Posts

Showing posts from May, 2020

Paling Tidak, Berempatilah!

Sebelum ada pesan “berdamai dengan corona”, yang selalu terngiang adalah “perang melawan corona”. Faktanya memang sampai saat ini kita masih berperang melawan corona. Dan ketika perang, tentu kita perlu senjata. Sayangnya, sejak dulu, Indonesia tak punya senjata canggih. Saya masih ingat dalam pelajaran sejarah selalu disebutkan bahwa zaman dahulu kala, bangsa kita bisa menang melawan penjajah dengan bermodal tombak kayu. Sedangkan penjajah memiliki senjata mutakhir. Mungkin kita lupa, bahwa sekarang pun senjata yang kita miliki masih tetap sama: gotong royong dan doa. Kita tidak punya senjata canggih melawan corona. Buktinya, di awal Covid-19 masuk ke Indonesia, laboratorium yang bisa mengecek hanya di Jakarta, di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan milik Kementerian Kesehatan. Ya, saat ini telah ada 103 laboratorium yang digunakan, tapi jumlah spesimen yang diperiksa tiap harinya masih minim. Jumlah kasus yang telah diperiksa spesimennya sampai hari ini baru sekitar

The Next Level of #dirumahaja

Ibarat sebuah ujian atau tes, ada level-level yang harus dilalui. Dalam ujian kemahiran bahasa Jepang misalnya, ada ujian N5 untuk level paling dasar, dan N1 untuk level tertinggi. Demikian pula dalam menaati imbauan untuk tetap di rumah aja. Kini, kita memasuki level kedua. This is the next level of #dirumahaja. Kenapa saya bilang begitu? Gini, level pertama adalah ketika awal Covid-19 terdeteksi di Indonesia. Dua minggu setelahnya pemerintah mengimbau masyarakat untuk di rumah saja dan meminimalisasi kegiatan di luar apalagi berkumpul-kumpul. Kantor-kantor diliburkan, sebagian diberlakukan Bekerja dari Rumah (BDR) atau yang jamak disebut work from home (WFH). Kegiatan ibadah juga sebisa mungkin dilakukan di rumah. Tak hanya itu, pasar ditutup, mall ditutup. Orang-orang pun di rumah aja. Ini adalah level pertama. Kurang lebih dua bulan setelahnya, jumlah kasus positif Covid-19 belum menunjukkan tanda penurunan. Grafik masih belum stabil. Artinya, kita belum melewati puncak pan

Bijak Menghadapi ‘Kebaperan’, Resensi Buku Baper Gak Pakai Lama

Image
Judul: Baper Gak Pakai Lama Penulis: Ernawati Nandhifa, dkk Penerbit: LovRinz Tahun Terbit: 2020 Jangan baper! Seringkah Anda mendengar nasihat itu? Jangan baper atau tidak boleh baper, biasanya ungkapan ini ditujukan pada kaum hawa dalam menyikapi berbagai hal. Saya pun ketika mendengar nasihat ini awalnya merasa, “Ya, benar, jangan baper”. Tapi, apakah mungkin? Baper adalah sebuah perasaan yang wajar dan harus diterima, bukan dielakkan. Demikian kata-kata seorang kawan yang merupakan lulusan S2 Psikologi Klinis, Universitas Indonesia. Setelah mendengar itu, saya mengiyakan. Sebagai seorang wanita yang tercipta dengan dominasi perasaan, tentu tidak baper adalah hal berat. Sebagaimana perasaan adalah salah satu modal penting dalam mendidik anak, baper juga tak bisa dielakkan. Tapi baper itu bisa diatasi. Itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan dalam buku antologi berjudul Baper Gak Pakai Lama , karya teman-teman di Club Menulis Komunitas Ibu Profesional K

Ini Empat Tipe Kelas Daring, Mana Favoritmu?

Sejak Covid-19 mewabah, dan masyarakat diminta #dirumahaja, kelas-kelas daring mulai menjamur. Nah, dari pengamatan saya, kelas daring ini juga bermacam-macam. Jika dilihat dari durasi kelas, maka kelas daring bisa dikelompokkan menjadi setidaknya empat macam: jangka panjang, jangka pendek, one time event , dan #terserah. Wkwk. (Catatan: tagar ini tak bermaksud menunggang gelombang 'riding the wave', hanya kebetulan saja. Haha.) Kelas jangka panjang: kelas ini berkelanjutan, bisa sampai bertahun-tahun, dan beberapa ada tingkatannya. Contoh kelas daring jangka panjang yang saya ikuti di antaranya Institut Ibu Profesional, kelas bahasa Arab di BISA, dan Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP). Karena jangka waktu panjang, kelas-kelas ini tentu secara rutin memberikan tugas kepada peserta yang harus diselesaikan. Dalam kelas KLIP, peserta dituntut menyetor tulisan minimal sepuluh setiap bulannya untuk bisa bergabung di grup WA. Jangka pendek: kelas jenis ini hanya berl

Rebahan Itu Melelahkan, Kawan!

Rebahan itu melelahkan. Tak seperti kedengarannya, tak sederhana apa yang dibayangkan. Rebahan dalam waktu panjang bukan hal yang mudah ternyata. Karena itu setelah dua bulan mematuhi imbauan untuk di rumah aja, saya mulai gatel untuk melakukan kegiatan sambal tetap di rumah aja. Salah satu yang saya ikuti adalah kelas daring. Di masa pandemi seperti ini banyak sekali kelas-kelas daring yang terbuka untuk umum. Mulai dari kelas Zoom, Telegram, WhatsApp, atau sekadar mengikuti pelajaran via Youtube channel. Sejauh ini saya telah mengikuti tiga kelas daring via Zoom: creative writing bersama Mba Rijo Tobing, menulis takarir oleh Ivan Lanin, kemudian kelas penyuntingan dasar oleh Ivan Lanin dan Mba Windy. Mengikuti kelas daring semacam ini sangat bermanfaat menurut saya. Terlepas dari kapan kita akan mengamalkan ilmu yang didapat (hahaha), paling tidak menambah pengalaman dan memunculkan kesan serta kebahagiaan tersendiri. Info seputar kelas daring ini bertebaran di Instagram. T

Mencari Kedamaian dalam Kedaruratan

Saya akan terang-terangan. Berbeda dengan beberapa tulisan sebelumnya yang saya tulis dengan menggebu-gebu, topik seputar buku dan kepenulisan, kali ini saya akan menuliskan dengan lebih tenang. Karena, seperti tertulis di judul, kita akan mencari kedamaian di tengah kondisi darurat saat ini. Ya, saya juga akan menyinggung sedikit tentang Covid-19. Tarik napas dalam, keluarkan perlahan. Saat ini dunia sedang dilanda wabah Covid-19 yang belum ada obat dan vaksinnya. Sementara itu penularan penyakit ini sangat cepat layaknya flu biasa, padahal ini sama sekali bukan flu biasa. Dengan kondisi ini, WHO menyatakan status pandemi, dan negara ini dalam darurat kesehatan. Siapa yang tak takut mendengar hal demikian? Saya takut, waswas, dan memilih di rumah saja sesuai arahan pemerintah demi mengurangi risiko terpapar virus. Namun, di rumah saja setiap hari bukanlah tanpa dampak. Salah satu dampaknya adalah pada psikologis yang mungkin jadi agak suntuk. Kurang happy . Rindu ja

Akhirnya Kegalauan Saya Dijawab oleh Ivan Lanin dan Windy Ariestanty

Image
Kelas Daring Narabahasa Maafkan judul yang agak kepanjangan ini. Tapi, demikianlah yang saya rasakan sekarang. Rasa plong, lega, puas, dan senang karena kegalauan saya sudah terjawab. Tentunya bukan kegalauan tentang percintaan, yak, melainkan tentang kepenulisan. Hehe. Mungkin Anda juga mengalami kegalauan yang sama? Tak ada salahnya Anda membaca tulisan ini agar kegalauan kita sama-sama terhempaskan. Wkwk. Siang tadi saya mengikuti kelas daring yang diadakan oleh Narabahasa. Kelas dengan tema “Penyuntingan Bahasa Dasar untuk Penulis” itu menghadirkan duet Ivan Lanin dan Windy Ariestanty sebagai pemateri. Anda tentu sudah mengenal keduanya, ‘kan? Belum? Ok, bukan masalah. Saya akan kenalkan sedikit. Ivan Lanin adalah wikipediawan pencinta bahasa Indonesia yang sudah beberapa tahun ini aktif menjawab berbagai pertanyaan seputar bahasa via Twitter. Beliau juga berafiliasi dengan Komisi Istilah Badan Bahasa, dan penulis buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? . Kemudian

Ada Apa dengan Khong Guan?

Image
Gambar: www.khongguan.co.id Apa yang Anda ingat jika mendengar kata Khong Guan? Biskuit? Kerupuk? Wafer? Ya, biasanya itu juga yang terbayang di benak saya ketika mendengar kata Khong Guan. Tapi tidak akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini jika mendengar kata “Khong Guan”, saya akan langsung teringat pada buku terbaru karya Joko Pinurbo yang berjudul Perjamuan Khong Guan . Sudah sejak beberapa waktu lalu saya mendengar tentang buku ini dari media sosial, terutama Instagram. Namun, baru kemarin — atau dua hari lalu — saya mengetahui lebih tentang buku ini. Perjamuan Khong Guan rupanya berisi 81 puisi karangan Joko Pinurbo (Jokpin). Seperti judulnya, syair di dalam buku ini melibatkan biskuit tercinta yaitu Khong Guan. Kenapa Khong Guan? Saya bertanya-tanya. Tapi di saat bersamaan saya menyadari pertanyaan itu semacam tak relevan. Kenapa Khong Guan? Memang kenapa kalau Khong Guan? Toh, itu kan memang biskuit legendaris yang suka tidak suka gambar kalengnya sudah terpatri kuat