24 March 2021

Review Komik Dewasa "Menepilah Ketika Lelah" Karya Abun Nada


Sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca komik. Dan akhirnya di bulan Maret 2021 ini, saya kelar membaca sebuah komik. Kali ini komiknya berbeda, komik religi karya Abun Nada. Saya yakin banyak yang sudah “kenal” dengan nama Abun Nada (@abun_nada).

Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari karya-karya beliau. Termasuk dalam komik bertajuk Menepilah Ketika Lelah. Saya membeli komik ini sepaket dengan komik berjudul Topi Merah yang Sombong. Topi Merah yang Sombong adalah komik untuk anak-anak. Cerita yang sederhana tapi penuh pesan moral.

Komik Menepilah ketika lelah



Nah, kalau Menepilah Ketika Lelah ini bukan komik anak-anak, melainkan komik dewasa. Iya, dewasa. Komik ini layaknya reminder, pengingat, tentang hal-hal penting yang sering terlupakan. Terlebih di zaman sekarang, ketika kita--saya khususnya--lebih disibukkan dengan media sosial dan impian-impian dunia, agar mengingat aturan-aturan Allah, dan petunjuk-Nya. 

Komik dibuka dengan tema berbakti pada orang tua, lalu tentang muamalah terhadap sesama. Kemudian bergeser pada bahasan seputar pengasuhan alias parenting. Nah, bagian ini sangat menyentuh dan menegur diri saya. Di pembahasan tentang pengasuhan ini, penulis (Abun Nada), berbagi pengalaman ketika beliau menjadi kepala sekolah di sebuah pesantren.

Beliau yang juga seorang lulusan Psikologi pun mengaplikasikan ilmu yang beliau pelajari untuk mendidik para santri. Misalnya, salah satu fokus beliau saat mendidik santri-santri yang baru masuk adalah memperbaiki bahasa sehari-hari sebagai bagian dari adab. 

Para santri yang terbiasa dengan bahasa yang terasa kurang sopan, diajari untuk mengubah kebiasaan itu pelan-pelan. Metodenya pun menarik, tak sekadar menerangkan, tapi juga menggunakan metode bermain, dan saling mengingatkan sesama santri. Kenapa bahasa yang menjadi fokus? Karena bahasa bisa memengaruhi pribadi seseorang.

Kemudian dikisahkan juga bagaimana para ustadz di pesantren menangani santri yang “bandel”, dengan cara yang penuh hikmah. Salah satunya juga dengan memperhatikan bahasa atau pilihan kata yang digunakan saat menegur anak. Ini menjadi pengingat sendiri bagi saya yang masih sering melakukan kesalahan saat menegur anak. 

Walaupun niat kita baik ketika menegur anak, tapi diksi yang salah, pilihan kata atau intonasi yang salah, dapat memberi kesan yang jauh berbeda bagi anak. 

Ada juga kisah tentang bagaimana beliau memberi apresiasi pada santri. Menilai santri tidak hanya dari satu aspek, tapi dari berbagai aspek. Benar-benar memperhatikan santri sehingga ketika seorang santri mungkin tak unggul dalam hal akademik, bisa jadi santri tersebut unggul dalam akhlak. Maka ia juga berhak mendapat apresiasi dan berprestasi.

Saya senang sekali dengan bahasan parenting di komik ini--walaupun porsinya hanya sekitar sepertiga. Karena biasanya buku parenting hadir dalam bentuk tulisan, kali ini dengan gambar. Membacanya jadi terasa lebih santai, tetapi tetap bermakna. 

Tentu saja, membaca itu mudah, tapi melakukan, mengaplikasikan, berbeda urusan. Semoga Allah mudahkan saya dan kita semua untuk selalu belajar, menjadi orang tua dan pribadi yang lebih baik. Amin.

Jadi tidak sabar menanti komik selanjutnya dari Abun Nada. 

11 Sya’ban 1442 H (H-20 Ramadan)


Share:

25 February 2021

Review Novel The Star and I (Ilana Tan)

Lima tahun setelah In A Blue Moon, Ilana Tan kembali meluncurkan karya. Berjudul The Star and I, novel ini kembali membawa ciri khas karya Ilana Tan. Kisah romance yang sederhana, dengan konflik yang mungkin tidak bombastis, tapi penyajiannya sungguh memikat.


Judul: The Star and I

Penulis: Ilana Tan

Penerbit: Gramedia

Tahun terbit: 2021

Tebal: 344 halaman



Spoiler alert!

Manis, adalah kata yang tepat untuk karya-karya Ilana Tan, khususnya The Star and I. Novel ini berkisah tentang Olivia Mitchell, seorang aktor Broadway, yang mencari ibu kandungnya di The Big Apple alias New York. Dia tak sendiri. Dibantu oleh sahabat masa kecilnya, Rex Rankin, pencarian Olivia jadi lebih menarik.


Aku menikmati membaca novel ini. Setiap scene yang digambarkan bisa dengan mudah dibayangkan oleh pembaca. Ilana Tan tidak menggunakan kosakata yang njelimet, sederhana, tapi indah.


Karakter dan tingkah tiap tokohnya begitu kuat dan natural. Ollie yang ceria, dramatis, polos. Rex yang pemalu, pendiam, cool, baik hati (pada beberapa orang).  Chemistry antara Ollie dan Rex yang sudah berteman sejak balita juga digambarkan dengan pas, tidak berlebihan. Pembaca bisa menerima dan merasakan emosi itu.


Tidak klise. Ya, novel ini mengangkat premis tentang Ollie yang mencari ibunya, dan dia menemukannya dengan bantuan penyelidik. Ibu kandungnya bukanlah seorang yang selama ini dia kenal, atau orang yang punya ikatan dengan orang yang akrab dengannya. Ini logis dan tidak klise menurutku. Alur pencarian ibunya pun dibuat begitu runut, rapi. Tidak ujug-ujug, tidak juga terlalu rumit.


Sementara hubungan antara Ollie dan Rex juga begitu dewasa. Bukan dewasa yang macem-macem, ya. Di sini tidak ada adegan aneh-aneh, ga ada kissing juga. Justru, emosi antara keduanya dibangun dari tindakan saling mendukung, tanpa banyak mengumbar kata cinta. Toh, mereka teman sejak kecil, jadi sudah saling pengertian gitu.

"Adakalanya orang-orang yang menghilang adalah orang-orang yang tidak ingin ditemukan." 
-Robert Ramford 

Novel-novel Ilana Tan memang setting-nya di luar negeri, tapi tak lantas begitu saja menggambarkan budaya luar yang bebas. Semua ceritanya disesuaikan dengan budaya di Indonesia. Terlihat sangat sopan dibanding cerita aneh bin ajaib yang berkembang sekarang--di platform online terutama.


Bagi penggemar karya-karya Ilana Tan kurasa akan senang dengan novel ini. Mungkin melebihi In A Blue Moon dan seri empat musim. Sedangkan bagi penggemar cerita “fantastis” atau “heboh”, cerita dengan judul yang membocorkan keseluruhan cerita, ini tentu tidak cocok. 


======================End of review=====================


Bulan ini aku berhasil menamatkan dua novel, tapi sepertinya gagal menamatkan novel Agatha Christie. Padahal lagi ikut challenge dari @Fiksigpu. Hiks.


Ngomong-ngomong, aku sendiri mulai heran, kenapa kalau novel bisa cepet bener bacanya. Sedangkan buku parenting dan nonfiksi lainnya udah mengantre sejak kapan belum ada tanda bakal kelar. Wkwk.


Dan karena sebentar lagi bulan Ramadhan (sekitar 46 hari lagi!), sepertinya aku akan beralih membaca buku-buku nonfiksi yang menumpuk dulu. Karena beneran udah menumpuk, dan pada belum kelar. Ada yang belum dibaca sama sekali. Duh. Khususnya buku-buku agama. Jadi jangan kaget, ya, kalau tiba-tiba aku post tentang buku religi. Wkwk. Semoga benar-benar bisa baca sampai selesai dan mengamalkannya. Aamiin. 


Share:

24 February 2021

Review Novel Teluk Alaska

Hmm… Aku sejujurnya bingung memulai dari mana. Tapi karena buku ini sudah dibaca, walaupun skimming di beberapa bagian, jadi aku akan tetap menulis review.


Judul: Teluk Alaska

Penulis: Eka Aryani

Penerbit: Coconut Books

Tahun terbit: 2019

Tebal: 407 halaman


Sinopsis:

Teluk Alaska bercerita tentang Ana, siswi kelas IX, yang selalu di-bully oleh teman (?) sekelasnya. Yang hobi mem-bully adalah geng “penguasa sekolah”. Ana ini walaupun sering mengalami perundungan, dia tetap saja diam, kalem, senyum, di depan para pem-bully. Sampai akhirnya mulai terjadi perubahan yang entah bagaimana gitu. Salah satu pem-bully perlahan jatuh cintrong. And so on..


Review (spoiler alert):

Sepertinya aku perlu disclaimer dulu: ini bukan tipe cerita favoritku. Maksudnya, aku suka cerita romance, tapi bukan romance remaja SMA. Jadi aku kurang bisa menikmati novel ini.  Ada beberapa sebab, tentunya. Pertama, terlalu bucin--tidak perlu dijelasin lah, ya. Pokoknya gitu dah, bucin ala remaja yang baru mengenal suka-sukaan dan seakan dunia milik berdua.


Kedua, adegan yang repetitif sehingga menjadi (terlalu) klise. Bayangkan, ada tiga kali adegan si cewe-cowo ini hujan-hujanan berdua. Duh, ga masuk angin apa? Ketiga, terlalu banyak kata sifat, kurang deskripsi. Aku juga bukan pencinta deskripsi yang terlalu detail. Namun, ga sesingkat “ibunya cantik”, atau “awet muda”, gitu juga lah, ya. Kan bisa dijelasin lebih detail gimana cantiknya. Atau tentang latar tempat. Ngga cuma “awan mendung” aja. Ya kan? 


Keempat, plot hole. Ada banyak sisi yang aneh, menurutku. Misal, si geng penguasa sekolah ini dikesankan anak-anak orang kaya. Tapi ternyata yang kaya cuma satu orang. Terus, di bagian akhir, time skip lima tahun, itu Ana diumpetin di mana? Is that even possible


Kelima, bertele-tele, tokoh utama yang terlalu sempurna. Bagian depan terlalu lambaaat. Lalu si tokoh utama seolah tanpa kekurangan. Sooo perfect: pinter banget, cantik, baik banget. Okay, kalau diterusin kayaknya ngga kelar-kelar. Kita skip ke bagian positifnya aja ya.


Mungkin karena usiaku juga sudah kepala tiga, jadi pandanganku agak beda terhadap novel remaja yang seperti ini. Namun, sebagai orang tua, ada pesan penting yang bisa diambil: didiklah anak dengan baik! Supaya ga bucin-bucin-an, dan ga menjadi pem-bully, atau di-bully kelak. :)


Btw, aku baca novel ini karena direkomen oleh seorang kawan. Kawanku ini orangnya positif sekali, ngga kayak aku. Wkwk. Jadi mungkin dia bisa melihat lebih banyak sisi positif dari novel ini. Iya, ngga, Mba? X)


Share:

27 January 2021

Selamat (Sintong) Tinggal: Review Buku Terbaru Tere Liye



Judul: Selamat Tinggal
Penulis: Tere Liye (Co-Author: Saripudin)
Tahun Terbit: Desember 2020
Penerbit: Gramedia


Ini memang baru buku kedua Tere Liye yang saya baca. Tapi saya yakin buku ini adalah salah satu yang paling powerful yang ditulis dengan semangat berapi-api, membawa pesan yang begitu dalam dan kuat.

Ya, bisa dibilang novel ini adalah curahan hati seorang Tere Liye. Pengikut akun medsos Tere Liye pasti paham kalau penulis asal Sumatera itu memang kerap menyoroti fenomena buku bajakan. Dan barang bajakan lainnya secara umum. 

“Selamat Tinggal” mengangkat hal itu. Jelas. Dilihat dari tokoh utama seorang mahasiswa Fakultas Sastra sekaligus penjual buku bajakan, kemudian tokoh lain yang juga keluarga pengusaha barang-barang KW. Ada juga teman si tokoh utama yang punya usaha penyedia situs streaming film ilegal, serta seorang yang rajin meng-cover lagu di YouTube pun tak ketinggalan kena sindir.

Sinopsis:

Sintong, mahasiswa tahun ketujuh Fakultas Sastra yang sedang berusaha lulus (baca: menyelesaikan skripsi). Skripsinya membahas tentang penulis legendaris di tahun ‘60-an yang tiba-tiba menghilang. Dalam perjalanan menulis skripsi, Sintong diselimuti berbagai kegalauan. Mulai dari pekerjaan sampingannya sebagai penjaga toko buku bajakan, perasaannya pada seorang gadis, semangat menulis yang tiba-tiba muncul lagi, dan lain-lain.

Banyak hal yang informatif dalam novel ini. Misalnya dampak bisnis bajakan kepada penulis atau creator asli, dan bagaimana bisnis bajakan itu berjalan. 

Tak bisa dimungkiri, kita tahu ini adalah novel fiksi, tapi kita juga tahu bahwa keberadaan bisnis buku bajakan dan semacamnya itu fakta. Ada juga bisnis obat palsu. Dan bisnis-bisnis haram tersebut tak jarang melibatkan--alias dibeking--pihak yang seharusnya memberantas itu semua. 

Fakta-fakta ini kemudian seolah menjadi sorot utama, dan fiksi di dalamnya sebagai “bingkai”. Jadi, tak heran kalau novel ini membuka mata kita tentang keburukan bisnis barang bajakan.

Ngomong-ngomong, saya yakin setelah buku ini dirilis, pencarian di Google dengan kata kunci “Sutan Pane” meningkat. (Iya, saya juga searching! Wkwk.. XD )

Bukan hanya tentang barang bajakan, ada pesan penting lainnya, yaitu tentang pertobatan. Bahwa seberapa pun parahnya kita berbuat salah, kita selalu bisa kembali, meninggalkan perbuatan itu. Dalam buku ini khususnya, tentu saja, bertobat dari barang bajakan. Apa pun itu bentuknya, termasuk software, film, dll. 

Namun, penulis--Tere Liye dan co-author--juga tak ujug-ujug dengan kasar menghakimi. Ada tokoh yang rasa-rasanya mewakili banyak orang, yaitu tokoh yang tahu bahwa barang-barang bajakan itu salah, tapi belum bisa keluar dari lilitannya dan belum bisa mengubah apa-apa walaupun ingin.

“Jangan berkecil hati, Kawan, jika hari ini kepal jarimu masih lemah. Jangan berkecil hati, Kawan, jika hari ini suaramu jauh dari lantang dan didengarkan. Sungguh jangan berkecil hati, Kawan, jika dirimu belum mampu mengubah situasi.” (hlmn. 321)

Kritik tajam pada bisnis barang bajakan adalah topik utama di novel ini, ditambah bumbu sindiran pada koruptor, pejabat/pihak berwenang, serta pemerintah. (Bahkan Pertamina pun kena sindir!) 

Selain fokus pada masalah tersebut, novel ini juga menyuntikkan semangat luar biasa kepada para penulis untuk senantiasa berani dan gigih dalam berkarya. Hal itu disajikan dengan apik lewat tokoh Sutan Pane dan Sintong.

(Kalau ada yang tanya, "Apakah membeli ebook lalu 'meminjamkannya' dengan mengirim pdf dibolehkan?", maka inilah jawabannya. Eh, ngga keliatan juga ya? hahaha..)

Lewat tokoh inilah, seorang Tere Liye dengan bebas menyampaikan pesan kepada para penulis--dan pemuda--untuk selalu objektif dalam menulis. Menulis dengan adil dan didasari kepedulian, bukan dengan kebencian.

Seperti biasa, gaya penulisan Tere Liye yang begitu membumi dan sederhana tapi elegan, sungguh membuat saya terhanyut. Novel ini tak memaksa kita membuka KBBI, tapi tetap memberi makna yang dalam.

Hal yang juga spesial di buku ini adalah sudut pandang yang digunakan. Sudut pandang orang ketiga yang digunakan dengan sangat luwes dan fleksibel, tidak kaku. Pembaca jadi merasa seperti sedang dibacakan dongeng, dimanjakan, dan dianggap. Istilah kerennya mungkin “breaking the fourth wall”.  

Ah, terlalu banyak hal unik dalam novel ini. Kata “bagus” untuk karya ini rasanya kurang pas. Saya lebih suka melabelinya dengan “cerdas”, “unik”, dan “inspiratif”. Dan tentu saja saya merekomendasikan Anda semua untuk membacanya. Walaupun pastilah karya ini juga tak lepas dari kekurangan, tapi ada banyak pesan, makna terpedam yang bisa dipetik.

Share:

22 January 2021

Tip Belajar di HSI Abdullah Roy

Kali ini saya akan berbagi sedikiit tip belajar di HSI Abdullah Roy. Bagi yang belum tahu apa itu HSI Abdullah Roy, nanti di akhir tulisan saya jelasin sedikit, yak. Kenapa, kok, sedikit? Karena yang saya tahu juga cuma sedikiit. Hehe.


Alhamdulillah, selama dua tahun ini mengikuti HSI, saya masih barely survive alias selamat dari ancaman DO. Wkwk. Kuncinya agar tidak di-DO adalah jangan lupa mengerjakan evaluasi harian, evaluasi pekanan, serta evaluasi akhir.

Tentunya kalau jawaban kita banyak yang salah yaa bisa di-DO juga. Karena itu, ada beberapa tip nih yang bisa diterapkan.

Pertama, catat materinya! Ya, ini penting sekali karena akan ada evaluasi pekanan dan evaluasi akhir. Untuk bisa mengingat banyak materi tanpa mencatat tentu hampir mustahil. Karena itu catatlah poin-poin penting dari tiap-tiap materi.

Cara mencatat ini bisa jadi sangat subjektif, maksudnya, saya lebih bisa memahami atau mengingat apa yang saya catat dibanding membaca catatan orang lain. Walaupun mungkin catatan orang lain lebih lengkap. Mencatat sendiri memudahkan kita mengingat karena pilihan kata-kata kita bisa lebih enak ditangkap diri sendiri. Saya pribadi lebih suka mencatat di kertas, di buku catatan kecil khusus, dan tidak di laptop.

Tip kedua, ini bagi yang sering lupa mencatat atau lupa menyisihkan waktu, catatlah dua materi langsung di pagi hari. Sehabis subuh di hari Selasa misalnya, Anda bisa mendengarkan dan mencatat materi hari Senin dan Selasa, karena biasanya materi dibagikan saat subuh. Dengan begini lebih hemat waktu. Tetapi jangan lupa untuk segera mengerjakan evaluasi harian hari sebelumnya, ya. 

Tip ketiga, buatlah deadline sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di jam-jam menjelang penutupan evaluasi, situs HSI kerap sulit diakses. Kenapa? Ya, kemungkinan besar karena banyak yang mengerjakan evaluasi di ujung waktu. Entah kenapa.

Jadi, agar tidak berada dalam situasi menegangkan yang tidak perlu, buatlah deadline pribadi. Misal, untuk evaluasi pekanan yang ditutup pada Senin pukul 14.00, saya biasanya menargetkan untuk selesai maksimal hari Minggu malamnya. Sehingga akses lancar, dan di hari Senin kita sudah siap dengan materi baru.

Begitupula dengan evaluasi akhir, targetkan untuk mengerjakan maksimal H-1 penutupan. Jangan lupa  juga muroja'ah materi sebelum evaluasi, ya!

Tip terakhir adalah simpan username dan password situs HSI di ponsel atau laptop yang biasa digunakan untuk evaluasi. Jadi, ketika Anda login tak perlu bolak-balik memasukkan username dan password. Ini sangat bermanfaat bagi yang sering lupa atau ganti password seperti saya. Walaupun sudah mencatat username dan password, kadang saya lupa juga di mana mencatatnya. Astaghfirullah. 

Baiklah, itu tadi tip sederhana, semoga bermanfaat. 

Nah, jadi, apa itu HSI Abdullah Roy?

HSI (Halaqah Silsilah Ilmiyyah) Abdullah Roy adalah kelas atau program belajar agama Islam. Metodenya ada yang offline ada yang online. Saya ikut yang online via grup WA. Materi belajar diberikan pada hari  Senin-Jumat dalam bentuk audio pendek, berdurasi 2-7 menit.

Apa yang dipelajari? Di sini kita belajar Islam dari dasarnya banget. Dari mulai mengenal Allah, mengenal Rasulullah, mengenal agama Islam, lalu satu per satu rukun iman, juga sirah nabawiyah dibahas secara terstruktur. Karena audionya pendek-pendek, tentu materinya tidak selengkap seperti yang bisa dibaca di kitab-kitab para ulama, ya.

(Flyer pendaftaran HSI Abdullah Roy)

Bagi saya yang awam ini, sistem seperti ini nyaman sekali diikuti dan mudah dipahami insyaallah. Setiap hari akan ada evaluasi harian dalam bentuk soal pilihan ganda. Ngga banyak, kok, hanya dua soal per hari, soal diambil dari materi hari itu juga. Dan di akhir pekan ada evaluasi pekanan berjumlah delapan soal.

Di akhir silsilah, biasanya setelah 25 materi, akan ada evaluasi akhir. Jumlah soalnya puluhan, saya lupa tepatnya. Dan setelah evaluasi akhir, akan ada nilai akhir. Bagi yang nilainya rasib, gayib, dan maqbul akan di-DO dari kelas. It’s just that simple, right?

Untuk info lebih lengkap bisa ke situs www.abdullahroy.com ya. Fyi, kelas ini tidak dipungut biaya. :)

Sekian tulisan kali ini. Mohon maaf kalau ada info yang salah atau kurang. Semoga bermanfaat. :)


Share:

08 January 2021

Mari Menikmati Kebisingan


Judul: Bising
Penulis: Kurniawan Gunadi
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: Bentang Pustaka


Saya membeli buku ini di akhir tahun 2020, dan buku ini resmi jadi buku pertama yang tamat saya baca di 2021. 

Awalnya saya bingung membaca buku ini, setelah membaca beberapa puluh halaman, baru kusadari ternyata ini kumpulan cerita. Ya ampun, telat amat ya nyadarnya. Wkwk.

Lebih tepatnya ini semacam kumpulan curhatan, kejujuran terdalam, perasaan terpendam, yang tidak hanya ada dalam diri seseorang, tapi dalam diri banyak orang. Dari sekian banyak kebisingan dalam buku ini, saya yakin minimal ada satu atau dua atau mungkin lebih, yang Anda bisa relate. Atau paling tidak terasa “mirip” dengan kehidupan Anda, atau orang di sekitar Anda.

Di beberapa cerita saya bahkan merasa “jangan-jangan ini curhatan temenku”, karena mirip banget sikonnya. 

Biasanya saya kurang suka buku-buku semacam ini, hanya baca beberapa halaman lalu berhenti karena terasa klise. Akan tetapi, Bising ini rasanya berbeda dan menohok. Di buku ini ada berbagai sudut pandang yang begitu mewakili dan jujur, blak-blakan. Ada puluhan cerita dengan tokoh “Aku” yang berbeda-beda. Ada istri yang kecewa, suami yang baru di-PHK, bujangan yang mendamba akhwat, wanita yang muak dengan omongan tetangga, orang tua yang tak memahami anak milenial, dll.

Salah satu yang membuat terharu yaitu cerita berjudul “Menembus Sepinya Jalan”. Curhatan seorang tukang nasi goreng keliling yang merasa gagal mendidik anak. Anaknya nyebelin gaes. :’(

Bagi saya sendiri ini pengalamn baru membaca buku dengan genre atau format seperti ini. Membuat Bising terasa segar, menghibur, sekaligus memberi banyak pelajaran berharga. Beberapa quote yang saya suka dari buku ini:

"Bagaimana mungkin kamu merasa kalah padahal kamu tidak berjuang?" (hlm. 139)

"Aku tidak pernah melihat saudara yang sibuk bergunjing seperti itu. Tak ada saudara yang seperti itu." (hlm. 133)

"Aku ingin sekali memeluknya, dan mendapatkan pelukan yang dulu pernah kuterima setiap hari kala dia masih kecil." (hlm. 63)

Buku yang unik untuk mengawali tahun. Pesan dalam buku ini kurang lebih agar lebih mendengarkan kata hati, agar berani, tegar, dan jujur pada diri sendiri. :))

Share:

03 December 2020

Asik-asik Menikmati Konflik


Tulisan ini dibuat spesial untuk memenuhi tugas di WAG Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP) cabang Fiksi. Karena tanpa tugas tersebut, saya ga mungkin pede nulis tentang unsur-unsur cerita fiksi. Dan tema kali ini adalah “Konflik”.

Ibarat makanan, konflik dalam cerita adalah inti, makanan utama, lauk utama. Tanpa adanya konflik, cerita terasa tak bermakna. Eaaa… Dalam sebuah cerita bisa jadi ada satu konflik atau lebih. Konflik bisa muncul di awal, tengah, bahkan akhir cerita.

Dari beberapa sumber yang saya temui, salah satunya di kelas menulis cerpen Gol A Gong, konflik adalah ketika si tokoh dalam cerita bertemu batu sandungan dalam meraih tujuannya. Konflik ini terlihat jelas dalam premis sebuah cerita dengan rumus: tokoh utama+menginginkan sesuatu+hambatan=konflik.

Ada yang membagi konflik menjadi dua, yaitu konflik internal dan eksternal. Konflik internal adalah masalah yang terjadi dalam diri si tokoh sendiri, misal si tokoh melawan keraguan atau ketakutan dalam dirinya sendiri. 

Atau ada pula yang mendefinisikan konflik internal sebagai konflik yang tidak melibatkan fisik, tapi lebih ke psikologis antartokoh. Misal adegan seorang guru menasihati muridnya yang ngeyel. 

Tipe kedua adalah konflik eksternal. Konflik eksternal berarti konflik antara tokoh utama dengan tokoh lainnya, atau dengan sesuatu di luar dirinya. Pengertian lain dari konflik ini yaitu konflik yang melibatkan fisik. Contohnya adegan pengeroyokan maling, dsb.

Konflik bisa muncul dari mana saja dan berupa apa saja. Tidak mesti sesuatu yang wow, cetar membahana. Konflik bisa saja sesuatu yang sebenarnya sederhana, tapi dikemas dengan apik.

Contohnya di salah satu episode Gintama (anime), ada yang ceritanya si tokoh utama (anak perempuan) diam-diam ingin sebuah payung cantik. Ketika ada yang membelikannya payung cantik, ia sangat senang. Tapi tiba-tiba ia melihat dua orang anak kecil miskin yang tidak punya payung di tengah hujan. Setelah terjadi pergolakan batin, dan si tokoh utama akhirnya memberikan payung yang sangat ia sukai itu.

Dialog dalam episode tersebut bahkan sangat minim, konflik sederhana, tapi cerita dibawakan dengan natural dan penonton senang. Hehe.

Tentu saja, ada banyak contoh film, novel, atau cerpen yang mengangkat konflik besar dan disampaikan dengan baik juga. 

Jadi, apa konflik utama dalam hidupmu karyamu?

Sumber bacaan:

https://www.kompasiana.com/elfat67/5c2e7f83ab12ae695f551a02/menciptakan-konflik-dalam-karya-fiksi?page=1

https://www.wattpad.com/264454966-dapur-kepenulisan-alur-plot-konflik


Share: