21 January 2024

Akhirnya, Aku Beralih ke Rice Cooker Stainless Steel

 


Setelah bergelut dengan kegalauan yang disebabkan harga, kira-kira dua minggu lalu saya akhirnya resmi beralih ke rice cooker berbahan stainless steel (inner pot-nya). Dan saya menyesal, kenapa tidak sejak dulu memilih ini. Hiks.

So, bagi teman-teman yang mungkin masih bimbang, saya akan sharing pengalaman menggunakan rice cooker stainless steel ini–walaupun baru sebentar. Wkwk.

Mulai dari kelebihannya. Pertama, bahan stainless ini mudah dibersihkan. Kalau rice cooker biasa kan waswas ya, ga bisa pakai spons yang agak kasar itu. Nah, stainless ini kita santai karena bisa pakai macam-macam model spons, dan mencucinya jadi lebih cepat bersih. Less effort banget, deh!

Kedua, tidak ada lapisan teflon, yang artinya ngga perlu takut ada lapisan yang lepas dan masuk ke makanan, atau lecet karena kena sabut/sendok, dll. Sebelumnya saya memakai rice cooker berbahan teflon (antilengket) dan tetap saja lapisannya terkelupas walaupun sudah diperlakukan dengan lembut.

Bahkan, saya sampai beli inner pot lagi, dan baru beberapa minggu sudah tergores-gores lagi. I’m so done with rice cooker antilengket.

Ketiga, ternyata bahan stainless untuk inner pot rice cooker itu ngga lengket-lengket amat. Tanpa lapisan antilengket, ternyata nasinya tetap ngga yang nempel banyak gitu, kok. Kebalikan dari "si paling antilengket" yang ternyata bisa lengket juga, susah bersihinnya pula. Kalau stainless, walaupun ada yang lengket tapi nyucinya pun mudah.

Keempat, bahan stainless ini diklaim lebih sehat karena tidak ada lapisan yang berisiko terlepas dan bercampur dengan makanan. Akan tetapi, menurut yang saya baca, kalau digunakan untuk masak yang asam-asam bisa ada risiko logam berat yang larut. Nah, kalau rice cooker saya hanya pakai untuk masak nasi, jadi it’s fine, i guess.

Sekarang kekurangan dari rice cooker stainless steel. 

Lebih mahal. Dari sisi harga, model ini lebih mahal beberapa ratus ribu. Yaa sesuai dengan kelebihannya siy menurut saya.

Tidak banyak pilihan ukuran. Rice cooker teflon punya berbagai pilihan ukuran, mulai dari yang satu liter (atau kurang), sampai yang jumbo. Sedangkan si model stainless ini yang ukuran satu liter tidak banyak. Saya sendiri memakai merk Sanken ukuran 1,2 liter. Kebanyakan model ini berukuran dua liter. Jadi, kalau Anda mencari ukuran 2 liter sih lumayan banyak pilihan merk.

Pancinya agak lebih berat. Bahan stainless steel ini memang lebih berat, tapi ini tidak terlalu berpengaruh dalam penggunaan sehari-hari menurut saya. Soal durasi masak, agaknya stainless ini perlu waktu lebih lama. Atau hanya perasaan saya saja, ya?

Terlepas dari semua plus minus, saya lebih suka rice cooker stainless ini. Bagaimana dengan Anda?


Share:

05 January 2024

Resensi Novel Still Alice


Still Alice


Judul: Still Alice

Penulis: Lisa Genova

Penerbit: Erlangga

Tebal: 322 halaman

Let's get to the point. Novel ini bercerita tentang Alice Howland, seorang doktor dan dosen di Jurusan Psikologi Universitas Harvard, yang divonis Alzheimer (Early Onset Alzheimer). Padahal usianya masih tergolong muda, sekitar 50 tahunan. Umumnya yang mendapat diagnosis Alzheimer itu usia 65 ke atas.

Sedikit informasi, Alzheimer adalah penyakit yang menyerang otak. Sebabnya adalah penumpukan protein (amyloid) pada bagian-bagian otak. Semakin lama amyloid semakin banyak dan merusak fungsi otak. Biasanya gejala diawali dengan pikun/lupa, disorientasi, dll. 

Back to Still Alice. Sesuai diagnosis dokter spesialis saraf, kemampuan Alice dalam berbagai hal pun menurun perlahan. Ia yang semula sangat pintar, menjadi pelupa. Perlahan ia kehilangan kehidupan normalnya. Ia tak lagi bisa mengajar, tak lagi menulis buku. Bahkan untuk membaca pun ia kesulitan. Ia lupa rute jalan yang sering dilaluinya, lupa posisi ruangan di rumahnya, bahkan lupa fungsi benda dan cara menggunakannya.

Untungnya, Alice memiliki seorang suami–yang juga doktor dan dosen di Harvard–dan tiga orang anak yang sangat menyayanginya. Keluarganya memberi perhatian, waktu, dan tenaga ekstra, demi Alice bisa merasa lebih baik. Walaupun lama kelamaan Alice bahkan melupakan mereka.

Alzheimer yang diderita Alice adalah jenis yang keturunan/familial/genetik. Dan setelah dilakukan tes, ternyata salah satu anaknya mewarisi gen tersebut. Namun begitu, sang anak tetap menyayangi Alice. Deteksi dini ini membantu si anak ketika sedang menjalani program hamil dengan bayi tabung. Sejumlah cara ditempuh sehingga janin yang dikandungnya tidak mewarisi gen Alzheimer.

Lisa Genova menyajikan novel ini dengan bahasa yang simpel, mudah dipahami, tidak bertele-tele. Baik versi Inggris maupun terjemahannya. Penulis memberikan sudut pandang menarik dari seorang penderita Alzheimer, bukan dari sisi perawat atau keluarganya. Betapa hancurnya Alice ketika mendapat diagnosis tersebut, dan menjalani hari-harinya menjadi sangat sulit, sangat menantang.

Ada salah satu kutipan dari Alice yang sangat mengena, yaitu ketika Alice bilang bahwa ia rela menukar penyakit ini dengan kanker. Well, that’s bold. Kita menganggap penyakit paling berbahaya dan ditakuti adalah kanker, tetapi–paling tidak menurut Alice–kanker tidak membuat penderitanya lupa pada keluarga, dan kini banyak gerakan yang mendukung pasien kanker.

Berbeda dengan Alzheimer yang mungkin belum banyak diketahui orang. Orang yang tidak paham akan memberi label “gila”. Di sisi lain, penyakit ini juga belum ditemukan obatnya, dan bahkan progresnya tidak bisa direm. Beberapa obat sedang dikembangkan dan diuji coba tetapi belum ada yang berhasil.

Tidak hanya bagi penderita, bagi keluarga dan yang merawat pasien Alzheimer pun ini merupakan ujian berat. Karena itu muncul gerakan dukungan bagi para perawat dan keluarga pasien Alzheimer.

Novel ini pertama kali terbit tahun 2007, dan diadaptasi menjadi film berjudul sama sekitar tahun 2014. Film tersebut juga memenangkan beberapa penghargaan. Jika Anda tertarik dengan kisah Alice, saya sarankan membaca novelnya lebih dulu baru menonton filmnya. Karena banyak poin-poin dari novel yang tidak diceritakan di film, sehingga bisa jadi penonton bingung. Narasi atau ucapan Alice dalam hatinya pun tidak tergambar di film. 

Still Alice versi bahasa Indonesia bisa dibaca di Gramedia Digital. Kalau versi bahasa Inggris ada di Play Books, tapi lumayan mahal. Wkwk.

Novel ini menambah wawasan kita tentang penyakit Alzheimer, sekaligus agar kita bisa waspada. Karena buku ini juga saya jadi membuka web Alzheimer Indonesia, dan menemukan tagline menarik: jangan maklum dengan pikun.

Masyarakat kita meyakini bahwa usia tua berarti akan sering pikun. Padahal sebenarnya tidak demikian. Pikun bukanlah proses normal dari penuaan. Apalagi yang terjadi berulang kali dan semakin parah/sering. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter saraf jika keluarga dan saudara yang mengalami kepikunan. Tentunya tidak semua pikun berujung Alzheimer, ya.

Setelah membaca Still Alice, saya jadi semakin penasaran dengan novel/film lain bertema serupa. Any recommendation? 


Share:

01 January 2024

Rencana yang Tertunda

Bismillaah..

Rasanya folder “Tulisan 2023” juga belum banyak isinya, tau-tau sudah ada folder baru “Tulisan 2024”. Rasanya, banyak waktu terbuang untuk hal-hal tak berfaedah. Karena itu, sebaiknya folder baru ini lekas diisi dengan kebaikan. Anyway, bukan berarti merayakan tahun baru, hanya saja lebih mudah menghitung atau menandainya kalau di awal bulan, sekaligus awal tahun.


Hari ini aku sebenarnya berencana ngebolang ke Gramedia Matraman untuk ikut acara talkshow dengan Tere Liye. Iya, Tere Liye. aku bukan fansnya, hanya saja aku suka dengan beberapa novelnya seperti Tentang Kamu, dan Janji. Sesuk kurang sreg. 


Selain itu, aku suka dengan tulisan-tulisannya di media sosial. Walaupun kadang terkesan songong, haha, tapi penulisannya itu mengalir dan enak dibaca. Bahkan tulisan seputar politik pun dibuatnya menarik, terkadang lucu, seringnya miris.


Alasan lain aku ingin datang adalah karena ingin me-recharge motivasi menulis. Bertemu dengan penulis, apalagi sebesar Tere Liye, bisa menjadi booster semangatku. Bisa dibilang, dia juga yang membuatku kembali menulis sepuluh tahun lalu, setelah hiatus selama empat tahun. Saat itu aku sudah mengubur impian menjadi penulis, aku menulis yaa sekadar iseng. Aku tidak lagi menulis cerita fiksi, baik cerpen maupun novel.


Namun, suatu hari ternyata Tere Liye datang ke sekolah tempatku bekerja. Ia memberi semacam workshop menulis untuk para siswa, dan aku sempat ikut menyimak sebentar. Di waktu yang singkat itu, ia bilang, bahwa semua orang bisa menulis. Dan entah kenapa, aku kembali bersemangat. Padahal waktu itu aku bahkan belum pernah membaca karyanya satupun. 


Kemudian aku menulis lagi, dan ikut lomba cerpen. Dan aku menang. Saat itu lomba cerpen pesertanya rasanya tak seramai sekarang. Aku senang. Aku terus menulis. Bahkan sampai selesai dua buah cerita yang bisa disebut novela. Sekitar 70-an halaman.


Semangat menulis itu kembali redup setelah menikah dan pindah ke Batam. Ditambah lagi punya anak. Ah, menulis hanya sesempatnya. Akan tetapi, lagi-lagi, tanpa direncanakan, aku bertemu dengan Tere Liye. Sekitar tahun 2018 di hari minggu, aku seperti biasa ke Gramedia di Mall BCS. Ternyata hari itu ada talkshow dengan Tere Liye. Wow. 


Walaupun masih belum membaca satu pun karyanya, aku ikut menyimak talkshow itu. Pengunjung ramai, tapi tidak terlalu padat untuk sekelas Tere Liye, mungkin karena di Batam. Mendengar Tere Liye bicara, bercerita tentang proses penulisannya, rencana dan impiannya, itu kembali memotivasi jiwa menulisku yang sudah di ujung tanduk. Aku pun kembali menulis.


Hari ini, seharusnya aku datang ke acaranya lagi. Namun, setelah beberapa pertimbangan, aku urung. Aku berharap semoga ada kesempatan lain bisa bertemu lagi. Semoga ketika itu, aku sudah punya sebuah buku solo, dan produktif menulis, bukan lagi dalam rangka mencari motivasi. 


#1Jan2024


Share: