Mau Cobain Gramedia Digital? Gini Caranya



Sudah lama mau nulis tentang ini, tapi baru sekarang terwujud. Ini pun karena tema Rulis Kompakan minggu ini adalah all about tutorial. Wkwk. Ok, let’s go!

Sudah sebulan saya berlangganan Gramedia Digital, dan menurut saya sih ini oke banget. Gramedia Digital adalah aplikasi untuk baca ebook, official dari Gramedia. Ini salah satu cara untuk kita bisa menikmati ebook secara legal, dan murah.

Caranya mudah, cukup install aplikasi Gramedia Digital, lalu login dengan akun Anda. Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana cara berlangganan Gramedia Digital? 

Tidak seperti aplikasi iPusnas yang gratis, pengguna Gramedia Digital wajib berlangganan untuk bisa membaca ebook. Biaya berlangganan bervariasi tergantung paket. Ada paket fiksi, nonfiksi, dan premium. Saya sendiri langganan yang premium karena suka random bacanya antara fiksi dan nonfiksi.

Cara berlangganannya mudah sekali pemirsa, cukup dengan samperin situs resminya www.ebooks.gramedia.com, lalu pilih paket yang diinginkan. Tentunya Anda akan diminta membuat akun dulu. 

Kemudian tinggal isi form yang disediakan, terus bayar dengan cara pembayaran yang Anda pilih. Selanjutnya buka aplikasi Gramedia Digital di ponsel, kemudian log in dengan akun yang tadi dibuat. Kini Anda sudah bisa menikmati ribuan buku! Mudah sekali, kan?

Saya pribadi senang sih berlangganan Gramedia Digital ini, jadi ngga ngiler lagi kalo ke toko Gramedia-nya, karena bisa baca di aplikasi. Hehe. 

Tapi tentu ada plus minusnya. Insyaallah saya akan bahas di tulisan selanjutnya. Wkwk. 


Setengah Tahun dalam Kapal PJ-PJ Kece

Sering kali, saat kita ingin menyerah, sebenarnya saat itu kita sudah dekat sekali dengan tujuan. Ya, benar. Itulah yang kurasakan. Aku hampir menyerah, tapi aku memilih terus berjalan, dan rupanya aku bertemu dengan kebahagiaan yang kucari. Kebahagiaan itu adalah dipertemukan dengan PJ-PJ Kece dalam keluarga “Divisi Offline”.

And here’s the backstory…

Fyi, sejak semula tujuanku bergabung dengan komunitas ini adalah mencari teman. Ya, karena saat itu aku baru pindah ke Batam dan ingin mencari teman-teman yang satu frekuensi.

Aku pun bergabung dengan komunitas IP Batam di tahun 2017 dan menjadi admin medsos di awal tahun 2018. Setelah menjalani peran sebagai admin medsos selama hampir dua tahun, di akhir 2019, aku sudah sangat yakin untuk berhenti terlibat dalam kepengurusan.

Aku tidak ingin menjadi pengurus lagi. Aku lelah, emosiku lelah. Rasanya aku putus asa menemukan apa yang kucari di sana.

Namun tiba-tiba, seseorang menawariku. Ia memintaku menjadi PJ Rumbel Menulis. Aku menolak karena sadar diri tidak punya bakat kepemimpinan. Aku tetap ingin di rumbel sebagai member saja, menikmati saja.

Akan tetapi, si kawan itu tak berhenti merayu. Tak mau kalah, aku juga balik mendorongnya untuk menjadi pengurus lagi. Padahal sebelumnya dia juga sudah yakin mau mundur.

Kami saling dorong--tidak secara harfiah tentu saja. Perlahan, aku mulai tertarik dengan tawarannya, tapi ragu. Aku melemparkan klausa, “aku mau jadi pengurus lagi, asalkan kamu juga”. Tapi dia malah melempar balik kalimat itu. Kalau diingat-ingat, obrolan kala itu terdengar seperti adegan “you jump, I jump” antara Jack dan Rose di kapal Titanic.

Dan memang begitulah, kami akhirnya sama-sama menaiki kapal “kepengurusan”. Tentu saja, aku tidak berharap kapal ini bernasib seperti Titanic.

Beberapa minggu kemudian, kapal ini berlayar, aku masuk ke sebuah kapal kecil bernama “Divisi Offline” (kini berganti nama jadi Pengurus Kampung Komunitas). Sejak awal, entah bagaimana aku sudah merasakan adanya kehangatan yang menenangkan di kapal ini. Mungkin karena kami semua awalnya orang-orang yang mengalami kejadian “You jump, I jump”, sebelum akhirnya memutuskan naik ke kapal karena masih sayang.

Di kapal kecil nan hangat ini, kami tak segan saling memberi dukungan. Walau tak jarang juga sama-sama bermalas-malasan, nge-down bareng. Ternyata itu tidak seburuk kedengarannya. Kadang saat sedang jatuh, kau tidak butuh kata-kata penyemangat yang menyuruhmu bangkit. Kau hanya butuh teman yang sama-sama merasakan luka, kemudian sama-sama bangun dan tersenyum.

Itulah yang kami lakukan, itulah yang aku rasakan. Kami bukan sekumpulan orang yang selalu optimis. Tapi di atas kapal ini, kami bisa jujur dan terbuka pada perasaan sendiri yang tidak selalu dalam kondisi baik.

Saat menaiki kapal, kami dalam keadaan berbalut luka. Lalu kami saling menyembuhkan dan menguatkan. Kami bukan dokter. Tapi kami saling merawat, saling menjaga semampunya. Dan dengan begitu, kami bahagia.

Dan kebahagiaan itulah yang menahanku tetap di sini, tetap di atas kapal yang mengarungi gelombang. Kapal yang kadang tenang, sering juga terguncang. Dengan awak kapal yang punya macam-macam kelakuan, aneh bin ajaib serta menyenangkan.

Segala yang ada di kapal ini membuatku ingin tetap berada di dalamnya. Sampai suatu hari nanti kapal ini berlabuh, dan kami sama-sama turun ke daratan. Sebagian mungkin kembali berlayar, sebagian mungkin memilih berdiam. Tapi apa pun itu, semoga kami sama-sama bahagia. :)

Disclaimer: tulisan ini mengandung unsur ke-lebay-an yang tulus dari hati terdalam. wkwk...

Tenggelam dan Terselamatkan

Rulis kompakan minggu ini temanya agak dark, near death experience. Membuat kami, para member Rumbel Menulis yang rajin dan pantang menyerah, membuka memori lama. Aha! Saya punya sebuah pengalaman yang masuk dengan tema ini. Ya, pengalaman kurang menyenangkan di kolam renang.

Ini kejadian ketika saya kecil, sekitar usia lima tahun. Saya, kakak saya, dan seorang teman, sedang berenang di kolam. Kolam tersebut ada bagian yang cetek, ada yang dalam. Nah, awalnya tentu saya hanya main-main di kolam cetek karena belum bisa berenang.


Saya tidak terlalu ingat detail yang terjadi. Yang saya ingat adalah saya yang panik berusaha mengambang dan menghirup udara bebas, tapi tidak bisa. Dan kaki saya pun tak bisa menjejak lantai kolam. 


Beruntung saat itu kakak saya yang baru berusia sekitar sembilan tahun dan berjiwa heroik sudah pandai berenang. Ia kemudian yang menyelamatkan dan membawa saya ke pinggir kolam. Saya menelan sejumlah air tentu saja.


Alhamdulillah, sejak saat itu saya tidak pernah tenggelam--sampai seperti itu--lagi. Saya juga tak lantas menjadi trauma karenanya. Dan di usia 12 tahun, saya sudah bisa berenang. Tapi kejadian tersebut tak saya lupakan. 


Susah Move On dari Xperia Z5 Compact

Sifat saya yang setia dan susah move on ternyata juga berlaku terhadap gadget. Akan tetapi, menurut saya pribadi yang sudah jatuh hati, Xperia Z5 Compact ini memang memiliki segudang alasan untuk dicintai.

(Xperia Z5 Compact, foto:gsmarena.com)


Banyak yang bilang cinta pertama itu teringat selamanya. Tapi tidak jika berhadapan dengan Sony Xperia Z5 Compact. Ponsel pintar ini telah membuat saya amnesia dengan para pendahulunya, sebut saja Motorola Q9, Galaxy Chat, Nokia N-Gage, Nokia 1110.

Apa sebenarnya yang dimiliki oleh ponsel keluaran Jepang itu? Pertama, tidak banyak aplikasi bawaan. Ini adalah sebuah kemewahan yang tak dimiliki Samsung, Xiaomi, dll. Aplikasi bawaan di Xperia Z5 tidak memakan banyak ruang, sehingga memori yang ada bisa dimanfaatkan dengan maksimal.

Kedua, tidak hobi nge-hang walaupun sudah bertahun-tahun. Sebelum bertemu ponsel ini, saya kira nge-hang adalah sebuah keniscayaan yang dialami setiap ponsel Android setelah lama digunakan. Ternyata saya salah! Xperia Z5 Compact ini jaraaaang sekali hang. Padahal saya kerap menyiksanya dengan membuka beberapa aplikasi sekaligus, misal GDrive, WhatsApp, Canva, dan Instagram, bersamaan.

Ketiga, ukurannya yang simple. Saat saya pertama menggunakan ponsel ini, yang booming di pasaran adalah ponsel-ponsel dengan layar besar. ASUS, Lenovo, Samsung, semua seolah berlomba menciptakan ponsel yang semakin lebar. Saya kurang suka. Ukuran yang terlalu besar itu tidak bisa masuk ke saku yang kecil, dan menggunakannya pun harus dua tangan. Walaupun ada fitur one-hand, tapi tetap tak senyaman ponsel kecil.

Maka salah satu kriteria utama saya dalam memilih ponsel adalah ukuran. Sebisa mungkin tidak lebih dari 5 inchi--Xperia Z5 Compact itu 4.6 inchi--sehingga pas di genggaman dan bisa disisipkan ke saku tas, atau baju.

Masih banyak kelebihan smartphone satu ini. Rasanya tak ada habisnya jika dituliskan semua. Intinya, saya senang sekali bisa bersama ponsel ini. Sayangnya, karena suatu sebab, ponsel ini tak lagi menjadi yang utama. Setelah empat tahun, posisinya digantikan oleh saudaranya, yaitu Sony Xperia XZ2.

(Sony Xperia XZ 2, foto: Youtube Science and Knowledge)

Tapi harus saya akui, penggantinya ini tidak lebih baik, by any means. Dan itulah sebabnya saya masih menggunakan Xperia Z5 Compact sebagai ponsel kedua. 



Foto Masa Depan

Apakah Anda punya foto Anda di masa depan? Atau foto anak-anak Anda di masa depan? Tentu saja tidak. Saya pun tidak punya foto dari masa depan. Ya, semua foto yang kita miliki sekarang adalah foto masa lalu. Bisa foto sejam lalu, sehari lalu, atau bertahun-tahun lalu.

Foto-foto masa lalu itu biasanya membangkitkan kenangan. Dulu, ketika kita masih kecil. Setelah menatap foto, kita menyadari, “Wah, sekarang aku sudah tua dewasa.” Atau foto anak-anak kita, lantas kita bergumam, “Sekarang anak ini sudah besar.”

Beberapa detik selanjutnya kita masih membayangkan kejadian-kejadian, waktu-waktu yang berlalu antara foto tersebut dengan sekarang. Mungkin ada beberapa penyesalan, kesedihan, atau kebahagiaan saat melamunkannya. Ya, begitulah kalau kita melihat foto-foto masa lalu.

Tapi, bagaimana jika kita melihat foto-foto masa depan? Apa kira-kira yang ada dalam pikiran kita? Hmm… sebentar, saya bayangkan. Mungkin begini jadinya…

“Ternyata, sekarang aku masih muda, masih bertenaga, punya banyak peluang, dan kesempatan.”

“Wah, ternyata anakku sekarang masih kecil, ya. Badannya saja yang gede. Pantas saja dia masih suka manja dan susah dinasihati.” (hehehe..)

Mungkinkah demikian?

Jika ada foto masa depan, mungkin kita akan lebih bisa menikmati, mensyukuri, dan berbahagia di masa sekarang. Atau malah tak sabar ingin segera menikmati masa depan. Tapi foto masa depan itu tidak ada. Masa depan masih tetap dengan ciri khasnya, misterius.

Dan kita pun kembali ke foto-foto masa lalu, kembali mengenang memori-memori. Tapi kini kita bisa bergumam, “Insyaallah, aku masih punya masa depan untuk dirajut mulai sekarang” dan lebih berbahagia menikmati masa-masa ini. :)

***

Tulisan aneh bin ajaib apa ini, ya? Haha..

Sejatinya ada kata-kata yang berjubel di dalam benak tapi sungguh tak mudah diungkap. Kata-kata itu, dan tulisan ini, terinspirasi oleh sebuah unggahan yang sangat menyentuh hati dari mentor menulis saya. Berikut unggahannya:

View this post on Instagram

Melihat Fesbuk menyodorkan foto-foto memori, seringkali saya merasa perih tiba-tiba. Bukan tentang seting tempatnya. Tapi tentang bocah perempuan itu. . Saya seolah baru menyadari, bahwa dia pernah sekecil itu. Pada waktu itu, di mata saya dia tampak sudah gede. Tentu karena saya membandingkannya dengan ingatan saya dari waktu-waktu sebelumnya, saat dia lebih kecil lagi, dan tidak bisa membayangkan rupa dan bentuknya di masa sesudahnya. . Maka, kadang saya pun memperlakukannya sebagai anak gede. Di sela relasi sayang-sayangan dengan anak, sering saya mengomelinya, bahkan pernah juga dengan keras memarahinya. Sampai dia menangis, mungkin sampai menyisakan luka diam-diam di dasar perasaannya. . Sekarang saya jadi menyesal. Ternyata waktu saya memarahinya dulu, dia masih sekecil itu. Dan saya menyadari bahwa dulu dia sekecil itu ya karena hari ini saya melihat dia sudah jauh lebih besar. . Sepuluh tahun lagi dia akan jauh lebih besar lagi, dan mungkin di hari itu lagi-lagi saya menyesal mengingat bahwa saya memarahinya di hari ini.

A post shared by Iqbal Aji Daryono (@iqbalkita) on




Review Komik Dewasa "Menepilah Ketika Lelah" Karya Abun Nada

Sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca komik. Dan akhirnya di bulan Maret 2021 ini, saya kelar membaca sebuah komik. Kali ini komikny...

Popular Post