Mencintaimu di Bangku SMA

Jika bernostalgia sekarang, rasanya kecintaanku menulis begitu besar ketika masa remaja. Layaknya cinta anak muda, rasa cinta itu memuncak ketika di bangku SMA. Ya, di bangku SMA, kecintaanku pada kegiatan tulis menulis seolah mendapat pupuk dan siraman air dengan jumlah tepat. Hanya saja, kedua hal itu belum bisa menghasilkan buah cinta.

Di SMA kelas X, teman sebangku saya rupanya juga senang membaca dan memiliki banyak buku-buku teenlit. Tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Satu per satu koleksi bukunya saya pinjam, mulai dari buku-buku karya Agnes Jessica. Rumah Beratap Bugenvil, Tunangan? Hm..., dan Jejak Kupu-kupu adalah beberapa judul yang menjadi favorit saya. Membaca novel-novel teenlit sedikit banyak membawa perubahan pada cerpen-cerpen yang saya tulis, jadi ada romance-nya gitu.   

Kemudian saya bertemu dengan seorang teman yang menyukai buku-buku fiksi fantasi. Lagi-lagi saya ikut menikmati buku-buku fantasi, sebut saja Trilogi Bartimaeus, Eldest (lanjutan buku Eragon), dan Artemis Fowl. Saya menyukai ketiganya, dan buku-buku itu semua saya pinjam dari teman. Teman sebangku saya di kelas XI juga gemar membaca. Kami sering berdiskusi tentang berbagai buku.

Tak hanya dari teman, perpustakaan sekolah juga memiliki koleksi buku-buku fiksi terkini yang menarik untuk dibaca. Saya bahkan mencoba membaca karya lama seperti Balada Cinta Si Roy. Oh, Imaji Terindah karya Sitta Karina juga, rasanya tak afdhol kalau tidak ikut disebut. Lingkungan saya saat itu benar-benar mendukung untuk melahap banyak bacaan.

Dan puncaknya ketika saya kelas XI. Suatu hari, ibu guru petugas perpustakaan tiba-tiba menawari saya mengikut pelatihan menulis yang diadakan oleh Gagas Media. Syaratnya hanya menyetorkan sebuah karya tulisan, boleh cerpen atau potongan novel. Saya agak kaget juga, kok bisa ibu guru ini menawari saya? Padahal saya tidak kenal dengan beliau. Tapi itu tidak penting, yang penting adalah kesempatan di depan mata untuk belajar langsung tentang menjadi penulis dari penerbit mayor. 

Singkat cerita, saya mengikuti pelatihan tersebut. Pelatihan menulis diadakan dua hari di sekolah. Pesertanya seingat saya tak sampai 20 orang, dari kelas X sampai XII. Pembicara yang hadir adalah editor GagasMedia yaitu Windy Ariestanti dan Christian Simamora. Sedangkan di hari kedua didatangkan pasangan penulis Adhitya Mulya dan Ninit Yunita. Di hari kedua itu, karya yang sudah kami setorkan dikomentari oleh para editor. Ah, senangnya mendapat masukan secara langsung dari editor. 

Pengalaman indah tersebut berakhir dengan agak menyedihkan bagi saya. Pasalnya, para editor menawarkan agar peserta memperbaiki karya yang sudah dikomentari kemudian mengirimkannya lagi namun saya terlambat menyetorkan karena kendala teknis. Saat itu saya tidak punya komputer apalagi printer. Ketika hendak menumpang nge-print di rumah teman, ternyata disket saya error, dan cerpen yang sudah saya edit itu pun lenyap bersama rusaknya si floppy disk. Ahh. Saya cuma bisa mengatakan dalam hati, mungkin belum rejeki.

Hal terpenting adalah ilmu dan pengalaman yang didapat, serta semangat dan cinta untuk menulis yang kian besar saat itu. Sedangkan mimpi menjadi penulis tampaknya harus disimpan dulu. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk diwujudkan, suatu saat nanti. InsyaAllah.

#30DWC
#30DWCJilid21
#Day3
#ImWritingInLove

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik