me time, jadi menghanyutkan. Kurang me time bikin esmosi. Me time bisa menjadi kawan atau lawan. Sebagaimana banyak hal lainnya. Sama seperti kata “produktif”, ketika merasa kurang produktif, jadi merasa kurang berguna, kurang bermakna.

Padahal, baik “me time” maupun “produktif” adalah dua kata yang bisa memiliki definisi berbeda pada tiap orang. Bukan sesuatu yang baku atau mengikat. Jadi, kalau saya sering pusing sendiri dengan dua kata ini, sebenarnya karena definisi yang saya sematkan pada dua kata tersebut. 

Seperti kata Ivan Lanin, kata-kata itu netral, diri kita sendirilah yang memberi makna negatif atau positif pada kata tersebut.

Sebagian orang mengatakan bahwa me time itu tidak perlu, atau tidak ada. Menurut saya, ini kembali lagi pada definisi tadi. Jika me time diartikan sebuah keadaan yang harus sendirian dan melakukan sesuatu, maka bisa jadi tidak semua orang membutuhkan itu. 

Namun, bila me time adalah istirahat atau refreshing, maka saya yakin semua orang membutuhkannya, dengan cara dan dosisnya masing-masing. Ada yang me time dengan kumpul bersama teman, ada yang makan-makan, ada yang olahraga. Ada juga yang membaca, menulis, atau sekadar bermesraan dengan kasur.

Ada pula yang melakukan refreshing dengan beberes rumah. Why not? As long as it makes us feel refreshed. Saya sendiri melakukan cara-cara di atas sebagai me time. Misal dengan menelepon teman yang jauh di sana, atau membaca, menonton.

Tapi saya tidak me time dengan tidur, kecuali memang capek banget, barulah waktu yang ada untuk me time saya gunakan untuk tidur. Sejak kecil saya tidak suka tidur siang. Bahkan waktu kecil, ketika tidur malam pun saya tak jarang terbangun tengah malam saat mendengar suara TV.

Ternyata TV masih menyala karena ibu saya sedang menonton Mahabarata yang diputar tengah malam. Dan saya ikut nonton. Dan sekarang saya merasa bersalah melakukan itu, karena bisa jadi itu me time untuk ibu saya, dan saya dengan santainya mengganggu menemani. Wkwk.

So, what’s your “me time”?


Share:

15 October 2020

Ketika Suami Positif Covid, What To Do?

(gambar: Pixabay)


Sekitar dua minggu lalu, suami saya positif Covid-19 dan harus dirawat di RS. Alhamdulillah setelah delapan hari dirawat, hasil swab sudah negatif dan boleh pulang. Mengingat banyaknya kasus Covid-19 di Indonesia, saya yakin banyak istri memiliki pengalaman yang kurang lebih sama, menghadapi keadaan ketika keluarga inti positif Covid-19.

Namun, saya tetap merasa perlu menuliskan pengalaman ini karena beberapa alasan. Pertama, sebagai bagian dari promosi kesehatan. Kedua, untuk belajar dari pengalaman orang lain. Ketiga, karena pandemi ini mungkin masih akan berlangsung lama (2 tahun? 3 tahun? who knows), dan masih sangat diperlukan sosialisasi.

Oke, jadi, ketika suami positif, apa yang perlu dilakukan?

Jangan Panik

Tetap tenang dan jangan panik. Ini modal penting menjaga kewarasan emak-emak ketika head to head dengan Covid. Saya pribadi ketika suami positif Covid sebenarnya tidak kaget lagi. Karena gejalanya sudah muncul sejak seminggu sebelumnya, dan sudah sangat curiga bahwa itu Covid. Jadi saya memang mendorong suami untuk swab. 

Pasalnya, gejala yang dialami suami tak kunjung reda. Daripada dia minum obat ini itu tapi ngga tepat sasaran, lebih baik langsung ketahuan sakitnya dan dirawat sesuai keluhan. Ketika suami akhirnya masuk RS, saya lega karena tahu dia berada dalam penanganan yang tepat. 

Nah, bagaimana agar tidak panik? Penting untuk membekali diri dengan pengetahuan seputar Covid. Dalam hal ini saya berterima kasih sekali pada grup WA alumni FKMUI angkatan saya yang banyak memberi info valid seputar Covid--saya siy silent reader aja hehe. Beberapa teman di grup itu juga menceritakan pengalaman ketika mereka dan keluarganya tertular Covid. Itu membuat saya tidak panik ketika akhirnya Covid ini datang.

Hindari hoaks. Ada yang jadi panik karena hoaks, ada juga yang justru kelewat santai. Intinya carilah info yang valid. Saya rekomen akun IG dokter @adamprabata untuk info-info valid seputar covid. Berhati-hati juga dengan banyaknya info tentang "obat covid", teliti baik-baik info yang didapat sebelum menerapkannya.

Selanjutnya tentu banyak berdoa, ikhlas, dan menikmati keadaan--dan menuliskannya juga kalau saya. Sedih boleh, tapi jangan berlebihan, karena Covid ini panjang urusannya. Harus siapkan mental menghadapi prosedur selanjutnya--yang menguras emosi. 

Ikuti Prosedur

Ketika keluarga ada yang positif, maka prosedurnya adalah keluarga terdekat yang satu rumah juga harus menjalani tes swab. Ini yang membuat saya agak deg-degan siy. Bukan masalah hasil tesnya, karena saat itu saya yakinnya kami positif. Lha wong kami kontak erat. Saya justru lebih deg-degan membayangkan reaksi anak saya (3 tahunan) ketika diambil sampel alias di-swab. 

Alhamdulillah, anak saya memang meraung-raung ketika di-swab, tapi sebentar aja nangisnya. Swab-nya juga cepat, hanya beberapa detik, dan setelah selesai langsung berhenti nangisnya. Tidak sedramatis yang saya bayangkan. Hehe. 

Nah, prosedur ini ikuti saja, walaupun mungkin Anda dan anak merasa tidak ada gejala.

Isolasi mandiri

Ketika hasil swab belum keluar, tetap isolasi mandiri dulu. Tidak keluar rumah, dan jangan kontak erat dengan siapa pun karena bisa jadi Anda atau anak menularkan virus. Saya sih tidak masalah dengan isolasi ini, tanpa Covid pun saya sehari-hari memang hanya di rumah saja. 

Belanja-belanja keperluan bisa dilakukan secara online, via aplikasi, atau minta tolong teman.

Cuek menghadapi stigma

Sejujurnya saya tidak mengalami stigma ini karena saya tergolong ansos. Hyahahah. Hanya satu tetangga yang saya kenal baik, dan satu tetangga ini berpikiran terbuka serta aktif memberi dukungan dan bantuan. Alhamdulillah.

Jadi saya tidak mengalami apa yang teman saya alami--dijauhi tetangga. Mungkinkah ini hikmah menjadi ansos saat pandemi? Wkwk. Jangan ditiru, ya. 

Tapi jika Anda mengalami perlakuan kurang menyenangkan dari sekitar karena Covid, saran saya, cuekin aja. Fokus dengan kebahagiaan dan kewarasan diri. Banyak yang perlu diurus alih-alih memikirkan komen tetangga.

Jangan panik (lagi)

Iya, jangan panik lagi ketika menerima hasil swab Anda dan anak. Dalam kasus saya, hasil swab saya negatif, dan anak positif. Saya cukup tenang karena alhamdulillah saya dan anak saat itu tidak ada gejala. Sebelumnya memang anak sempat demam beberapa jam, tapi itu sudah 10 hari sebelumnya. Saya pun pernah meriang seharian di minggu sebelumnya. 

Tetap tenang, tetap jalankan isolasi mandiri, dan pakai masker. Sejak suami muncul gejala batuk ringan, saya sudah pakai masker walaupun di dalam rumah.

Juga, yang penting, jangan malu. Tidak perlu menutup-nutupi bila keluarga kita terinfeksi Covid. Kalo ditanya jawab jujur, tidak perlu malu. Yang penting kita sudah mengikuti protokol kesehatan. Karena protokol kesehatan ini adalah usaha, sedangkan terinfeksi Covid adalah takdir. Jadi jangan malu kalau terinfeksi Covid, tapi malulah saat tidak menjalankan protokol kesehatan. 

Oke, sekian dulu curhatan kali ini. Semoga bermanfaat. Selebihnya di postingan lain, yak. Wkwk. 

Semoga semua pembaca, dan keluarga saya juga, sehat terus dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin. :)




Share: