13 October 2021

Gema di Rumah Baru

Ada yang unik ketika menempati rumah baru alias baru pindah rumah. Ada gema yang berdentang di ruangan. Ya, begitulah yang saya rasakan ketika pindah ke rumah baru.

Sebenarnya, tentu lelah, benar-benar lelah. Apalagi rumah baru ini sebenarnya tidak sepenuhnya pilihan saya dan suami. Ada beberapa hal yang membuat kami kurang sreg.

Walaupun begitu, kami tetap pindah.


Ketika melepaskan penat, merebahkan diri dalam kamar di rumah baru, terdengar suara gema. Suara kami, penghuni baru, memantul-mantul. Padahal ruangan sudah terisi, dan rasanya sudah cukup penuh, tetapi tetap terdengar gema.


Saat itu saya seolah tersadarkan, ini rumah baru. Rumah baru. Tempat baru, suasana baru. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di rumah ini, tempat ini bisa menjadi tempat dimulainya sesuatu yang baru. Saya bisa memulai kebiasaan baru, mulai memupuk semangat baru. 


Bismillah. Alhamdulillah.


#Writober2021 #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta #gema
Share:

27 July 2021

Ngobrolin Buku Bareng Klub Buku RBM IP Jakarta


Hari Minggu kemarin Rumah Belajar Menulis (RBM) IP Jakarta mengadakan acara yang seruuu yaitu Klub Buku RBM. Intinya di acara ini adalah ngobrolin buku yang sudah dibaca. Biasanya ikut kegiatan seperti ini di KLIP. Ternyata RBM ngadain juga. Hehe.

Nah, di acara ini aku jadi hostnya. Huahahaha. Ini sesuatu yang baru bagiku, pengalaman pertama menjadi host acara via Zoom. Tentu saja aku sebagai host bukanlah sisi menarik acara ini, melainkan buku-buku rekomendasi dari para peserta. 

Dalam waktu dua jam ada sepuluh buku yang kami obrolin. Ada buku anak, ada buku novel, ada buku nonfiksi, dll. Semuanya keren-keren bacaannya. Aku sungguh takjub! Emak-emak keren gemar baca. Uwwuuu..

Akan tetapi, ada tiga buku yang sangat penasaran ingin kubaca. Baca, iya, mau baca tanpa beli. Bisa ngga? Ada ngga yang mau minjemin? Wkwk. Padahal buku-buku di rumah banyak yang belum dibaca, tapi udah keburu tertarik sama buku-buku lain. Hahaha…

Ehem. Baiklah. Jadi, ada tiga buku yang sangat menarik dan ingin kubaca: Dunia Lebih Jelek Daripada Bangkai Kambing, Sebelum Bunda Tiada, dan Gaul Bebas Kenapa Enggak?.

Kita bahas sekilas satu per satu ya, karena belum baca tentu ga bisa dibahas detail.

Dunia Lebih Jelek Daripada Bangkai Kambing

Buku ini dibahas oleh Mba Andina sambil berderai air mata. Dan aku bisa memahaminya. Iya, kurasa kita semua akan berderai air mata kalau baca buku ini. Ketika Mba Andina bercerita aja aku berasa nyesek dan tertampar-tampar. 

(Sumber gambar: pustakaattaqwa.com)

Jadi, buku DLJDBK ini ditulis oleh Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Istilah yang ada dalam judul, seperti yang kita tahu, diambil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah kisah dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu‘anhuma. Kisahnya kurang lebih begini:

Pada suatu hari sahabat sedang berjalan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melewati sebuah pasar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bangkai kambing yang telinganya cacat dan menawarkan sahabat untuk membeli bangkai tersebut.

Tentu para sahabat menolak. Tidak ada yang mau membeli bangkai kambing yang cacat. Jangankan membeli, diberi gratis pun tidak mau. 

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah daripada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim 7607)

Kembali ke buku DLJDBK. Intinya buku ini menegeur dan mengingatkan kita bahwa dunia ini tidak ada nilainya di sisi Allah. Jadi, kenapa kita terus menerus mengejar dunia? Sungguh banyak dari kita yang telah tertipu dengan dunia ini. Seharusnya, dunia ini hanya sarana dalam memperoleh keuntungan di akhirat kelak. 

Begitu yang dijabarkan Mba Andini. 

Bener-bener pengingat banget 'kan. Makanya pingin banget baca. Apalagi setelah browsing ternyata buku ini ngga mahal. Jadi pingin beli. Hehe. 

(sumber: kautsar.co.id)

Sebelum Bunda Tiada

Oke, buku kedua berjudul Sebelum Bunda Tiada karya Muhammad Yassir, Lc., terbitan Pustaka Al Kautsar. Denger judulnya aja udah hampir terharu, ya, kan? Mba Aulia yang membahas buku ini di Zoom kemarin. Buku ini nonfiksi, berisi tentang pesan-pesan seorang ibu kepada anaknya dalam menghadapi dunia. Karena orang tua tidak akan selamanya mendampingi anak. Jadi anak harus tahu bagaimana menghadapi dunia ini dengan benar. 

Tentunya ini bukan hanya buku yang bagus untuk anak-anak, ya. Bagus juga untuk ibu dan para orang tua pada umumnya. Karena status kita sebagai orang tua tak lantas membuat kita tahu berbagai hal. Kita tetap harus belajar. Banyak.

Gaul Bebas, Kenapa Enggak?

Buku ketiga yang menarik perhatianku adalah buku berjudul Gaul Bebas, Kenapa Enggak?, rekomendasi dari Mba Lathifah. Judulnya menarik, ditulis oleh seorang dokter yaitu Dokter Dewi Inong Irana, SpKK. Apa isinya? Udah kebayang, dong? Isinya tentang bahayanya berbagai penyakit yang diakibatkan oleh pergaulan bebas. Kurang lebih begitu ya. Ada bahasan tentang LGBT juga dan ancaman penyakitnya. 

(sumber gambar: gemainsani.co.id)

Aku ingat waktu SMP pernah baca buku mini yang isinya mirip-mirip begini. Menarik dan bagus, edukatif. Tapi itu cuma buku mini yang dibagikan oleh produsen pembalut. Waktu itu lagi promosi dan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang kesehatan reproduksi. Jadi tentu kurang lengkap penjelasannya. 

Nah , itu dia sekilas tentang kegiatan RBM kemarin. Hhh.. Agak-agak mellow nih, biasanya berkegiatan dengan Rulis IP Batam, sekarang sudah pindah kolam. Alhamdulillah jadi menambah teman, menambah ilmu, dan pengalaman. Insya Allah. 

Bagus untuk remaja, tapi orang tua juga harus baca dulu supaya bisa menyampaikan dengan baik ke anak.

Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.


Share:

12 July 2021

Review Novel "Meniti Jalan Impian"



Judul: Meniti Jalan Impian

Penulis: Lathifah Barkah

Penerbit: LovRinz

Tahun terbit: April 2021

Jumlah halaman: 234

Sudah lama saya tidak membaca novel atau buku fiksi lainnya. Ada beberapa novel yang mengantri untuk dibaca, tetapi saya tak kunjung bersemangat bahkan untuk membukanya. Entah kenapa.

Akan tetapi, novel Meniti Jalan Impian ini berhasil mengetuk rasa penasaran saya. And here I am, finished reading the book and I’m gonna tell you about it. There might be spoiler.

Novel pertama karya Lathifah Barkah ini bercerita tentang seorang muslimah bernama Noura. Noura memiliki sebuah impian besar nan mulia yaitu membangun sekolah gratis. Sebagaimana impian besar pada umumnya, ada banyak aral melintang dalam mewujudkannya. Itulah yang dihadapi Noura. 

Halangan dalam mewujudkan mimpi ini tidak hanya dari segi finansial, dll, tapi juga dari orang-orang sekitar Noura, bahkan--pada satu titik--dari diri Noura sendiri. Lalu, apakah ia menyerah? Apakah ia mengganti impiannya dengan yang lebih mudah diraih? Hehe.

Padat Ilmu

Oke, buku Meniti Jalan Impian masuk ke dalam genre novel religi, ya, karena sarat akan ilmu agama. Sosok Noura pun digambarkan begitu menjaga diri dan kehormatannya sebagai muslimah. Sosok teladan bagi para muslimah.

Ada beberapa kutipan ayat Al-Qur’an dan hadits dalam novel ini. Menyenangkan ketika membaca sebuah novel, tapi juga mendapat ilmu, tidak hanya sebuah drama. Namun, ada beberapa bagian yang membuat saya serasa membaca artikel, saking banyaknya penjelasan yang ingin disampaikan.

Time Skip

Novel berangkat dari Noura yang berusia kurang lebih 20 tahun, masih mengenyam kuliah, dan berakhir ketika ia berusia sekitar pertengahan 30. Artinya, durasi dalam novel ini sebenarnya cukup panjang. Banyak hal yang diceritakan, dan itu sebenarnya menarik.

Sayangnya, ada beberapa time skip yang menurut saya jadi kurang greget. Karena time skip-nya itu justru yang saya ingin tahu ada apa di sana, apa yang dilakukan Noura, dsb. Misalnya ketika di awal pernikahan, ia menghadapi masalah, lalu tiba-tiba sudah berlalu lima tahun kemudian (atau lebih). 

Tapi ini tidak sampai menjadi plot hole, siy. Hanya jadi semacam anti klimaks di beberapa bagian saja. 

Polisi Tidur 

Bagaimana jika kita sedang berkendara dengan kecepatan sedang, tiba-tiba bertemu polisi tidur? Kaget? Ya. Nah, begitu juga ketika mengikuti jejak perjuangan Noura. Ada beberapa hal yang saya duga akan seperti ini, ternyata seperti itu. Ada beberapa kejutan kecil yang menyenangkan.

Menyenangkan karena kejutan ini menambah konflik sehingga cerita lebih menarik. Tidak lurus-lurus saja. Konfliknya pun tidak klise, tidak ecek-ecek gitu. Saya suka, kejutan ini membuat saya penasaran dan ingin lanjut membaca. Sambil bertanya-tanya apa “polisi tidur” selanjutnya yang akan dihadapi Noura.

I Love the Ending

Bagian akhir atau penutup cerita menjadi bagian yang penting, dan bisa berdampak pada keseleruhan kesan terhadap sebuah novel. Bagaimana dengan ending cerita Noura? Well, I won’t tell you, but, I will say: I love it!

Saya senang karena penulis membuat ending yang manis untuk sebuah perjalanan panjang si tokoh utama. Ending yang membuat saya sebagai pembaca puas dengan cerita ini. 

The Book

Secara fisik ada dua hal yang menjadi perhatian saya pada novel ini. Pertama, jenis font yang digunakan. Mirip dengan comic sans serif, tapi masa sih pake comic sans untuk sebuah novel? Rasanya saya belum pernah menemui novel lain menggunakan jenis huruf ini. 

Kedua, background gambar di halaman pertama tiap bab. Ini malah agak membuat kesulitan membaca tulisannya. Padahal jika dibiarkan polos pun bagus-bagus saja. It’s not a big deal though.

Overall, I love the story. Sangat penuh makna dan pesan, tersirat maupun tersurat, tanpa terkesan menggurui. Apalagi cerita ini diangkat dari kisah nyata! Sebuah bacaan yang berfaedah di tengah pandemi yang membuat kita lebih banyak di rumah. 

Terima kasih telah menuliskan kisah ini, Mba Ika. :)




Share:

09 July 2021

Ringkasan Kajian "Untukmu yang sedang Menanti Buah Hati"

 



Banyak, sangat banyak yang ingin memiliki anak, dan belum mendapatkannya. Terlihat dari kajian malam ini, peserta di Zoom seribu kurang sedikit. Dan yang menonton di YouTube juga hampir 500-an. Masyaallah. Alhamdulillah.


Saya sendiri terlambat masuk. Zoom dibuka sebelum pukul 20.30, saya baru join sekitar jam 21.00. Tapi alhamdulillah masih bisa masuk, karena biasanya memang ada saja peserta yang keluar masuk di tengah acara. Dan saat itu peserta di Zoom sudah 998 orang. 


Kajian ini bertajuk “Untukmu yang sedang Menanti Buah Hati”, diadakan oleh Indonesia Bertauhid, dengan narsum Ustadz Raehanul Bahraen. Fyi, Ustadz Raehanul Bahraen adalah dokter spesialis patologi klinik yang berdomisili di Mataram. Beliau juga aktif sharing di akun IG @raehanul_bahraen.


Karena saya terlambat, ada beberapa materi yang luput. Ini sebagian materi yang saya dapatkan dari penjelasan dan tanya jawab di kajian tadi.

  • Anak adalah rezeki, jadi nash-nash yang menyebut tentang rezeki boleh ditempuh dengan niat mendapat anak.

  • Mengusahakan kehamilan harus menempuh dua sebab, yaitu sebab syar’i (seperti berdoa, bersedekah, dsb) dan sebab qadari yaitu dengan memeriksakan diri ke dokter.

  • Faktor kemandulan bisa dari pihak suami maupun istri, maka jika periksa ke dokter sebaiknya keduanya diperiksa.

  • Gaya hidup bisa sangat mempengaruhi fertilitas. Di antara yang perlu dihindari suami demi menjaga kesehatan sperma yaitu, jangan memakai celana dalam terlalu ketat, kurang olahraga, duduk terlalu lama (khususnya pada profesi tertentu). 

  • Sedangkan pada wanita, sering membersihkan area intim dengan produk khusus dapat berdampak negatif pada kehamilan.

Masih banyak info yang dijabarkan. Termasuk tentang bayi tabung. Ustadz menjelaskan tentang bayi tabung dari berbagai sisi. Penjelasan lengkap silakan dibaca di ebook yang dibagikan gratis di situs www.bit.ly/yukwakafib.


Ada beberapa tambahan dari sesi tanya jawab. Pertama, tentang tawakal. Tawakal punya dua rukun: menempuh sebab dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah. Jadi tawakal harus diiringi dengan usaha maksimal.


Kemudian, tentang wanita memeriksakan diri ke dokter. Urutan pemilihan dokter, pertama pilih dokter wanita yang muslim. Jika tidak ada, maka boleh ke dokter wanita non-muslim. Jika tidak ada juga dokter wanita non-muslim di kotanya, dan sulit untuk safar mencari dokter lain ke luar kota, bisa ke dokter laki-laki muslim. Dan jika tidak ada juga maka boleh ke dokter laki-laki non-muslim. 


Sebisa mungkin saat proses pemeriksaan (jika dengan dokter laki-laki) maka meminimalkan terlihatnya aurat. Misal, saat USG ada cara-cara agar dokter tidak melihat perut pasien, jadi hanya melihat layar. Wallahua’lam. 


Demikian sekilas info tentang kajian tadi. Saya sendiri terharu melihat banyaknya orang yang menginginkan buah hati. Bahkan rela menempuh cara yang ekstra, seperti bayi tabung, yang perlu ekstra usaha dan biaya. 


Semoga kita semua dimudahkan Allah untuk mendapat rezeki anak yang sholih dan sholihah. Amin.


20 Ramadan 1442H


Share:

13 June 2021

Ruwetnya Mengurus SIM Card Baru





Disclaimer: Ini adalah curhatan saya tentang mengurus SIM Card baru karena handphone yang hilang. Penuh emosi dan bikin pegal. Well, pengalaman orang lain bisa jadi berbeda.

Backstory: hari Senin lalu, tepatnya 7 Juni 2021, handphone ibu saya raib, tak ditemukan di mana-mana walaupun ibu saya yakin handphone-nya tidak dicuri.

Dua hari setelahnya, Rabu, saya dan ibu saya menyerah mencari dan memutuskan ke gerai Indosat untuk membuat SIM Card baru dengan nomor sama. Iya, zaman sekarang kalau kehilangan handphone rasanya bukan hanya kehilangan alat komunikasi, tetapi semua foto, nomor kontak, dan aplikasi di dalamnya itu yang bisa jadi lebih berharga.

Hanya berbekal KTP, kami datang ke gerai Indosat. Rupanya, sekarang membuat SIM Card baru tak semudah dahulu kala, Kawan. Dulu hanya modal KTP asli sudah cukup, sekarang harus dilengkapi dengan fotokopi KK dan surat keterangan hilang dari kepolisian. Duh!

Sudahlah kami masih sedih dan gamang karena kehilangan handphone, masih harus ribet dengan surat ini itu juga. Tapi bagaimana lagi, tak ada pilihan lain.

Baiklah, setelah itu kami langsung ke kantor polisi terdekat untuk membuat surat keterangan kehilangan. Untunglah ada petugas polisinya, proses pembuatan pun cepat, dan kami balik lagi ke gerai Indosat. Sedangkan untuk KK, saya minta adik saya di rumah mengantarkannya ke gerai Indosat.

Persyaratan sudah lengkap, artinya bisa langsung diproses. Paling tidak, saya kira begitu. Lagi-lagi, tidak, Kawan. Hidup sekarang memang tak semudah berselancar di dunia maya. Ibu saya diminta mengisi formulir dan ditanyai macam-macam pertanyaan yang bikin saya keki. Kenapa? Ya, karena ibu saya tentu kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Contohnya:

Sebutkan tiga nomor kontak terakhir yang Anda hubungi! Alamaak, jangankan ibu saya, saya pun kalau ditanya begitu bisa jadi tidak ingat. Karena sekarang kita mengandalkan handphone untuk mengingat ini itu, termasuk nomor handphone orang. Mungkin hanya orang-orang terdekat yang kita hafal nomornya. 

Apa merk handphone Anda? Tipenya? Merknya Samsung, tipenya? Entahlah, saya tidak ingat tipe apa. Di antara segudang model handphone Samsung yang mirip-mirip itu, mau menebak-nebak pun sulit. Apalagi itu handphone dibeli empat tahun lalu.

Apa paket internet yang terakhir Anda beli? Nah, kalau ini bisa diingat jumlah kuota yang terakhir dibeli. 

Untuk apa pertanyaan-pertanyaan itu? Kata operatornya siy untuk memastikan bahwa nomor dan handphone yang hilang itu beneran handphone ibu saya. Terserahlah. Yang penting ibu saya segera dapat nomor baru.

Namun, untuk kesekian kalinya, hidup tak semudah itu. SIM Card baru bisa diambil sekitar tujuh hari kemudian. Iya, tujuh hari! Atau kalau ingin jalur yang lebih cepat, bisa dalam waktu 1-3 hari, tetapi harus berlangganan kuota abodemen sebesar Rp70.000 per bulannya. Hadeeeh.

Kami tidak memilih opsi itu dan lebih baik menunggu saja. Di samping sudah keburu emosi juga tentunya. 

Entah sejak kapan, mengurus SIM Card baru jadi ruwet seperti ini. Mungkin sejak nomor handphone dijadikan alat verifikasi ini itu, terhubung dengan aplikasi ini itu, sehingga harus lebih ketat dalam pengurusan SIM Card hilang. 

Yang jelas, jagalah handphone dan SIM Card kalian jika tidak ingin mengalami keruwetan nan menguras emosi seperti ini. Sekian dan terima kasih.





Share:

24 March 2021

Review Komik Dewasa "Menepilah Ketika Lelah" Karya Abun Nada


Sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca komik. Dan akhirnya di bulan Maret 2021 ini, saya kelar membaca sebuah komik. Kali ini komiknya berbeda, komik religi karya Abun Nada. Saya yakin banyak yang sudah “kenal” dengan nama Abun Nada (@abun_nada).

Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari karya-karya beliau. Termasuk dalam komik bertajuk Menepilah Ketika Lelah. Saya membeli komik ini sepaket dengan komik berjudul Topi Merah yang Sombong. Topi Merah yang Sombong adalah komik untuk anak-anak. Cerita yang sederhana tapi penuh pesan moral.

Komik Menepilah ketika lelah



Nah, kalau Menepilah Ketika Lelah ini bukan komik anak-anak, melainkan komik dewasa. Iya, dewasa. Komik ini layaknya reminder, pengingat, tentang hal-hal penting yang sering terlupakan. Terlebih di zaman sekarang, ketika kita--saya khususnya--lebih disibukkan dengan media sosial dan impian-impian dunia, agar mengingat aturan-aturan Allah, dan petunjuk-Nya. 

Komik dibuka dengan tema berbakti pada orang tua, lalu tentang muamalah terhadap sesama. Kemudian bergeser pada bahasan seputar pengasuhan alias parenting. Nah, bagian ini sangat menyentuh dan menegur diri saya. Di pembahasan tentang pengasuhan ini, penulis (Abun Nada), berbagi pengalaman ketika beliau menjadi kepala sekolah di sebuah pesantren.

Beliau yang juga seorang lulusan Psikologi pun mengaplikasikan ilmu yang beliau pelajari untuk mendidik para santri. Misalnya, salah satu fokus beliau saat mendidik santri-santri yang baru masuk adalah memperbaiki bahasa sehari-hari sebagai bagian dari adab. 

Para santri yang terbiasa dengan bahasa yang terasa kurang sopan, diajari untuk mengubah kebiasaan itu pelan-pelan. Metodenya pun menarik, tak sekadar menerangkan, tapi juga menggunakan metode bermain, dan saling mengingatkan sesama santri. Kenapa bahasa yang menjadi fokus? Karena bahasa bisa memengaruhi pribadi seseorang.

Kemudian dikisahkan juga bagaimana para ustadz di pesantren menangani santri yang “bandel”, dengan cara yang penuh hikmah. Salah satunya juga dengan memperhatikan bahasa atau pilihan kata yang digunakan saat menegur anak. Ini menjadi pengingat sendiri bagi saya yang masih sering melakukan kesalahan saat menegur anak. 

Walaupun niat kita baik ketika menegur anak, tapi diksi yang salah, pilihan kata atau intonasi yang salah, dapat memberi kesan yang jauh berbeda bagi anak. 

Ada juga kisah tentang bagaimana beliau memberi apresiasi pada santri. Menilai santri tidak hanya dari satu aspek, tapi dari berbagai aspek. Benar-benar memperhatikan santri sehingga ketika seorang santri mungkin tak unggul dalam hal akademik, bisa jadi santri tersebut unggul dalam akhlak. Maka ia juga berhak mendapat apresiasi dan berprestasi.

Saya senang sekali dengan bahasan parenting di komik ini--walaupun porsinya hanya sekitar sepertiga. Karena biasanya buku parenting hadir dalam bentuk tulisan, kali ini dengan gambar. Membacanya jadi terasa lebih santai, tetapi tetap bermakna. 

Tentu saja, membaca itu mudah, tapi melakukan, mengaplikasikan, berbeda urusan. Semoga Allah mudahkan saya dan kita semua untuk selalu belajar, menjadi orang tua dan pribadi yang lebih baik. Amin.

Jadi tidak sabar menanti komik selanjutnya dari Abun Nada. 

11 Sya’ban 1442 H (H-20 Ramadan)


Share:

25 February 2021

Review Novel The Star and I (Ilana Tan)

Lima tahun setelah In A Blue Moon, Ilana Tan kembali meluncurkan karya. Berjudul The Star and I, novel ini kembali membawa ciri khas karya Ilana Tan. Kisah romance yang sederhana, dengan konflik yang mungkin tidak bombastis, tapi penyajiannya sungguh memikat.


Judul: The Star and I

Penulis: Ilana Tan

Penerbit: Gramedia

Tahun terbit: 2021

Tebal: 344 halaman



Spoiler alert!

Manis, adalah kata yang tepat untuk karya-karya Ilana Tan, khususnya The Star and I. Novel ini berkisah tentang Olivia Mitchell, seorang aktor Broadway, yang mencari ibu kandungnya di The Big Apple alias New York. Dia tak sendiri. Dibantu oleh sahabat masa kecilnya, Rex Rankin, pencarian Olivia jadi lebih menarik.


Aku menikmati membaca novel ini. Setiap scene yang digambarkan bisa dengan mudah dibayangkan oleh pembaca. Ilana Tan tidak menggunakan kosakata yang njelimet, sederhana, tapi indah.


Karakter dan tingkah tiap tokohnya begitu kuat dan natural. Ollie yang ceria, dramatis, polos. Rex yang pemalu, pendiam, cool, baik hati (pada beberapa orang).  Chemistry antara Ollie dan Rex yang sudah berteman sejak balita juga digambarkan dengan pas, tidak berlebihan. Pembaca bisa menerima dan merasakan emosi itu.


Tidak klise. Ya, novel ini mengangkat premis tentang Ollie yang mencari ibunya, dan dia menemukannya dengan bantuan penyelidik. Ibu kandungnya bukanlah seorang yang selama ini dia kenal, atau orang yang punya ikatan dengan orang yang akrab dengannya. Ini logis dan tidak klise menurutku. Alur pencarian ibunya pun dibuat begitu runut, rapi. Tidak ujug-ujug, tidak juga terlalu rumit.


Sementara hubungan antara Ollie dan Rex juga begitu dewasa. Bukan dewasa yang macem-macem, ya. Di sini tidak ada adegan aneh-aneh, ga ada kissing juga. Justru, emosi antara keduanya dibangun dari tindakan saling mendukung, tanpa banyak mengumbar kata cinta. Toh, mereka teman sejak kecil, jadi sudah saling pengertian gitu.

"Adakalanya orang-orang yang menghilang adalah orang-orang yang tidak ingin ditemukan." 
-Robert Ramford 

Novel-novel Ilana Tan memang setting-nya di luar negeri, tapi tak lantas begitu saja menggambarkan budaya luar yang bebas. Semua ceritanya disesuaikan dengan budaya di Indonesia. Terlihat sangat sopan dibanding cerita aneh bin ajaib yang berkembang sekarang--di platform online terutama.


Bagi penggemar karya-karya Ilana Tan kurasa akan senang dengan novel ini. Mungkin melebihi In A Blue Moon dan seri empat musim. Sedangkan bagi penggemar cerita “fantastis” atau “heboh”, cerita dengan judul yang membocorkan keseluruhan cerita, ini tentu tidak cocok. 


======================End of review=====================


Bulan ini aku berhasil menamatkan dua novel, tapi sepertinya gagal menamatkan novel Agatha Christie. Padahal lagi ikut challenge dari @Fiksigpu. Hiks.


Ngomong-ngomong, aku sendiri mulai heran, kenapa kalau novel bisa cepet bener bacanya. Sedangkan buku parenting dan nonfiksi lainnya udah mengantre sejak kapan belum ada tanda bakal kelar. Wkwk.


Dan karena sebentar lagi bulan Ramadhan (sekitar 46 hari lagi!), sepertinya aku akan beralih membaca buku-buku nonfiksi yang menumpuk dulu. Karena beneran udah menumpuk, dan pada belum kelar. Ada yang belum dibaca sama sekali. Duh. Khususnya buku-buku agama. Jadi jangan kaget, ya, kalau tiba-tiba aku post tentang buku religi. Wkwk. Semoga benar-benar bisa baca sampai selesai dan mengamalkannya. Aamiin. 


Share:

24 February 2021

Review Novel Teluk Alaska

Hmm… Aku sejujurnya bingung memulai dari mana. Tapi karena buku ini sudah dibaca, walaupun skimming di beberapa bagian, jadi aku akan tetap menulis review.


Judul: Teluk Alaska

Penulis: Eka Aryani

Penerbit: Coconut Books

Tahun terbit: 2019

Tebal: 407 halaman


Sinopsis:

Teluk Alaska bercerita tentang Ana, siswi kelas IX, yang selalu di-bully oleh teman (?) sekelasnya. Yang hobi mem-bully adalah geng “penguasa sekolah”. Ana ini walaupun sering mengalami perundungan, dia tetap saja diam, kalem, senyum, di depan para pem-bully. Sampai akhirnya mulai terjadi perubahan yang entah bagaimana gitu. Salah satu pem-bully perlahan jatuh cintrong. And so on..


Review (spoiler alert):

Sepertinya aku perlu disclaimer dulu: ini bukan tipe cerita favoritku. Maksudnya, aku suka cerita romance, tapi bukan romance remaja SMA. Jadi aku kurang bisa menikmati novel ini.  Ada beberapa sebab, tentunya. Pertama, terlalu bucin--tidak perlu dijelasin lah, ya. Pokoknya gitu dah, bucin ala remaja yang baru mengenal suka-sukaan dan seakan dunia milik berdua.


Kedua, adegan yang repetitif sehingga menjadi (terlalu) klise. Bayangkan, ada tiga kali adegan si cewe-cowo ini hujan-hujanan berdua. Duh, ga masuk angin apa? Ketiga, terlalu banyak kata sifat, kurang deskripsi. Aku juga bukan pencinta deskripsi yang terlalu detail. Namun, ga sesingkat “ibunya cantik”, atau “awet muda”, gitu juga lah, ya. Kan bisa dijelasin lebih detail gimana cantiknya. Atau tentang latar tempat. Ngga cuma “awan mendung” aja. Ya kan? 


Keempat, plot hole. Ada banyak sisi yang aneh, menurutku. Misal, si geng penguasa sekolah ini dikesankan anak-anak orang kaya. Tapi ternyata yang kaya cuma satu orang. Terus, di bagian akhir, time skip lima tahun, itu Ana diumpetin di mana? Is that even possible


Kelima, bertele-tele, tokoh utama yang terlalu sempurna. Bagian depan terlalu lambaaat. Lalu si tokoh utama seolah tanpa kekurangan. Sooo perfect: pinter banget, cantik, baik banget. Okay, kalau diterusin kayaknya ngga kelar-kelar. Kita skip ke bagian positifnya aja ya.


Mungkin karena usiaku juga sudah kepala tiga, jadi pandanganku agak beda terhadap novel remaja yang seperti ini. Namun, sebagai orang tua, ada pesan penting yang bisa diambil: didiklah anak dengan baik! Supaya ga bucin-bucin-an, dan ga menjadi pem-bully, atau di-bully kelak. :)


Btw, aku baca novel ini karena direkomen oleh seorang kawan. Kawanku ini orangnya positif sekali, ngga kayak aku. Wkwk. Jadi mungkin dia bisa melihat lebih banyak sisi positif dari novel ini. Iya, ngga, Mba? X)


Share:

27 January 2021

Selamat (Sintong) Tinggal: Review Buku Terbaru Tere Liye



Judul: Selamat Tinggal
Penulis: Tere Liye (Co-Author: Saripudin)
Tahun Terbit: Desember 2020
Penerbit: Gramedia


Ini memang baru buku kedua Tere Liye yang saya baca. Tapi saya yakin buku ini adalah salah satu yang paling powerful yang ditulis dengan semangat berapi-api, membawa pesan yang begitu dalam dan kuat.

Ya, bisa dibilang novel ini adalah curahan hati seorang Tere Liye. Pengikut akun medsos Tere Liye pasti paham kalau penulis asal Sumatera itu memang kerap menyoroti fenomena buku bajakan. Dan barang bajakan lainnya secara umum. 

“Selamat Tinggal” mengangkat hal itu. Jelas. Dilihat dari tokoh utama seorang mahasiswa Fakultas Sastra sekaligus penjual buku bajakan, kemudian tokoh lain yang juga keluarga pengusaha barang-barang KW. Ada juga teman si tokoh utama yang punya usaha penyedia situs streaming film ilegal, serta seorang yang rajin meng-cover lagu di YouTube pun tak ketinggalan kena sindir.

Sinopsis:

Sintong, mahasiswa tahun ketujuh Fakultas Sastra yang sedang berusaha lulus (baca: menyelesaikan skripsi). Skripsinya membahas tentang penulis legendaris di tahun ‘60-an yang tiba-tiba menghilang. Dalam perjalanan menulis skripsi, Sintong diselimuti berbagai kegalauan. Mulai dari pekerjaan sampingannya sebagai penjaga toko buku bajakan, perasaannya pada seorang gadis, semangat menulis yang tiba-tiba muncul lagi, dan lain-lain.

Banyak hal yang informatif dalam novel ini. Misalnya dampak bisnis bajakan kepada penulis atau creator asli, dan bagaimana bisnis bajakan itu berjalan. 

Tak bisa dimungkiri, kita tahu ini adalah novel fiksi, tapi kita juga tahu bahwa keberadaan bisnis buku bajakan dan semacamnya itu fakta. Ada juga bisnis obat palsu. Dan bisnis-bisnis haram tersebut tak jarang melibatkan--alias dibeking--pihak yang seharusnya memberantas itu semua. 

Fakta-fakta ini kemudian seolah menjadi sorot utama, dan fiksi di dalamnya sebagai “bingkai”. Jadi, tak heran kalau novel ini membuka mata kita tentang keburukan bisnis barang bajakan.

Ngomong-ngomong, saya yakin setelah buku ini dirilis, pencarian di Google dengan kata kunci “Sutan Pane” meningkat. (Iya, saya juga searching! Wkwk.. XD )

Bukan hanya tentang barang bajakan, ada pesan penting lainnya, yaitu tentang pertobatan. Bahwa seberapa pun parahnya kita berbuat salah, kita selalu bisa kembali, meninggalkan perbuatan itu. Dalam buku ini khususnya, tentu saja, bertobat dari barang bajakan. Apa pun itu bentuknya, termasuk software, film, dll. 

Namun, penulis--Tere Liye dan co-author--juga tak ujug-ujug dengan kasar menghakimi. Ada tokoh yang rasa-rasanya mewakili banyak orang, yaitu tokoh yang tahu bahwa barang-barang bajakan itu salah, tapi belum bisa keluar dari lilitannya dan belum bisa mengubah apa-apa walaupun ingin.

“Jangan berkecil hati, Kawan, jika hari ini kepal jarimu masih lemah. Jangan berkecil hati, Kawan, jika hari ini suaramu jauh dari lantang dan didengarkan. Sungguh jangan berkecil hati, Kawan, jika dirimu belum mampu mengubah situasi.” (hlmn. 321)

Kritik tajam pada bisnis barang bajakan adalah topik utama di novel ini, ditambah bumbu sindiran pada koruptor, pejabat/pihak berwenang, serta pemerintah. (Bahkan Pertamina pun kena sindir!) 

Selain fokus pada masalah tersebut, novel ini juga menyuntikkan semangat luar biasa kepada para penulis untuk senantiasa berani dan gigih dalam berkarya. Hal itu disajikan dengan apik lewat tokoh Sutan Pane dan Sintong.

(Kalau ada yang tanya, "Apakah membeli ebook lalu 'meminjamkannya' dengan mengirim pdf dibolehkan?", maka inilah jawabannya. Eh, ngga keliatan juga ya? hahaha..)

Lewat tokoh inilah, seorang Tere Liye dengan bebas menyampaikan pesan kepada para penulis--dan pemuda--untuk selalu objektif dalam menulis. Menulis dengan adil dan didasari kepedulian, bukan dengan kebencian.

Seperti biasa, gaya penulisan Tere Liye yang begitu membumi dan sederhana tapi elegan, sungguh membuat saya terhanyut. Novel ini tak memaksa kita membuka KBBI, tapi tetap memberi makna yang dalam.

Hal yang juga spesial di buku ini adalah sudut pandang yang digunakan. Sudut pandang orang ketiga yang digunakan dengan sangat luwes dan fleksibel, tidak kaku. Pembaca jadi merasa seperti sedang dibacakan dongeng, dimanjakan, dan dianggap. Istilah kerennya mungkin “breaking the fourth wall”.  

Ah, terlalu banyak hal unik dalam novel ini. Kata “bagus” untuk karya ini rasanya kurang pas. Saya lebih suka melabelinya dengan “cerdas”, “unik”, dan “inspiratif”. Dan tentu saja saya merekomendasikan Anda semua untuk membacanya. Walaupun pastilah karya ini juga tak lepas dari kekurangan, tapi ada banyak pesan, makna terpedam yang bisa dipetik.

Share:

22 January 2021

Tip Belajar di HSI Abdullah Roy

Kali ini saya akan berbagi sedikiit tip belajar di HSI Abdullah Roy. Bagi yang belum tahu apa itu HSI Abdullah Roy, nanti di akhir tulisan saya jelasin sedikit, yak. Kenapa, kok, sedikit? Karena yang saya tahu juga cuma sedikiit. Hehe.


Alhamdulillah, selama dua tahun ini mengikuti HSI, saya masih barely survive alias selamat dari ancaman DO. Wkwk. Kuncinya agar tidak di-DO adalah jangan lupa mengerjakan evaluasi harian, evaluasi pekanan, serta evaluasi akhir.

Tentunya kalau jawaban kita banyak yang salah yaa bisa di-DO juga. Karena itu, ada beberapa tip nih yang bisa diterapkan.

Pertama, catat materinya! Ya, ini penting sekali karena akan ada evaluasi pekanan dan evaluasi akhir. Untuk bisa mengingat banyak materi tanpa mencatat tentu hampir mustahil. Karena itu catatlah poin-poin penting dari tiap-tiap materi.

Cara mencatat ini bisa jadi sangat subjektif, maksudnya, saya lebih bisa memahami atau mengingat apa yang saya catat dibanding membaca catatan orang lain. Walaupun mungkin catatan orang lain lebih lengkap. Mencatat sendiri memudahkan kita mengingat karena pilihan kata-kata kita bisa lebih enak ditangkap diri sendiri. Saya pribadi lebih suka mencatat di kertas, di buku catatan kecil khusus, dan tidak di laptop.

Tip kedua, ini bagi yang sering lupa mencatat atau lupa menyisihkan waktu, catatlah dua materi langsung di pagi hari. Sehabis subuh di hari Selasa misalnya, Anda bisa mendengarkan dan mencatat materi hari Senin dan Selasa, karena biasanya materi dibagikan saat subuh. Dengan begini lebih hemat waktu. Tetapi jangan lupa untuk segera mengerjakan evaluasi harian hari sebelumnya, ya. 

Tip ketiga, buatlah deadline sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di jam-jam menjelang penutupan evaluasi, situs HSI kerap sulit diakses. Kenapa? Ya, kemungkinan besar karena banyak yang mengerjakan evaluasi di ujung waktu. Entah kenapa.

Jadi, agar tidak berada dalam situasi menegangkan yang tidak perlu, buatlah deadline pribadi. Misal, untuk evaluasi pekanan yang ditutup pada Senin pukul 14.00, saya biasanya menargetkan untuk selesai maksimal hari Minggu malamnya. Sehingga akses lancar, dan di hari Senin kita sudah siap dengan materi baru.

Begitupula dengan evaluasi akhir, targetkan untuk mengerjakan maksimal H-1 penutupan. Jangan lupa  juga muroja'ah materi sebelum evaluasi, ya!

Tip terakhir adalah simpan username dan password situs HSI di ponsel atau laptop yang biasa digunakan untuk evaluasi. Jadi, ketika Anda login tak perlu bolak-balik memasukkan username dan password. Ini sangat bermanfaat bagi yang sering lupa atau ganti password seperti saya. Walaupun sudah mencatat username dan password, kadang saya lupa juga di mana mencatatnya. Astaghfirullah. 

Baiklah, itu tadi tip sederhana, semoga bermanfaat. 

Nah, jadi, apa itu HSI Abdullah Roy?

HSI (Halaqah Silsilah Ilmiyyah) Abdullah Roy adalah kelas atau program belajar agama Islam. Metodenya ada yang offline ada yang online. Saya ikut yang online via grup WA. Materi belajar diberikan pada hari  Senin-Jumat dalam bentuk audio pendek, berdurasi 2-7 menit.

Apa yang dipelajari? Di sini kita belajar Islam dari dasarnya banget. Dari mulai mengenal Allah, mengenal Rasulullah, mengenal agama Islam, lalu satu per satu rukun iman, juga sirah nabawiyah dibahas secara terstruktur. Karena audionya pendek-pendek, tentu materinya tidak selengkap seperti yang bisa dibaca di kitab-kitab para ulama, ya.

(Flyer pendaftaran HSI Abdullah Roy)

Bagi saya yang awam ini, sistem seperti ini nyaman sekali diikuti dan mudah dipahami insyaallah. Setiap hari akan ada evaluasi harian dalam bentuk soal pilihan ganda. Ngga banyak, kok, hanya dua soal per hari, soal diambil dari materi hari itu juga. Dan di akhir pekan ada evaluasi pekanan berjumlah delapan soal.

Di akhir silsilah, biasanya setelah 25 materi, akan ada evaluasi akhir. Jumlah soalnya puluhan, saya lupa tepatnya. Dan setelah evaluasi akhir, akan ada nilai akhir. Bagi yang nilainya rasib, gayib, dan maqbul akan di-DO dari kelas. It’s just that simple, right?

Untuk info lebih lengkap bisa ke situs www.abdullahroy.com ya. Fyi, kelas ini tidak dipungut biaya. :)

Sekian tulisan kali ini. Mohon maaf kalau ada info yang salah atau kurang. Semoga bermanfaat. :)


Share:

08 January 2021

Mari Menikmati Kebisingan


Judul: Bising
Penulis: Kurniawan Gunadi
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: Bentang Pustaka


Saya membeli buku ini di akhir tahun 2020, dan buku ini resmi jadi buku pertama yang tamat saya baca di 2021. 

Awalnya saya bingung membaca buku ini, setelah membaca beberapa puluh halaman, baru kusadari ternyata ini kumpulan cerita. Ya ampun, telat amat ya nyadarnya. Wkwk.

Lebih tepatnya ini semacam kumpulan curhatan, kejujuran terdalam, perasaan terpendam, yang tidak hanya ada dalam diri seseorang, tapi dalam diri banyak orang. Dari sekian banyak kebisingan dalam buku ini, saya yakin minimal ada satu atau dua atau mungkin lebih, yang Anda bisa relate. Atau paling tidak terasa “mirip” dengan kehidupan Anda, atau orang di sekitar Anda.

Di beberapa cerita saya bahkan merasa “jangan-jangan ini curhatan temenku”, karena mirip banget sikonnya. 

Biasanya saya kurang suka buku-buku semacam ini, hanya baca beberapa halaman lalu berhenti karena terasa klise. Akan tetapi, Bising ini rasanya berbeda dan menohok. Di buku ini ada berbagai sudut pandang yang begitu mewakili dan jujur, blak-blakan. Ada puluhan cerita dengan tokoh “Aku” yang berbeda-beda. Ada istri yang kecewa, suami yang baru di-PHK, bujangan yang mendamba akhwat, wanita yang muak dengan omongan tetangga, orang tua yang tak memahami anak milenial, dll.

Salah satu yang membuat terharu yaitu cerita berjudul “Menembus Sepinya Jalan”. Curhatan seorang tukang nasi goreng keliling yang merasa gagal mendidik anak. Anaknya nyebelin gaes. :’(

Bagi saya sendiri ini pengalamn baru membaca buku dengan genre atau format seperti ini. Membuat Bising terasa segar, menghibur, sekaligus memberi banyak pelajaran berharga. Beberapa quote yang saya suka dari buku ini:

"Bagaimana mungkin kamu merasa kalah padahal kamu tidak berjuang?" (hlm. 139)

"Aku tidak pernah melihat saudara yang sibuk bergunjing seperti itu. Tak ada saudara yang seperti itu." (hlm. 133)

"Aku ingin sekali memeluknya, dan mendapatkan pelukan yang dulu pernah kuterima setiap hari kala dia masih kecil." (hlm. 63)

Buku yang unik untuk mengawali tahun. Pesan dalam buku ini kurang lebih agar lebih mendengarkan kata hati, agar berani, tegar, dan jujur pada diri sendiri. :))

Share: