Resensi Teruslah Bodoh Jangan Pintar (Tere Liye)


Judul: Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Penulis: Tere Liye

Jumlah halaman: 371

Penerbit: Sabak Grip

Tahun terbit: 2024


Di halaman awal novel ini ditulis sebuah disclaimer bahwasannya novel ini adalah fiksi semata, dan ending novel ini pun fiksi dan hanya untuk keperluan cerita. Hayo,  siapa yang tidak makin penasaran melihat disclaimer seperti itu di awal buku? Saya jadi makin penasaran, dong. 

Betul saja, setelah menamatkan novel ini, saya langsung bergumam, “ya, disclaimer ini memang diperlukan”. Bahkan saya jadi berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa ini hanyalah cerita fiksi.


Jadi, kisahnya tentang apa?

Bercerita tentang lima orang (atau tujuh orang ya?) aktivis lingkungan yang menggugat konsesi sebuah perusahaan tambang raksasa. Pasalnya, perusahaan tersebut sudah banyak merugikan masyarakat dan alam di tempat-tempat tambang mereka sebelumnya.

Lalu digelarlah sebuah sidang tertutup yang dihadiri oleh perwakilan aktivis dan saksi-saksinya, perwakilan perusahaan yang menunjuk seorang pengacara beken, dan komite yang terdiri dari tujuh orang. Komite ini yang nantinya akan memberi putusan apakah konsesi diberikan atau tidak. 

Persidangan digelar, saksi-saksi, dan bukti-bukti dihadirkan. Kisah-kisah dipaparkan, sanggahan-sanggahan diajukan. Inilah yang menjadi inti novel. Kisah-kisah para saksi yang merupakan warga di sekitar situs tambang. Mereka sebelumnya memiliki kehidupan tenang, damai, walaupun mungkin tidak kaya–ada juga yang kaya, tergantung definisi kaya.

Namun, setelah datang perusahaan tambang, membabat lahan, mengalihfungsikan sawah dan tanah, hidup warga ini pun berubah kelam. Ada yang menjadi korban tambang batubara, tambang emas, dan lain-lain.


Tere Liye memang lihai dalam menjalin cerita. Di novel ini, para saksi menceritakan kisah mereka dua puluh, bahkan tiga puluh tahun lalu. Kisah hidup mereka direkam, diringkas lewat kata-kata dan disampaikan dengan indah kepada pembaca. Membuat saya, dan mungkin pembaca lainnya, terhanyut dan bersimpati kepada para saksi yang fiktif ini.

Setting tempat dan karakter yang begitu dekat dengan pembaca memang menggelitik kita untuk bertanya, apakah ini benar hanya sebuah karangan? Sebuah fiksi? Semoga demikian. Karena jika nyata adanya, duh, ini sungguh memilukan!


Lalu, bagaimana akhir persidangan itu? Apakah para aktivis akan menang? Atau konsesi tetap berjalan? Saya tentu tidak akan membocorkan. Silakan baca sendiri, dan nikmati roller coaster politik tambang, dengan bumbu perkopian Indonesia. Serius, ada info seputar kopi-kopi juga di sini, bahkan saya yang bukan penggemar kopi jadi penasaran mau coba. 

Saya membeli buku ini di masa PO agar dapat harga lebih murah. Novel ini juga standalone, bukan serial, jadi langsung tamat. Oiya, bagi kalian yang masih di bawah 18 tahun, novel ini bukan untuk kalian karena keterangannya 18+.


Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik