Semoga Kita Tidak Menjadi Orang Semacam Ini di Dunia Maya

Sebutan "dunia maya" sepertinya sangat melenakan bagi sebagian orang. Seolah apa yang terjadi di dunia maya itu yaa tidak nyata, hanya semacam mimpi yang tidak perlu dipertanggungjawabkan, tidak ada konsekuensi. Padahal, dunia maya itu sekarang nggak maya-maya amat.


Orang yang tidak menepati janji


Di dunia maya maupun dunia nyata, keberadaan orang-orang yang tidak menepati janji itu sangat mengganggu. Contohnya ketika berjanji, “sebelum jam 8 akan aku WA”. Tiba-tiba sudah jam 9 masih saja belum nge-WA. Lalu keesokan harinya tinggal mengirim pesan, “maaf”. Mudah sekali mengucapkan maaf melalui pesan singkat, apalagi jika dalam sebuah grup. Padahal janji tetaplah janji. Di dunia maya dan nyata, sekecil apa pun, berusahalah menepati janji. Janji adalah utang, dan akan ada yang menagih utang tersebut. Jangan meremehkan janji hanya karena merasa "ini dunia maya".


Orang yang tidak amanah


Dengan banyaknya kegiatan di dunia maya, grup WA, Zoom, dsb, tak sedikit orang yang memegang amanah sebagai admin atau ketua grup WA. Mungkin, sebagian orang melihat ini hanya sebagai amanah yang remeh dan sepele. Namun, amanah tetaplah amanah, di mana pun itu. Jalankanlah dengan komitmen dan lakukan sebaik mungkin. Bagaimana jika ternyata tidak sanggup? Ya, katakan terus terang bahwa tidak sanggup menjalankan amanah karena ada udzur, delegasikan amanah itu pada orang lain sehingga tak ada yang terzalimi. Ya ampun, berat amat ya sampe menzalimi. Tapi sungguh, amanah, walaupun di dunia maya, tetaplah amanah, ada konsekuensi di dalamnya. Maka, jangan asal mengambil amanah. Ini pengingat bagi saya sendiri juga. Semoga bisa selalu menjaga amanah dengan baik.


Tidak menyimak


Begini ya, ketika kita mengikuti sebuah grup WA, tentu ada konsekuensi, salah satunya konsekuensi untuk berkomunikasi dengan orang lain di grup tersebut. Nah, ketika kita bergabung dengan grup, yaa ikutilah aturan grup, simaklah perbincangan di dalamnya terutama jika itu memang di bawah otoritas kita. Jangan hanya men-skip chat yang sudah ratusan padahal di dalamnya ada info penting. Kemudian ujung-ujungnya hanya bertanya, “ada info apa ya?”. Alamaak.. Tinggal baca lhoo…


Merasa paling ….


Kadang ini terjadi tanpa disadari. Lagi-lagi, ketika kita mengikuti sebuah grup WA, apalagi sebuah grup yang dibentuk untuk belajar, maka ada konsekuensi untuk menyimak dan ya belajar. Tapi, tak jarang kita bergabung ke sebuah grup belajar, kemudian ternyata kita tak sempat untuk menyimak, lalu ujug-ujug hadir hanya untuk bilang, “duh, aku sibuk banget, nih”. Merasa paling sibuk se-grup WA. Wkwk...


Begini ya, setiap orang juga punya kesibukan, bedanya, sebagian orang bisa mengaturnya, sebagian lain yaa … entahlah. Terlebih jika karena kita lalu kegiatan grup jadi terhambat, sungguh itu fatal sekali.


Ada cara sederhana untuk mengatasi itu semua, yaitu dengan komunikasi. Jika sibuk, maka komunikasikan baik-baik sebelumnya, dan usahakan mencari orang untuk meng-handle tugas tersebut. Sehingga kesibukan kita pribadi tidak menghambat gerakan orang lain yang sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan mereka.


Sadari kapasitas diri. Jika kita hanya mampu mengikuti sekian grup, atau mengikuti sekian kelas online, ya, patuhlah pada kapasitas itu. Jangan karena penasaran atau semata “ingin” dan mengikuti semuanya padahal tidak bisa di-handle dengan baik.


Astaghfirullah.. Ini semua pengingat untuk saya pribadi juga yang masih suka laper mata dengan banyaknya kelas-kelas di dunia maya. Padahal saat ini, dunia maya itu tidak maya-maya banget, dunia maya itu sekarang sudah menjadi kenyataan.



Mari Terhanyut dengan Cerita "Tentang Kamu"


Judul: Tentang Kamu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 528 halaman
Berat: 500 gr
Harga: Rp68.000 (daring), Rp85.000 (toko luring)


Ini mungkin agak terlambat. Membuat resensi novel yang terbit empat tahun lalu tentu bukan sesuatu yang up to date. Namun, membaca novel ini tak akan menjadi sesuatu yang “ketinggalan zaman”. Layaknya novel-novel Jane Austen. Tidak akan ada yang mengatakan bahwa Anda ketinggalan zaman karena membaca Pride and Prejudice di tahun 2020. Tidak ada, kurasa.


Apakah kamu mau makan malam sebentar bersamaku? Di salah satu restoran sederhana dekat sini, sambil menatap Menara Eiffel yang indah.


Sinopsis

Tentang Kamu bercerita tentang Zaman, pengacara yang menangani kasus harta warisan seorang wanita kaya raya bernama Sri Ningsih. Sri Ningsih tinggal di panti jompo saat meninggal dan tidak diketahui memiliki sanak saudara. Zaman pun harus mencari tahu seluk beluk kehidupan Sri untuk mengetahui siapa ahli warisnya, atau, menemukan surat wasiat agar harta warisan dapat dibagikan. Tak kenal lelah, Zaman menelusuri kehidupan Sri Ningsih yang ternyata sungguh luar biasa. 


Apa yang menarik dari novel ini?

Ini pertanyaan sulit. Setiap halaman novel ini sangat menarik! Bahkan sejak halaman pertama, novel ini benar-benar menuntun pembaca untuk terus mengikuti kehidupan Sri Ningsih yang sungguh kompleks. Kerennya lagi, cerita disampaikan dengan begitu anggun. Diksi yang tidak melangit, tapi sangat menawan karena mudah dicerna sekaligus indah dirasa. Ah, bagaimanalah membuat karya semacam ini. Tampil sederhana, tapi begitu memesona. Apakah aku berlebihan? Bisa jadi. Silakan buktikan sendiri.


Setiap latar yang dilalui Zaman (dan Sri Ningsih) digambarkan dengan porsi yang pas. Tak berlebihan, tidak njelimet. Demikian pula tentang deskripsi karakternya. Sesuai seleraku lah pokoknya.


Dari mulai pulau kecil di Sumbawa, sampai kota besar di Eropa, pembaca diajak terbang ke sana kemari menikmati pencarian penuh teka-teki. Tenang saja, pembaca tidak akan bosan. Ada karakter yang selalu bisa tampil sebagai hiburan. Semua karakter punya peran masing-masing, tak ada yang mubazir.


Akhir cerita pun memuaskan. Sebagaimana mestinya sebuah perjalanan panjang, tak hanya satu hal yang dituntaskan, beberapa tabir tersingkap sekaligus. Pembaca dibuat lega karena mengetahui segala rahasia yang sejak awal disembunyikan penulis, bahkan mungkin dari dirinya sendiri.


Banyak, sangat banyak nilai-nilai moral yang bisa diambil dari kisah di buku ini, dari karakter Sri yang pekerja keras, pantang menyerah, gigih, ikhlas, dan legowo. Namun terselip pelajaran kehidupan bahwa sesuatu bisa kelihatan sederhana, kelihatan benar, kelihatan biasa saja. Padahal itu semua hanya "kelihatannya".


Apa yang kurang dari buku ini?

Hm… Sejujurnya, ada beberapa hal yang masih kurang kumengerti sehingga aku menganggapnya sebagai plot hole. Akan tetapi, segala cerita indah yang dirangkai sejak awal terlalu menyilaukan dan menutupi kekurangan yang ada. 


Dari segi fisik buku aku kurang bisa menilai secara obyektif. Pasalnya, novel ini kupinjam dari seorang kawan dalam kondisi kertasnya sudah banyak bercak-bercak cokelat. Walaupun tidak mengganggu, sih. 


Secara umum tentu saja novel ini sangat recommended bagi siapa saja yang ingin menikmati novel sekaligus menyirami hati dan menambah wawasan.



Tentang Kamu, Aku, dan Hujan


Hujan
(Sumber gambar: Pixabay)

Ini bukan kisah sedih, bukan juga kisah romantis. Sebut saja ini sebuah kisah inspiratif, ya, semoga kisah ini bisa memberikan inspirasi. Atau, paling tidak, menghibur. Ini hanyalah satu dari jutaan kisah yang dihadirkan oleh hujan.


Kisah ini terjadi ketika aku berusia sebelas tahun. Sore itu aku sedang berdua di rumah bersama adikku yang masih berusia sekitar satu tahun. Orang tuaku belum pulang kerja, kakakku masih di sekolah. Kebetulan ada temanku, sebut saja Elok, sedang main di rumahku. Dia memang sahabat karibku sejak TK.


Saat sedang asik mainentah main apa aku lupa, pokoknya asiktiba-tiba hujan mendera. Ya, mendera atap rumahku yang sudah bolong-bolong itu. Hujan begitu lebat. Bocor di mana-mana. Aku dan Elok mulai panik karena air mulai menggenangi lantai. Ember yang sudah disiapkan tak mampu menampung lebatnya bocoran.


Akhirnya Elok berinisiatif mengajakku dan adikku untuk mengungsi ke rumahnya. Sebuah inisiatif luar biasa yang dimiliki anak SD. Hehe. Kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya tiga lemparan batu lah kira-kira. Aku pun menurut.


Di rumah Elok, aku dan adikku menumpang main ... dan makan. Yaa layaknya pengungsi lah ya. Ibunya Elok, yang seorang ibu rumah tangga, menyuapi aku dan adikku, juga Elok tentunya. Ah, senang sekali aku kala itu. Di luar hujan deras, tapi di dalam rumah ini hangat, menyenangkan, dan mengenyangkan. 


Sekitar pukul lima sore, hujan reda. Aku pun langsung pulang, tidak hanya berdua dengan adikku, Elok juga ikut lagi ke rumahku. Tapi, untuk apa, ya? Kan sudah sore, masa’ dia mau main lagi di rumahku? Ternyata tidak demikian pemirsa. Elok memiliki hati yang sungguh mulia. Ia ikut ke rumahku lagi untuk membantuku membersihkan rumah.


Rumahku pascakehujanan digenangi air yang tak sedikit. Padahal di luar tidak banjir, tapi di rumahku justru banjir karena bocor dan rembesan air dari rumah tetangga yang juga kebocoran. Maklum saja, rumahku dan tetangga hanya dibatasi triplek yang bawahnya sudah keropos. Jadi air bocoran di tetangga bisa mengalir dengan cukup leluasa ke rumahku.


Alhamdulillah saat itu perutku sudah kenyang. Aku dudukkan adikku yang anteng di sofa, kemudian aku dan Elok bergerilya mengepel lantai sampai kering. Ini bukan pekerjaan mudah karenawalaupun bututrumahku itu cukup luas. Kalau mengepel lantai banjir itu sendirian, pasti memakan waktu lama. 


Sungguh, aku terharu sekali Elok bersedia membantuku tanpa diminta, tanpa mengharap balas jasa. Ketika rumahku sudah bersih dari genangan air, barulah Elok kembali ke rumahnya. 


Ini hanyalah satu dari sekian banyak kebaikan yang Elok berikan padaku sejak kami kecil. Tapi kisah satu inilah yang paling berkesan dan takkan terlupa. Insyaallah. Sekarang kami selalu tertawa tiap kali mengingat kejadian itu. Ya, dia pun rupanya masih ingat jelas.


Semoga Allah membalas kebaikannya dengan pahala yang besar. Amin.


Kelas Diksi Menarik bersama Shireishou

Semalam saya mengikuti kelas daring di WA. kelas bertema Diksi Menarik itu diampu oleh Kak Shirei. Bagi yang belum tahu, Kak Shirei adalah penulis novel di Wattpad. Sejumlah novelnya sudah terbit, ada yang dari Grassmedia, ada yang di Gramedia Pustaka Utama, dan yang terbaru di Noura. Selain novel, Kak Shirei juga membuat komik.


Nah, Kak Shirei kadang-kadang buka kelas gitu, kelas WA, atau sebut saja kulwap. Kulwap ini berbayar, tapi murah. Bagi yang mau gratisan, Kak Shirei juga banyak berbagi materi kepenulisan di wattpad dan blognya.


Oke, jadi, semalam itu belajar merancang cerita dengan diksi menarik. Kenapa saya ikut kelas ini? Jelas, karena saya selalu mentok masalah diksi. Apalagi kalau bikin cerita fiksi, ya. Kadang sedih bacanya, keinginan tak sesuai kenyataan. Hahaha.


Di kelas semalam dijabarkan tip membuat cerita menarik dengan diksi yang pas. Kak Shirei menjelaskan bahwa diksi yang baik itu yang tepat dan sesuai. Tepat secara makna dan sesuai secara situasi atau kondisi dalam tulisan. 


Ada yang membuat saya terpingkal-pingkal saat sesi latihan. Peserta diminta menggambarkan adegan tokoh utama bertemu dengan tokoh lain yang sangat cantik/tampan. Peserta pun mulai mengolah kata, mendeskripsikan tokoh supercantik/tampan dan perasaan si tokoh utama. Kemudian ada salah satu peserta menggunakan kata “surai” untuk menggambarkan rambut si tokoh supertampan. 


Sontak Kak Shirei bilang, “Ojo pake surai utk orang oyy.” 


Hyahahaha. 


Memang iya sih, di KBBI surai itu ada yang maknanya “rambut”, tapi tak bisa dimungkiri bahwa kalau mendengar kata surai, yaa yang terbayang rambut singa atau kuda. Contoh dari kata “bersurai” di KBBI pun demikian.


Terus, si peserta itu nanya lagi, “sinonim rambut apa dong? Yang ketemu di tesaurus cuma ‘bulu’... dan surai.”


Aku ngakak sendiri jadinya di rumah, pas cerita ke suami pun aku masih ketawa-tawa sendiri. Hyahahaha…


Entahlah, ya, kenapa bagi saya lucu banget. Mungkin penafsiran saya pribadi dari pertanyaannya itu yang bikin lucu. Atau mungkin sayanya yang kurang hiburan. Wkwk.


Intinya, kelas semalam menyenangkan dan menjawab kebingungan saya soal diksi. 


Eh, tapi ngapain saya ikut kelas ini, ya? Emangnya mau nulis novel gitu? 

Yaa ... iya! Haha. Akhir-akhir ini sisi fiksi saya seakan hidup lagi. Mungkin efek dari bikin cerpen untuk lomba Kemenparekraf kemarin. Ditambah baca kumcer Autumn Once More. Jadilah, potongan-potongan pizza. Eh? Kok, ngga nyambung? Gapapa. Semua akan nyambung pada waktunya. wkwkk..


Mencatat Ke-random-an: Kerennya Buku Robocar Poli

Sesungguhnya saya terinspirasi dari judul kumcer Mba Rijo, Randomness Inside My Head. Hal-hal yang random jika diseriusi ternyata bisa jadi karya. Oleh karena itu, se-random apa pun ide yang muncul, saya akan berusaha tulis saja. Siapa tahu suatu hari bisa bermanifes menjadi buku. Hehe


Ada beberapa hal random yang terlintas akhir-akhir ini. Pertama, saya kagum sekali dengan buku Robocar Poli. Ya, buku Robocar Poli asal Korea Selatan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Apa kerennya buku ini? Jadi, buku Robocar Poli ini ada yang buku cerita bergambar seperti pada umumnya, ada yang buku stiker. Rata-rata untuk anak balita. Kerennya, baik di buku cerita bergambar maupun buku stiker, selalu mengangkat tema-tema keselamatan anak. Di salah satu buku cerita, misalnya, dijelaskan bagaimana anak-anak harus selalu memakai sabuk pengaman, saat musim panas jangan berlama-lama di luar, dsb. 


Di bagian belakang juga dijelaskan tips keselamatan berdasarkan tema, misal tentang keselamatan berkendara. Juga ada data-data yang mendukung agar orang tua paham pentingnya menjaga keselamatan anak di mana pun.


Di buku stiker malah lebih detil. Ada tentang keselamatan di rumah, anak-anak diminta menempelkan stiker bertuliskan “Panas” di gambar benda-benda yang panas seperti kompor, setrikaan, air panas, dll. Maksudnya agar anak-anak mengerti bahwa benda-benda tersebut panas dan bukan untuk main-main.


Kemudian cara menyikapi orang asing di luar rumah. Anak-anak diajarkan untuk tidak begitu saja menolong orang asing (walaupun itu nenek-nenek atau kakek-kakek), dan meminta orang tersebut agar minta tolong pada orang dewasa. Ada stiker yang bertuliskan nomor-nomor telepon darurat, misal nomor telepon polisi dan pemadam kebakaran. Anak-anak diminta menempelkan nomor sesuai adegan yang terjadi di gambar.


Tentu ada juga tips melindungi diri saat gempa, apa-apa saja yang harus dilakukan. Ini untuk anak-anak, lho. Tokohnya juga anak-anak. Sangat edukatif bukan? Saya saja sebagai orang dewasa merasa buku ini informatif sekali, tidak hanya untuk permainan. Buku Robocar Poli ini juga direkomendasikan oleh doktor ilmu pendidikan balita di Korea sana.


Jadi ingat ketika minggu lalu saya dan suami menonton film Korea berjudul Exit, suami nyeletuk, “Orang sana tuh udah langsung ngerti ya kalo keadaan darurat harus ngapain.”


Setelah melihat buku Robocar Poli ini jadi nggak heran. Sejak kecil mereka sudah diedukasi mengenai keadaan darurat. Ini salah satu bentuk mitigasi bencana yang sangat penting, sih, memang. 


Indonesia rasanya perlu juga buku-buku semacam ini. Sepertinya masih kurang banyak, atau saya yang tidak tahu? 



A Writer (Short Story)

Sangat jarang saya memamerkan sebuah cerpen di blog ini. Kalaupun ada biasanya tidak sepenuhnya fiksi, masih berhubungan dengan kenyataan atau masa lalu. Tapi cerpen satu ini, ini benar-benar hanya karangan. Semoga bisa dinikmati.

****************************

“Aku ingin jadi penulis!” katanya lagi. 

Aku sempat mengangkat alis dan agak terkejut saat pertama ia mengucapkan itu. Jadi dia mengulanginya lagi untuk meyakinkanku, dan mungkin meyakinkan dirinya sendiri. Dia kelihatan sangat sungguh-sungguh saat itu. Saat itu tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Saat aku dan dia masih duduk di bangku SMP. 

Sepertinya itu juga pertama kalinya aku terinspirasi untuk menulis. Bukan bermaksud untuk meniru atau mencontek cita-citanya, tapi sejujurnya, itu kali pertama aku melihatnya begitu serius. Aku telah berteman dengannya sejak TK, dan aku tidak pernah melihatnya seserius itu mengungkapkan cita-citanya. 

Jadi sejak itu juga, aku mulai membuat beberapa coretan di buku. Sering kali aku menulis tentangnya, kadang tentangku. Cerpen, puisi, prosa, apapun itu. Ya, aku juga telah menulis novel. Belum, aku belum berhasil membuat penerbit bersedia mencetak dan menjualnya. Jadi sejauh ini, novelku hanya konsumsi pribadi.

Berbeda jauh dengan dia. Alex. Alex telah membuktikan kesungguhannya. Sudah sepuluh tahun berlalu, dan dia telah berhasil mewujudkan mimpinya. Menjadi penulis. Ia telah memiliki tiga buah novel hasil karyanya sendiri. Oh, dan tidak hanya itu, dia juga telah menjadi artis! Ia main di beberapa film sebagai pemeran utama. Keren, ‘kan?

Sekarang aku akan bertemu dengannya lagi. Terakhir kami bertemu sekitar tiga tahun lalu, saat reuni sekolah, dan sejak itu aku tak pernah kontak dengannya. Hari ini aku sudah membuat janji untuk mewawancarainya. Ya, aku seorang jurnalis, dan dia akan menjadi salah satu narasumberku. Dan karena aku mengenalnya, aku hanya akan ngobrol santai dengannya, tidak perlu terlalu serius formal seperti wawancara lainnya.

Segelas cappuccino frappe yang kupesan sudah habis setengahnya. Alex masih belum datang. Aku kembali pada buku yang sedang kubaca. Salah satu novel karangan Alex. 

Terdengar suara deceit pintu kafe terbuka. Aku refleks menengok. Itu dia. Alex datang dengan kaos biru dongker polos lengan panjang, celana jeans, dan sepatu kets. Ia juga memakai topi dan kacamata hitam. Wow, menyamar? Tapi tentu saja aku tetap bisa langsung mengenalinya. Aku melambaikan tangan agar dia bisa melihatku yang duduk di pojok ruangan.

Begitu menangkap kode dariku, ia dengan lincah menghampiri. Aku langsung berdiri dan menyambutnya dengan pelukan lama-tak-jumpa-aku-sangat-kangen-padamu.

Oh my, akhirnya kita ketemu lagi, Anna!” katanya penuh semangat. Ia membuka kacamata dan aku bisa melihat matanya yang berseri-seri. Itu membuatku sedikit grogi. Mungkinkah bukan cuma aku yang menantikan pertemuan ini?

“Aku sudah menantikan hari ini, saat aku bisa mewawancaraimu!”

“Anna, kita ini berteman. Kita bisa bertemu tanpa harus wawancara, kan?” protesnya.

“Iya, tapi aku tahu kamu sangat sibuk.”

Alex duduk di hadapanku.

Sorry terlambat. Tadi manajerku mendadak membicarakan sesuatu.”

It’s ok, Alex.” Aku tersenyum.

“Oh, bagaimana kabarmu? Jadi, sekarang kamu seorang jurnalis?” 

Aku tertawa malu-malu. “Ya, begitulah.”

Cool!”

No, Alex, kamulah yang keren. Lihat dirimu. Wajahmu ada di TV, majalah, semuanya. Kamu artis dan penulis! Seperti yang kamu pernah bilang padaku dulu.” Aku sampai mengepalkan tangan saat mengatakan ini. Sangat excited.

“Ah, ya,” tukasnya. Hanya itu respon Alex, ditambah senyuman tipis.

“Kau mau pesan minum?” tanyaku.

Ia berpikir sejenak. “Tidak usah, nanti saja.”

“Ok, sekarang aku akan mulai menanyakan beberapa hal.” Aku mengeluarkan ponsel dan menyalakan aplikasi perekam suara, kemudian meletakkannya di tengah meja. Walaupun obrolan santai, tapi aku tetap harus menulis beberapa berita dari pertemuan ini, jadi aku tetap merekamnya. 

Alex mengangguk.

“Buku terbarumu, bercerita tentang apa?”

“Buku terbaruku yang baru dirilis minggu lalu, tentang seorang remaja yang di-bully, dan dikucilkan. Ia berusaha mencari jalan keluar tapi justru bertemu orang yang salah,” papar Alex. Ia tidak berubah, matanya berbinar, suaranya penuh semangat.

“Wow, kurasa itu bukan berdasarkan pengalaman pribadimu, kan? Aku tak ingat kau pernah di-bully waktu kecil,” ujarku.

“Ya, aku tidak pernah di-bully, kecuali olehmu,” sahut Alex. 

Kami tertawa mengingat masa kecil ketika aku gemar meledeknya. Aku harus pastikan bagian ini tak ada dalam berita nanti. 

“Lalu, apa rencanamu setelah ini, Alex?”

“Mm.. akan ada meet and greet dan book signing di beberapa kota, tapi belum ada jadwalnya. Ah, rasanya aneh mengatakan ini pada orang yang tahu masa kecilku.” Ia terkekeh.

“Wow, that’s great. Aku pernah melihat booksigning-mu di TV dan itu sangat ramai, mungkin ratusan atau bahkan ribuan orang yang hadir.”

“Ya, ya, sangat melelahkan, but it’s fun!” Alisnya terangkat, senyumnya tak memudar sejak tadi.

“Oh, mengenai film terbarumu, peran apa yang kamu mainkan?” 

Sekarang, dalam kecepatan yang lambat, senyum itu mulai surut.

“Film itu, mm ... aku berperan sebagai Tony, seorang pengusaha muda yang tengah bersaing dengan sahabatnya sendiri.”

Aku terus mencecarnya dengan pertanyaan. Aku tahu ia tak punya banyak waktu. “Ok, bagaimana dengan serial TV, apa ada seri baru dalam waktu dekat?”

“Ya, akan ada serial baru, ada beberapa kejutan yang mungkin tidak pernah dibayangkan para penonton,” ia berhenti sebentar, “tapi aku yakin penonton akan menyukainya.”

“Nah, Alex, setelah semua capaianmu, di usia yang masih muda ini, apa keinginan atau cita-citamu yang belum terwujud?” ini adalah pertanyaan pamungkas yang biasa kulontarkan.

Alex tersenyum dan menatap lurus padaku. Kedua tangannya terpaut di atas meja.

“Anna, kau adalah temanku sejak kecil,” ucapnya perlahan, “dan kita cukup dekat. Kau mungkin bosan mendengarnya, tapi … aku ingin menjadi penulis.” 

Aku bisa menangkap seberapa besar keinginannya itu. Kesungguhannya, masih sama seperti dulu. Walaupun sekarang ia mengucapkannya dengan datar. Tapi jawaban itu membuatku mengernyit.

Aku tertawa kecil. “Tapi, Alex, you are a writer. Maksudku keinginanmu yang lain yang ingin kamu raih setelah ini,” tegasku. Well, mungkin saja tadi ia tidak menangkap pertanyaanku?

Sekarang giliran Alex yang tertawa kecil. “Kamu juga masih sama seperti dulu, ya, tidak percaya saat aku pertama kali mengatakannya. Apa aku perlu mengulanginya dengan lantang seperti dulu agar kamu percaya kalau aku ingin jadi penulis?”

“Tidak, Alex, aku percaya, sepenuhnya. Aku bahkan terinspirasi untuk menjadi penulis juga sejak kamu mengatakan itu saat SMP dulu. Tapi sekarang kamu telah mencapainya, kamu telah menjadi penulis.”

“Siapa bilang?” Alex bertanya balik.

Aku bingung. Aku tidak mengerti dengan temanku ini. 

“Anna, aku telah menulis tiga buku, tiga bukuku telah terbit dalam tiga tahun ini. Tapi kamu juga pasti tahu kalau kebanyakan orang-orang itu menyukaiku karena aku artis. Mereka menyukai aktingku, mereka menyukai tokoh yang kuperankan!” balasnya. 

Aku masih terdiam, tidak menyangka akan mendengar ini darinya. Dari Alex, temanku sejak kecil.

“Aku bahkan tidak tahu apa mereka benar-benar sudah membaca bukuku atau hanya membelinya dan meminta tanda tangan,” Alex menambahkan.

Aku agak tersindir. Jujur saja, aku juga baru mulai membaca bukunya, salah satu bukunya.

“Alex,” kataku “tenanglah, mungkin ada yang begitu, tapi banyak juga yang benar-benar membaca bukumu dan menyukainya.” Aku beranikan diri menggapai tangannya.

“Yah, mungkin benar. Tapi ini sudah telanjur,” tutur Alex. “Kau tahu, bukuku baru saja rilis, dan filmku bahkan belum keluar, serial TV-ku juga. Tapi apa kau tahu, setiap aku diwawancara, mereka lebih banyak bertanya tentang film atau serial TV-ku.” Ia menghela napas berat. “They love me, as an artist.”

Yes I do

Aku tak bisa memungkirinya. “Mm ... that’s not bad though.”

That’s even worse.” Alex melipat tangannya. Ia bergeming selama beberapa saat.

Udara di sekeliling seakan ikut berhenti. Hanya terdengar suara orang-orang sedang bicara dengan volume pelan, suara sendok yang menyentuh cangkir, dan suara kopi yang dituang ke dalam gelas. Tapi di antara aku dan Alex, seperti hampa udara. Senyap.

Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa. Tidak menyangka suasananya akan jadi seperti ini. Sejujurnya, aku belum pernah dalam situasi seperti ini di sebuah wawancara.

“Ah sudahlah,” cetusnya. “Maafkan aku, aku tidak seharusnya mengatakan ini.”

Aku hanya tersenyum dan meneguk minumanku. 

“Jadi, apa masih ada pertanyaan lagi? Aku ada janji lain,” ujarnya sambil menengok jam tangan.

“Oh, untuk sepertinya cukup,” kataku akhirnya setelah mengumpulkan suara yang sempat hilang di awang-awang.

Alex berdiri, menggeser kursi,  dan hendak pergi. 

“Tunggu!” kataku. “Well, Alex, kalau kamu benar-benar ingin jadi penulis, all you have to do is just try harder. Dan aku harap kau bisa menjadi penulis seperti yang kau inginkan.” 

Alex tersenyum. “You too. And I’m sure, it will be easier for you.” 

Ia pergi, masih dengan senyuman. Entah apa arti senyuman itu. Yang jelas senyum itu tidak mampu membuatku ikut tersenyum. Aku justru … prihatin.


Yang Menyedihkan dari Antologi Zaman Sekarang

Sebenarnya saya agak ragu menuliskan ini. Tapi daripada uneg-uneg ini hanya menumpuk dalam hati, jadi, saya tulis juga akhirnya. Hahaha.


Oke, dari judul di atas, sudah jelas ya, saya akan bahas tentang antologi. Antologi yang saya soroti di sini adalah kumpulan cerita dari banyak penulis. Nah, apakah Anda termasuk yang pernah membuat antologi bersama teman-teman? Atau Anda sering membaca antologi?


Saat ini banyak sekali beredar buku antologi. Tak heran, mengingat penerbitan indie atau pun self publishing juga makin menjamur. Menerbitkan buku bisa jadi sangat mudah dan relatif murah. Tak ada yang salah dengan ini, justru sangat baik. Ini bisa memfasilitasi para penulis pemula yang belum berhasil menjebol gerbang penerbit mayor, sekaligus menjadi pembuka atau pengalaman pertama menerbitkan buku.


Tapi, yang menyedihkan dari antologi-antologi terbitan indie atau self publishing ini adalah kualitas yang kurang terjaga. Saya beberapa kali membaca buku antologi dan menemukan banyak sekali kesalahan penulisan, entah itu sekadar saltik (typo), atau memang karena penulisnya tak paham kaidah. 


Ini sangat mengganggu bagi saya. Sungguh. Karena ide cerita yang bagus bisa sangat turun nilainya disebabkan kesalahan teknis semacam itu. Selain itu, ini seolah menunjukkan bahwa penulis tidak terlalu peduli dan tidak mau mencari tahu tentang kaidah menulis. Kalau penulis saja sudah tidak peduli dengan kaidah penulisan, lalu siapa yang akan peduli? Hanya badan bahasa? Miris, bukan?


Kesedihan selanjutnya adalah tema cerita yang kadang kurang spesifik. Hal ini membuat berbagai macam cerita dalam antologi menjadi seperti terlalu campur aduk. Sebuah antologi yang enak dinikmati menurut saya adalah yang seperti gado-gado, campuran macam-macam tapi saling mendukung dan enak!


Bisakah Anda bayangkan di dalam gado-gado tiba-tiba ada jamur tiram? Atau ditambah apel? Atau terong? Kan ngga nyambung toh? Walaupun sama-sama sayuran, tetap ada yang cocok ada yang tidak. Seperti itulah antologi yang beberapa kali saya baca akhir-akhir ini. Temanya kadang terlalu luas sehingga cerita di dalamnya jadi ke mana-mana. 


Uneg-uneg selanjutnya tentang antologi, adanya ketimpangan antarpenulis. Maksudnya, ada cerita yang bagus banget, menarik, penulisannya benar. Ada juga yang ceritanya kurang menarik, penulisan pun kurang tepat. Ini saya temui tidak hanya di antologi terbitan indie, tapi juga antologi oleh penerbit mayor. Agak kaget juga sih, dan tentu ini sangat subjektif.


Tenang saja, tidak semua antologi begitu, kok. Ada juga antologi yang memang bagus. Salah satu antologi yang menurut saya lumayan, dan tidak terjebak pada kekurangan-kekurangan di atas. Yaitu antologi Baper Gak Pakai Lama yang pernah saya tulis resensinya. Buku ini tidak lepas dari typo, tapi cukup minim dibanding pada umumnya. Temanya pun sudah spesifik jadi tidak meluas kemana-mana. Dan karena penulis yang terlibat tidak terlalu banyak, cerita pun tidak terlalu jomplang. 


Oiya, ada satu lagi catatan tentang antologi. Ini bukan dari saya, tapi dari Mba Windy Ariestanty, seorang editor senior. Catatan ini saya ambil dari notula Kelas Daring Narabahasa. Intinya, menurut Mba Windy, antologi sejatinya adalah pekerjaan sulit. Karena antologi yang baik seharusnya bisa menyajikan sebuah buku dengan banyak cerita, tapi dengan kualitas yang sama, dan ceritanya saling mendukung. Mba Windy sendiri pernah menemukan sebuah antologi yang ia tahu editornya bagus, namun hasil antologi itu menurutnya kurang oke dan hanya satu cerita yang bagus. Artinya, membuat antologi yang baik sebenarnya lebih sulit karena harus menyeleksi para penulis dan cerita.


Semoga ke depannya semakin banyak antologi berkualitas.


Review Komik Dewasa "Menepilah Ketika Lelah" Karya Abun Nada

Sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca komik. Dan akhirnya di bulan Maret 2021 ini, saya kelar membaca sebuah komik. Kali ini komikny...

Popular Post