Resensi Novel Still Alice


Still Alice


Judul: Still Alice

Penulis: Lisa Genova

Penerbit: Erlangga

Tebal: 322 halaman

Let's get to the point. Novel ini bercerita tentang Alice Howland, seorang doktor dan dosen di Jurusan Psikologi Universitas Harvard, yang divonis Alzheimer (Early Onset Alzheimer). Padahal usianya masih tergolong muda, sekitar 50 tahunan. Umumnya yang mendapat diagnosis Alzheimer itu usia 65 ke atas.

Sedikit informasi, Alzheimer adalah penyakit yang menyerang otak. Sebabnya adalah penumpukan protein (amyloid) pada bagian-bagian otak. Semakin lama amyloid semakin banyak dan merusak fungsi otak. Biasanya gejala diawali dengan pikun/lupa, disorientasi, dll. 

Back to Still Alice. Sesuai diagnosis dokter spesialis saraf, kemampuan Alice dalam berbagai hal pun menurun perlahan. Ia yang semula sangat pintar, menjadi pelupa. Perlahan ia kehilangan kehidupan normalnya. Ia tak lagi bisa mengajar, tak lagi menulis buku. Bahkan untuk membaca pun ia kesulitan. Ia lupa rute jalan yang sering dilaluinya, lupa posisi ruangan di rumahnya, bahkan lupa fungsi benda dan cara menggunakannya.

Untungnya, Alice memiliki seorang suami–yang juga doktor dan dosen di Harvard–dan tiga orang anak yang sangat menyayanginya. Keluarganya memberi perhatian, waktu, dan tenaga ekstra, demi Alice bisa merasa lebih baik. Walaupun lama kelamaan Alice bahkan melupakan mereka.

Alzheimer yang diderita Alice adalah jenis yang keturunan/familial/genetik. Dan setelah dilakukan tes, ternyata salah satu anaknya mewarisi gen tersebut. Namun begitu, sang anak tetap menyayangi Alice. Deteksi dini ini membantu si anak ketika sedang menjalani program hamil dengan bayi tabung. Sejumlah cara ditempuh sehingga janin yang dikandungnya tidak mewarisi gen Alzheimer.

Lisa Genova menyajikan novel ini dengan bahasa yang simpel, mudah dipahami, tidak bertele-tele. Baik versi Inggris maupun terjemahannya. Penulis memberikan sudut pandang menarik dari seorang penderita Alzheimer, bukan dari sisi perawat atau keluarganya. Betapa hancurnya Alice ketika mendapat diagnosis tersebut, dan menjalani hari-harinya menjadi sangat sulit, sangat menantang.

Ada salah satu kutipan dari Alice yang sangat mengena, yaitu ketika Alice bilang bahwa ia rela menukar penyakit ini dengan kanker. Well, that’s bold. Kita menganggap penyakit paling berbahaya dan ditakuti adalah kanker, tetapi–paling tidak menurut Alice–kanker tidak membuat penderitanya lupa pada keluarga, dan kini banyak gerakan yang mendukung pasien kanker.

Berbeda dengan Alzheimer yang mungkin belum banyak diketahui orang. Orang yang tidak paham akan memberi label “gila”. Di sisi lain, penyakit ini juga belum ditemukan obatnya, dan bahkan progresnya tidak bisa direm. Beberapa obat sedang dikembangkan dan diuji coba tetapi belum ada yang berhasil.

Tidak hanya bagi penderita, bagi keluarga dan yang merawat pasien Alzheimer pun ini merupakan ujian berat. Karena itu muncul gerakan dukungan bagi para perawat dan keluarga pasien Alzheimer.

Novel ini pertama kali terbit tahun 2007, dan diadaptasi menjadi film berjudul sama sekitar tahun 2014. Film tersebut juga memenangkan beberapa penghargaan. Jika Anda tertarik dengan kisah Alice, saya sarankan membaca novelnya lebih dulu baru menonton filmnya. Karena banyak poin-poin dari novel yang tidak diceritakan di film, sehingga bisa jadi penonton bingung. Narasi atau ucapan Alice dalam hatinya pun tidak tergambar di film. 

Still Alice versi bahasa Indonesia bisa dibaca di Gramedia Digital. Kalau versi bahasa Inggris ada di Play Books, tapi lumayan mahal. Wkwk.

Novel ini menambah wawasan kita tentang penyakit Alzheimer, sekaligus agar kita bisa waspada. Karena buku ini juga saya jadi membuka web Alzheimer Indonesia, dan menemukan tagline menarik: jangan maklum dengan pikun.

Masyarakat kita meyakini bahwa usia tua berarti akan sering pikun. Padahal sebenarnya tidak demikian. Pikun bukanlah proses normal dari penuaan. Apalagi yang terjadi berulang kali dan semakin parah/sering. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter saraf jika keluarga dan saudara yang mengalami kepikunan. Tentunya tidak semua pikun berujung Alzheimer, ya.

Setelah membaca Still Alice, saya jadi semakin penasaran dengan novel/film lain bertema serupa. Any recommendation? 


Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik