Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Sumber: Freepik

Ini sekelumit cerita dari perjalanan kehamilan dan kelahiran anak kedua saya. Selama kehamilan kedua ini, tekanan darah saya memang agak naik. Kadang kala 120-an, pernah 130-an, bahkan 140 (kalau tidak salah ingat).

Di trimester satu, saya ikut tes Placental Growth Factor (PIGF) gratis yang diadakan dokter Adit di RSAB Harkit, dan hasilnya saya risiko tinggi preeklampsia (PE). Preeklampsia adalah keadaan tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Kalau dibiarkan, hal ini bisa berisiko terjadi eklampsia atau kejang yang tentu saja sangat berbahaya bagi ibu dan janin.

Sejak akhir trimester satu, saya mulai mengonsumsi obat yang diresepkan dokter Adit. Ini adalah ikhtiar pencegahan PE. Alhamdulillah setelah minum obat itu, pusing yang kerap saya rasakan sejak hamil berkurang bahkan hilang. 

Di minggu 35 saya berhenti mengonsumsi obat yang diresepkan dokter Adit karena memang batasnya di minggu tersebut. Ketika usia 38 minggu dan belum ada tanda persalinan, dokter kandungan saya (dokter Mariza) mengatakan bahwa kondisi plasenta sudah mulai kurang bagus. 

Tepat di minggu 39, dokter Mariza melakukan pengecekan dalam sekaligus membrane sweep. Membran sweep ini bisa memicu persalinan juga, jadi semacam induksi alami. Benar saja, pagi tanggal 12 April membrane sweep, dan siang itu saya ngeflek cukup banyak. Sampai malam hari masih ngeflek lebih banyak, tetapi tidak ada mules.

Malam itu juga saya ke RS, dan setelah dicek kontraksinya baru ada sedikit-sedikit dan sudah mulai teratur, tetapi belum ada pembukaan. Saya pun memilih pulang dulu, toh, jarak rumah-RS tidak jauh. Tepat setelah subuh, tanggal 13 April, rasa mulas itu mulai melanda. Awalnya saya kira hanya sakit perut karena ingin BAB, tetapi lama-lama, kok, semakin menjadi. 

Pukul setengah sembilan pagi saya tiba di RS, ketika dicek sudah pembukaan enam. Kira-kira dua jam kemudian, bukaan sudah lengkap. Beberapa kali mengejan, lahirlah bayi laki-laki kedua kami. Alhamdulillaah. 

Akan tetapi, setelah bayi lahir, si plasenta ternyata tidak langsung menyusul. Ditunggu beberapa menit pun masih tidak keluar, setelah diberi obat agar kontraksi tetap masih belum keluar juga si plasenta. Dokter Mariza pun turun tangan–quiet literally–dengan mengeruk itu plasenta yang masih bercokol di rahim. Rupanya si plasenta agak lengket dengan rahim. 

Kata dokter Mariza, ini kemungkinan karena kondisi plasenta yang sudah tidak bagus. Untungnya, sejak akhir trimester satu saya sudah diresepkan obat untuk mencegah PE, sehingga kejadiannya tidak lebih parah.

Satu minggu berselang, saya kembali ke dokter untuk kontrol pascabersalin, ternyata masih ada sisa plasenta yang tertinggal! Dokter menyarankan kuret segera. Nah, sebenarnya kuret ini bisa dilakukan di ruang praktik langsung, tanpa bius. Prosesnya cepat, hanya sekitar 10 menit. Namuuun, tentu saja saya tidak berani. Wkwk. Jadi, saya memilih kuret dengan dibius total dan itu termasuk tindakan operasi. Artinya, harus cek darah dulu, PCR dulu, dan ke dokter anestesi dulu. Selain itu, saya juga harus stok ASIP.

Hari-hari sebelum kuret itu sejujurnya saya deg-degan, karena belum tahu kuret itu bagaimana, efek setelahnya apa. Saya bahkan sempat konsul dengan dokter obgin di Halodoc untuk bertanya lebih jauh. Dan sepertinya kuret memang pilihan terbaik. Karena jika dibiarkan terlalu lama, khawatir sisa plasenta ini bisa menginfeksi rahim.

Saya dijadwalkan kuret jam setengah delapan pagi, dan harus sudah masuk ke ruang observasi jam tiga pagi. Saya berusaha menenangkan diri dan terlihat santai. Saya sudah browsing juga, katanya kuret ini setelahnya tidak sakit. Oiya, pada kasus saya tidak ada obat yang diberikan pervaginam sebelum kuret, karena mulut rahimnya belum menutup rapat, jadi tidak perlu obat. Saya hanya perlu puasa selama delapan jam.

Kira-kira pukul 8, saya masuk ke ruang operasi. Dokter Mariza, dokter anestesi, dan dua orang perawat sudah stand by. Obat bius dimasukkan via infus, dan hanya hitungan detik, saya tidak sadarkan diri. Setengah jam kemudian saya dibangunkan dan sudah kembali di ruang observasi. Hal yang dirasakan pertama adalah pusing, pusing keleyengan karena efek obat anestesi. Tetapi benar, tidak terasa sakit di area rahim, leher rahim, dan sekitarnya. Hanya saya bekas darah sudah bocor sampai ke baju (baju operasi tentunya).

Saya di ruang observasi selama kurang lebih 4-5 jam. Perawat memberikan hasil USG sebelum dan setelah kuret. Sempat makan siang dulu juga walaupun masih pusing dan mual. Siang itu juga saya langsung boleh pulang. Alhamdulillah. 

Hhh.. Kalau mengingat masa itu, masih terbayang kelelahan yang dirasakan. Lelah karena baru melahirkan, lalu merawat newborn, merasakan badan yang masih nyeri sana sini, kurang tidur, pegal, ditambah lagi kuret. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.

Sekarang, pengalaman itu menjadi pelajaran untuk lebih menjaga kesehatan. Fisik yang sehat sangat penting dalam menjalani kehamilan dan persalinan dengan lancar, lebih siap, dan bahagia. Bagi para ibu yang sedang hamil semoga Allah berikan selalu kesehatan dan kelancaran sampai melahirkan nanti.

Itulah secuil pengalaman saya. Bagaimana dengan Anda?


Comments

  1. MasyaAllah tabarakallah perjuangan.. You're strong!!!!! Sehat2 selaluuuu hanif dan emaknya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiinn.. Sehat2 jg maak.. Dan gw br tau lu punya blog yg tidak di-update sejak 2018..wkwk..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik