05 September 2022

Kebahagiaan di Awal Bulan: Bayi Bisa BAB dengan Lancaarr

Bayi

Alhamdulillah. Selain gajian dan segudang nikmat dari Allah di awal bulan ini, ada sebuah kebahagiaan yang saya rasakan hari ini: si bayi hari ini sudah pup. Alhamdulillah..

Ah, perkara pup aja, kok, happy banget? Mungkin sebagian ada yang merasa demikian, dan itu sah-sah saja. Perkara buang air ini memang kelihatannya sepele, kecil, remeh. Namun, ketika Anda atau keluarga ada yang mengalami susah buang air, baik itu besar maupun kecil, niscaya kehidupan mendadak terasa lebih berat.

Nah, qaddarullah, anak kedua saya yang saat ini berusia 18 minggu, memiliki keunikan dalam hal pup alias BAB. Sejak usia tiga mingguan, frekuensi pupnya memang berkurang, tidak setiap hari. Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali, empat hari, dan semakin berkurang. Di usia tiga bulan, rekor paling lama pupnya adalah dua minggu. Ya, dia pup dua minggu sekali. 

Ketika saya tanyakan pada dokter anak secara online, jawabannya masih bisa wajar karena si bayi ASI eksklusif dan ASI tersebut diserap sempurna oleh tubuh. Dengan catatan tidak ada muntah berulang, pertambahan berat badan bagus, anak tidak rewel, tidak kembung, dan kentutnya lancar. 

Walaupun demikian, saya masih agak khawatir. Akhirnya saya berikan Liprolac baby untuk membantu pencernaannya. Ini juga dengan resep dokter. Akan tetapi saya tidak rutin meminumkannya, hanya ketika sudah seminggu tidak pup, baru saya kasihkan. Hasilnya, frekuensi pup masih sama. Wkwk.

Kemudian puncaknya adalah minggu lalu. Si bayi sudah 18 hari tidak pup! Saya putuskan konsul langsung ke dokter anak di Hermina Ciputat. Setelah diperiksa langsung, jawaban dokternya kurang lebih sama dengan dokter yang saya konsul online. Namun, menurut dokter, memang sudah ada fesesnya tapi belum keluar. Ini bisa diketahui dari meraba (memijit/menekan) perut bayi. Tentu hanya dokter yang bisa menilai ini, ya.

Dokter pun memberikan Microlax supaya feses yang sudah ada bisa dikeluarkan dengan lancar. Sayangnyaa, bahkan setelah dikasih Microlax pun si bayi masih tidak pup. Duh, duh, makin galau lah mamak. Untungnya si bayi sendiri tidak rewel, jadi saya bisa agak tenang dan tetap berusaha. Saya rutinkan pijat ILU setiap habis mandi, lalu kakinya digerakkan seperti mengayuh sepeda. Kemudian saya sounding juga ke bayi supaya segera pup, tentu diiringi juga dengan doa dan memohon kepada Allah agar dimudahkan semuanya.

Alhamdulillah, hari Jumat lalu, si baby pup. Ffiuuhh, mamak lumayan legaaa, tapi masih agak mengganjal karena kuantitas pupnya tidak sebanyak biasanya. Doa dan usaha pun dilanjutkan. Pijat ILU, gowes, dan minum Liprolac diusahakan rutin setiap hari. Dan hari ini, Senin, dia pup lagi dengan lancaar, banyak, tanpa ngeden yang berarti. Alhamdulillah.

Saya lega sekarang. Untuk kedepannya insyaallah akan rutinkan usaha-usaha yang tadi itu, plus doa, supaya frekuensi pupnya bisa lebih teratur dan ga kelamaan. Hehe. Fyi, Liprolac tuh semacam Yakult untuk bayi. Kandungannya adalah bakteri baik yang membantu pencernaan. Harganya juga lumayan mahal, sebotol kecil saja kisaran Rp190.000-Rp200.000. Dan setelah dibuka hanya bisa bertahan 28 hari. hiks.

Ini bukan pertama kalinya saya berurusan dengan frekuensi pup bayi. Anak pertama saya dulu juga mengalami hal yang kurang lebih sama. Bahkan berlanjut menjadi konstipasi setelah mulai MPASI. Karena itulah, untuk anak kedua saya ingin masalah pup ini diselesaikan sebelum mulai MPASI agar tidak sama dengan anak pertama. 

Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan lahir batin, ya. Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.

#TaTiTaTu #RBMIPJakarta


Share:

18 August 2022

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Sumber: Freepik

Ini sekelumit cerita dari perjalanan kehamilan dan kelahiran anak kedua saya. Selama kehamilan kedua ini, tekanan darah saya memang agak naik. Kadang kala 120-an, pernah 130-an, bahkan 140 (kalau tidak salah ingat).

Di trimester satu, saya ikut tes Placental Growth Factor (PIGF) gratis yang diadakan dokter Adit di RSAB Harkit, dan hasilnya saya risiko tinggi preeklampsia (PE). Preeklampsia adalah keadaan tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Kalau dibiarkan, hal ini bisa berisiko terjadi eklampsia atau kejang yang tentu saja sangat berbahaya bagi ibu dan janin.

Sejak akhir trimester satu, saya mulai mengonsumsi obat yang diresepkan dokter Adit. Ini adalah ikhtiar pencegahan PE. Alhamdulillah setelah minum obat itu, pusing yang kerap saya rasakan sejak hamil berkurang bahkan hilang. 

Di minggu 35 saya berhenti mengonsumsi obat yang diresepkan dokter Adit karena memang batasnya di minggu tersebut. Ketika usia 38 minggu dan belum ada tanda persalinan, dokter kandungan saya (dokter Mariza) mengatakan bahwa kondisi plasenta sudah mulai kurang bagus. 

Tepat di minggu 39, dokter Mariza melakukan pengecekan dalam sekaligus membrane sweep. Membran sweep ini bisa memicu persalinan juga, jadi semacam induksi alami. Benar saja, pagi tanggal 12 April membrane sweep, dan siang itu saya ngeflek cukup banyak. Sampai malam hari masih ngeflek lebih banyak, tetapi tidak ada mules.

Malam itu juga saya ke RS, dan setelah dicek kontraksinya baru ada sedikit-sedikit dan sudah mulai teratur, tetapi belum ada pembukaan. Saya pun memilih pulang dulu, toh, jarak rumah-RS tidak jauh. Tepat setelah subuh, tanggal 13 April, rasa mulas itu mulai melanda. Awalnya saya kira hanya sakit perut karena ingin BAB, tetapi lama-lama, kok, semakin menjadi. 

Pukul setengah sembilan pagi saya tiba di RS, ketika dicek sudah pembukaan enam. Kira-kira dua jam kemudian, bukaan sudah lengkap. Beberapa kali mengejan, lahirlah bayi laki-laki kedua kami. Alhamdulillaah. 

Akan tetapi, setelah bayi lahir, si plasenta ternyata tidak langsung menyusul. Ditunggu beberapa menit pun masih tidak keluar, setelah diberi obat agar kontraksi tetap masih belum keluar juga si plasenta. Dokter Mariza pun turun tangan–quiet literally–dengan mengeruk itu plasenta yang masih bercokol di rahim. Rupanya si plasenta agak lengket dengan rahim. 

Kata dokter Mariza, ini kemungkinan karena kondisi plasenta yang sudah tidak bagus. Untungnya, sejak akhir trimester satu saya sudah diresepkan obat untuk mencegah PE, sehingga kejadiannya tidak lebih parah.

Satu minggu berselang, saya kembali ke dokter untuk kontrol pascabersalin, ternyata masih ada sisa plasenta yang tertinggal! Dokter menyarankan kuret segera. Nah, sebenarnya kuret ini bisa dilakukan di ruang praktik langsung, tanpa bius. Prosesnya cepat, hanya sekitar 10 menit. Namuuun, tentu saja saya tidak berani. Wkwk. Jadi, saya memilih kuret dengan dibius total dan itu termasuk tindakan operasi. Artinya, harus cek darah dulu, PCR dulu, dan ke dokter anestesi dulu. Selain itu, saya juga harus stok ASIP.

Hari-hari sebelum kuret itu sejujurnya saya deg-degan, karena belum tahu kuret itu bagaimana, efek setelahnya apa. Saya bahkan sempat konsul dengan dokter obgin di Halodoc untuk bertanya lebih jauh. Dan sepertinya kuret memang pilihan terbaik. Karena jika dibiarkan terlalu lama, khawatir sisa plasenta ini bisa menginfeksi rahim.

Saya dijadwalkan kuret jam setengah delapan pagi, dan harus sudah masuk ke ruang observasi jam tiga pagi. Saya berusaha menenangkan diri dan terlihat santai. Saya sudah browsing juga, katanya kuret ini setelahnya tidak sakit. Oiya, pada kasus saya tidak ada obat yang diberikan pervaginam sebelum kuret, karena mulut rahimnya belum menutup rapat, jadi tidak perlu obat. Saya hanya perlu puasa selama delapan jam.

Kira-kira pukul 8, saya masuk ke ruang operasi. Dokter Mariza, dokter anestesi, dan dua orang perawat sudah stand by. Obat bius dimasukkan via infus, dan hanya hitungan detik, saya tidak sadarkan diri. Setengah jam kemudian saya dibangunkan dan sudah kembali di ruang observasi. Hal yang dirasakan pertama adalah pusing, pusing keleyengan karena efek obat anestesi. Tetapi benar, tidak terasa sakit di area rahim, leher rahim, dan sekitarnya. Hanya saya bekas darah sudah bocor sampai ke baju (baju operasi tentunya).

Saya di ruang observasi selama kurang lebih 4-5 jam. Perawat memberikan hasil USG sebelum dan setelah kuret. Sempat makan siang dulu juga walaupun masih pusing dan mual. Siang itu juga saya langsung boleh pulang. Alhamdulillah. 

Hhh.. Kalau mengingat masa itu, masih terbayang kelelahan yang dirasakan. Lelah karena baru melahirkan, lalu merawat newborn, merasakan badan yang masih nyeri sana sini, kurang tidur, pegal, ditambah lagi kuret. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.

Sekarang, pengalaman itu menjadi pelajaran untuk lebih menjaga kesehatan. Fisik yang sehat sangat penting dalam menjalani kehamilan dan persalinan dengan lancar, lebih siap, dan bahagia. Bagi para ibu yang sedang hamil semoga Allah berikan selalu kesehatan dan kelancaran sampai melahirkan nanti.

Itulah secuil pengalaman saya. Bagaimana dengan Anda?


Share:

17 August 2022

Resensi Novel Janji (Tere Liye)

Janji Tere Liye


Novel Janji karya Tere Liye ini baru terbit di tahun 2021, tapi di Maret 2022 sudah masuk cetakan kelima. Wow. Tidak mengeherankan sebenarnya kalau melihat nama penulisnya. Hehe. 

Bagi pembaca setia tentu sepakat seratus persen bahwa novel Janji ini desainnya mirip dengan Tentang Kamu. Yaitu tentang pencarian seseorang. Kita diajak menyusuri lorong-lorong gelap kehidupan si tokoh utama untuk kemudian mengambil segudang hikmah.

Jika di Tentang Kamu ada sosok Zaman sang pengacara yang menjadi pemantik cerita, di Janji kita akan dipandu oleh tiga remaja usil: Baso, Kahar, dan Hasan. Mereka bertiga ditugaskan oleh kepala pondok (pesantren) untuk mencari sosok “misterius” bernama Bahar. 

Seperti biasa, novel Tere Liye yang satu ini juga membuat saya penasaran untuk terus membaca. Ingin cepat-cepat mengetahui kelanjutan perjalanan hidup Bahar. Ada sejumlah action atau laga dalam novel ini yang membuatnya kurang pas dibaca oleh anak-anak, tetapi menjadi bumbu menarik bagi orang dewasa.

Tenang saja, walaupun mirip, Janji menawarkan keunikan tersendiri, berbeda dengan kehidupan Sri Ningsih. Banyak pesan moral yang ingin disampaikan penulis dalam novel ini, salah satunya tentang ilmu. 

“Ilmu itu gratis” adalah salah satu ucapan Bahar. Ini juga yang pernah dikatakan suami saya, dan kami berbeda pendapat kala itu. Menurut saya, ilmu itu mahal, tidak gratis, tidak cuma-cuma. Ternyata, kami hanya berbeda sudut pandang. “Ilmu itu gratis” adalah sudut pandang “guru” atau pengajar, supaya senantiasa ikhlas dalam berbagi ilmu.

Sedangkan “ilmu itu mahal” adalah sudut pandang yang harusnya digunakan oleh penuntut ilmu agar rela berkorban demi mencari ilmu yang bermanfaat. 

Hal lain yang berkesan bagi saya dari novel ini adalah sejumlah kemiripan antara Bahar dan tokoh utama anime “Gintama”. Iya, kita agak berbelok ke anime, ya, karena ini mirip banget menurut saya.

Dalam Gintama, tokoh utamanya adalah Gintoki. Kemiripannya dengan Bahar yaitu sama-sama pemabuk tapi bukan perokok, sama-sama suka berjudi, dan terlihat cuek pada sekitarnya. Keduanya juga jago berkelahi, bekerja serabutan, suka menolong orang yang lemah, dan sama-sama punya “murid” atau bawahan. Gintoki adalah karakter yang menarik karena sikapnya tidak tertebak, dan itu juga kesan yang saya dapat pada Bahar. 

Overall, novel ini bagus dibaca siapa saja yang sudah cukup dewasa. Yang membuat saya agak greget tuh, saya justru mau tahu lebih banyak tentang Baso, Kahar, dan Hasan. Wkwk. 

Sekadar informasi tambahan, novel Janji ini bukan diterbitkan oleh Gramedia sebagaimana novel-novel Tere Liye sebelumnya. Akan tetapi, novel ini dicetak oleh percetakan Gramedia. Jadi, nggak heran kalau kualitas fisiknya tetap bagus. Walaupun saya pribadi kurang suka desain sampulnya. 

Informasi Buku:

  • Judul: Janji
  • Penulis: Tere Liye
  • Tahun terbit: 2021
  • Penerbit: Sabakgrip
  • Harga: Rp89000
  • Tebal: 486 halaman
  • Rekomendasi usia: 15 tahun+

 


Share:

08 July 2022

Review Buku: Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar

Judul: Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar

Penulis: Reytia

Tahun terbit: 2022

Penerbit: Forsen Books

Jika Anda sedang mencari bacaan ringan nan sarat makna, bisa dinikmati oleh anak sekaligus orang tua, buku inilah jawabannya. Ah, sampai speechless saya membahas novel satu ini, saking terpesonanya. Hihii.

Begini lho, saya kurang suka buku anak, atau buku remaja, karena merasa tidak relate gitu. Wong sudah emak-emak, kok, baca buku anak/remaja? Eh, tapi ternyataaa, buku ini sangat nikmat dibaca (apakah artinya saya masih berjiwa remaja? wkwk).


Sekilas tentang isi buku:

Novel ini bercerita tentang Khalid dan Aya, anak kembar yang mendadak rebel dan tidak ingin puasa Ramadan karena termakan pendapat ngawur di internet. Padahal tahun sebelumnya, kedua anak ini sudah bisa puasa Ramadan full. Toh, mereka memang sudah 11 tahun, sudah sepatutnya sanggup puasa.


Menghadapi perubahan sikap yang mendadak ini, orang tua Aya dan Khalid pun bingung. Untunglah mereka punya kakek yang bijak yaitu Profesor Haydar. Iya, mereka juga beruntung karena kakeknya itu seorang profesor. Sang kakek lantas turun tangan untuk meluruskan lagi pemikiran cucunya yang agak-agak oleng. Wkwk. 


Pertanyaannya, berhasilkah sang kakek profesor mengembalikan cucunya ke jalan yang benar? Apa sebenarnya hal besar yang membuat si kembar membelot? Apa saja cara yang ditempuh kakek? Bisakah kita sebagai orang tua menirunya? Atau setelah menjadi kakek-nenek baru kita bisa seperti itu? Hyahahaha. Tentu saja saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena akan spoiler besar-besaran.


Review:

Walaupun sebenarnya buku ini adalah buku anak/remaja, tetapi di dalamnya sarat nilai-nilai pengasuhan. Misalnya ketika Profesor Haydar berusaha membimbing cucu-cucunya untuk kembali ke jalan yang lurus. Bukan dengan cara tarik urat dan debat, tetapi dengan cara yang cerdas. Juga bagaimana sikap orang tua si kembar yang mungkin mirip dengan orang tua zaman sekarang ini. 


Nilai yang juga menjadi sorotan dalam novel ini adalah ilmu agama. Ya, nilai-nilai agama dalam cerita si kembar ini bukan hanya tempelan, melainkan memang mendominasi. Melalui tokoh kakek yang berilmu, pembaca disajikan secuplik kisah shahabiyah, syariat puasa, dan pentingnya ilmu agama. Di sinilah pembaca yang fakir ilmu seperti saya merasa tergetuk. Wah, salut deh sama penulisnya karena bisa menyajikan pelajaran agama dengan bahasan yang ringan dan batasan yang “aman” bagi semua usia.


Selesai membaca novel ini membuat saya sebagai orang tua merenung. Bagaimana jika suatu hari nanti anak-anak menanyakan sesuatu atau membantah sesuatu yang berkaitan dengan agama, dan saya tidak bisa memahamkan mereka? Ditambah lagi kami tidak punya keluarga bergelar profesor. Wkwk. Maka jawabannya hanya satu, orang tua harus serius menuntut ilmu agama dengan benar. Harus.


Anyway, saya juga suka dengan layout buku ini. It’s nice

Sekian review novel ini. Kalau kalian tertarik membeli bukunya silakan follow ig penulisnya @reytia dan tanya langsung, yaa. 


Share:

26 February 2022

Resensi Novel: Home Sweet Loan

Home Sweet Loan

Judul: Home Sweet Loan

Penulis: Almira Bastari

Tahun Terbit: 2022

Jumlah halaman: 312


Untuk kesekian kalinya, saya teracuni oleh seorang kawan untuk membaca sebuah novel. Sudah lama rasanya saya tidak sesemangat ini untuk membeli, lalu membuka bungkus novel. Padahal akhir-akhir ini semangat baca lagi anjlok. Tapi untuk novel satu ini entahlah, semangat aja, mungkin karena dari baca blurbnya berasa relate banget. Wkwk.

Cerita:

So, what is this novel about? Berjudul Home Sweet Loan, karya ke xxx dari Almira Bastari ini mengangkat tema RUMAH, baik secara fisik maupun maknawi. Bercerita tentang empat orang sahabat yang sedang mencari rumah, dengan alasan berbeda-beda. Kriteria rumah yang dicari pun berbeda-beda, tentu bujetnya juga beda. Jauh.

Tokoh utama bernama Kaluna, seorang wanita karir, lajang, usia 31 tahun, yang dengan tabungan hasil kerjanya masih sulit mencari rumah di Jakarta. Setelah survey ke beberapa rumah/apartemen, ada yang sesuai bujet, tapi ga sesuai keinginan, atau sebaliknya. Padahal Kaluna tidak sabar ingin pindah ke rumah sendiri karena penat tinggal di rumah orang tuanya.

Bukan apa, di rumah orang tuanya penuh sesak dengan keluarga dua kakaknya yang sudah menikah dan punya anak. Kebayang, sih, penatnya kayak gimana, plus segala konflik keluarga di dalamnya. Belum lagi, Kaluna sendiri sudah ditanya terus sama ortunya, “kapan nikah?”. 

Yang saya suka:

Ada beberapa hal yang membuat saya bisa segera selesai membaca novel ini, tetapi yang paling utama adalah karena konflik yang diangkat sangat dekat dengan kenyataan. Kenyataannya, di usia saya 31 tahun ini, saya memang heboh mencari rumah. Dengan adanya novel yang mengangkat realita ini, saya rasa banyak orang seumuran yang memiliki masalah yang sama: mencari rumah.

Beberapa celotehan Kaluna ketika survey-survey rumah juga pernah tebersit dalam pikiran saya. Misalnya, “orang-orang yang bisa beli rumah di sini kerjanya apaan yak?”, ketika melihat rumah mewah super mahal.

Novel ini juga menambah wawasan kita tentang serba-serbi pencarian rumah/apartemen. Ternyata apartemen tuh begitu, daerah sana tuh begini, dst. Apalagi latar tempat yang dipakai di Jakarta Selatan dan sekitarnya yang familiar dengan saya.

Karena itu saya jadi penasaran bagaimana nasib Kaluna. Apakah berhasil menemukan rumah yang sesuai bujet? Kalau iya, mungkin saya bisa dapat bocoran daerah mana. Hahaha. 

Konflik Kaluna dengan kakak-kakak dan iparnya juga sangat real. Walaupun tidak pernah benar-benar berada di kondisi seperti itu, tapi narasi dan dialog dalam novel ini membuat kita bisa membayangkan betapa dongkolnya Kaluna tiap pulang ke rumah. 

Secara latar waktu, novel ini dikisahkan kekinian banget, mengambil latar pandemi. Jadi terasa lebih segar, dan makin relate ya kan dengan keadaan sekarang. 

Yang kurang sreg:

Selain hal-hal di atas, ada juga yang saya kurang sreg dari novel ini. Seperti banyaknya informasi tentang perumahan, ada bagian yang terasa too much gitu. Tapi yaa gimana, kan emang temanya itu yak. Wkwk…

Kemudian, latar pandemi yang lama-lama memudar. Di awal disebut bahwa Kaluna tipe yang ketat terhadap prokes, tapi makin lama kayaknya biasa aja. Memang, itu tidak memengaruhi jalan cerita sih.

Dan satu lagi, si tokoh utama justru agak kurang menonjol karakternya dibanding teman-temannya. Maksudnya, teman-temannya seperti punya ciri khas sendiri, yang centil, pinter, yang bijak, dst. Hal itu membuat Kaluna jadi tampak biasa saja.

Kesimpulannya:

Novel ini recommended buat yang generasi seumuran saya yang bisa relate. Menghibur, menambah wawasan, menambah sudut pandang terhadap masalah-masalah di sekitar. Tidak ada, atau minim, romance di sini, cocok bagi yang sedang tidak ingin drama percintaan. Karena drama pencarian rumah aja udah bikin mumet. Wkwk. .





Share: