Aku Menerimamu Apa Adanya

Termenung, melamun, mengantuk, ketiduran, begitulah biasanya yang terjadi ketika mencari-cari inspirasi untuk menulis. Atau malah bisa jadi teralihkan dengan media sosial dan tontonan, kemudian lupa tujuan awal membuka laptop. Kenapa ya, gairah menulis, ide untuk ditulis, semua rasanya mampet sekarang ini. Apa karena usia? Sudah jelas tidak ya. Haha. Kurang piknik? Bisa jadi, tapi rasanya itu bukan sesuatu yang krusial. Rutinitas? Hm… 

Ya, rutinitas adalah sesuatu yang nyaris tidak ada di masa kanak-kanak atau masa sekolah saya. Kenapa? Karena walaupun judulnya setiap hari pulang pergi sekolah, tapi selalu ada hal berbeda setiap harinya. Kegiatan di sekolah, teman-teman di sekolah, juga guru-guru di sekolah, semua bisa memberi insight baru setiap hari. Mungkin itu sebabnya ketika duduk di bangku SMP, saya bisa tiba-tiba menulis cerpen hanya karena sebuah kalimat dari guru saya. 

Kala itu saya masih kelas 3 SMP. Ketika akan sholat zuhur di mushola, saya berpapasan dengan guru bahasa Indonesia, namanya Pak Tri. Terjadi percakapan singkat yang berkesan.
“Mau sholat ya, Vid?”
“Iya, Pak.”
“Salam ya, buat Tuhan.”

Hari itu sepulang sekolah, saya langsung menulis sebuah cerpen berjudul Salam untuk Tuhan. Saya masih ingat alur ceritanya walaupun sekarang entah di mana naskah cerpen itu. Tapi intinya, dulu, mencari ide menulis bukanlah sebuah kerja keras yang menguras emosi. Ide mengalir begitu saja seolah menggedor dinding hati meminta segera diluapkan dalam lembaran-lembaran kertas. Dan aku ingin merasakan itu lagi. Aku ingin bisa menangkap ide melalui semua indera dan mencurahkannya tanpa ragu.

Anyway, ketika SMP jenis tulisan saya mulai berubah, dari naskah horor menjadi cerita pendek dengan tema kehidupan sehari-hari. Kalau jaman sekarang mungkin istilahnya slice of life. Masa-masa SMP itulah saya paling produktif menulis. Satu cerpen bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Tapi jangan tanya tentang kualitas karena dulu saya menulis yaa sekadar menulis saja. Toh, untuk bacaan pribadi, saya tidak peduli bagus atau tidaknya. Hmm.. Tunggu sebentar, itu dia! Itulah yang membedakan ide yang dulu mengalir dengan yang sekarang mampet.

Dulu, saya tak peduli bagus atau tidak, tulisan itu yaa untuk menyalurkan keinginan menulis. Sekarang, saya terlalu sibuk menilai sebuah ide bahkan sebelum ide itu berwujud tulisan. Terlalu sering merasa “ah, cerita macam itu sudah banyak di pasaran, untuk apa saya tulis”. Padahal bukan itu intinya.

Ah, maafkan aku ide. Kupikir, kau yang menjauhiku karena aku sok sibuk dengan hal lain. Ternyata akulah yang lebih dulu melupakan esensi dirimu. Maaf, ya. Kembalilah padaku, oh ide, aku akan menerimamu apa adanya!

#30DWC
#30DWCJilid21
#Day2
#ImWritingInLove

Comments

  1. Aku senyum senyum loooh bacanya... ga tahan kalo ga komen. Kwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaaakkk, malu aku jadinyaa..hehehe.. ini bingung mau nulis apa, jadi nulis masa2 indah aja dh sbg awalan..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Review Novel The Star and I (Ilana Tan)

Kalis