21 January 2024

Akhirnya, Aku Beralih ke Rice Cooker Stainless Steel

 


Setelah bergelut dengan kegalauan yang disebabkan harga, kira-kira dua minggu lalu saya akhirnya resmi beralih ke rice cooker berbahan stainless steel (inner pot-nya). Dan saya menyesal, kenapa tidak sejak dulu memilih ini. Hiks.

So, bagi teman-teman yang mungkin masih bimbang, saya akan sharing pengalaman menggunakan rice cooker stainless steel ini–walaupun baru sebentar. Wkwk.

Mulai dari kelebihannya. Pertama, bahan stainless ini mudah dibersihkan. Kalau rice cooker biasa kan waswas ya, ga bisa pakai spons yang agak kasar itu. Nah, stainless ini kita santai karena bisa pakai macam-macam model spons, dan mencucinya jadi lebih cepat bersih. Less effort banget, deh!

Kedua, tidak ada lapisan teflon, yang artinya ngga perlu takut ada lapisan yang lepas dan masuk ke makanan, atau lecet karena kena sabut/sendok, dll. Sebelumnya saya memakai rice cooker berbahan teflon (antilengket) dan tetap saja lapisannya terkelupas walaupun sudah diperlakukan dengan lembut.

Bahkan, saya sampai beli inner pot lagi, dan baru beberapa minggu sudah tergores-gores lagi. I’m so done with rice cooker antilengket.

Ketiga, ternyata bahan stainless untuk inner pot rice cooker itu ngga lengket-lengket amat. Tanpa lapisan antilengket, ternyata nasinya tetap ngga yang nempel banyak gitu, kok. Kebalikan dari "si paling antilengket" yang ternyata bisa lengket juga, susah bersihinnya pula. Kalau stainless, walaupun ada yang lengket tapi nyucinya pun mudah.

Keempat, bahan stainless ini diklaim lebih sehat karena tidak ada lapisan yang berisiko terlepas dan bercampur dengan makanan. Akan tetapi, menurut yang saya baca, kalau digunakan untuk masak yang asam-asam bisa ada risiko logam berat yang larut. Nah, kalau rice cooker saya hanya pakai untuk masak nasi, jadi it’s fine, i guess.

Sekarang kekurangan dari rice cooker stainless steel. 

Lebih mahal. Dari sisi harga, model ini lebih mahal beberapa ratus ribu. Yaa sesuai dengan kelebihannya siy menurut saya.

Tidak banyak pilihan ukuran. Rice cooker teflon punya berbagai pilihan ukuran, mulai dari yang satu liter (atau kurang), sampai yang jumbo. Sedangkan si model stainless ini yang ukuran satu liter tidak banyak. Saya sendiri memakai merk Sanken ukuran 1,2 liter. Kebanyakan model ini berukuran dua liter. Jadi, kalau Anda mencari ukuran 2 liter sih lumayan banyak pilihan merk.

Pancinya agak lebih berat. Bahan stainless steel ini memang lebih berat, tapi ini tidak terlalu berpengaruh dalam penggunaan sehari-hari menurut saya. Soal durasi masak, agaknya stainless ini perlu waktu lebih lama. Atau hanya perasaan saya saja, ya?

Terlepas dari semua plus minus, saya lebih suka rice cooker stainless ini. Bagaimana dengan Anda?


Share:

05 January 2024

Resensi Novel Still Alice


Still Alice


Judul: Still Alice

Penulis: Lisa Genova

Penerbit: Erlangga

Tebal: 322 halaman

Let's get to the point. Novel ini bercerita tentang Alice Howland, seorang doktor dan dosen di Jurusan Psikologi Universitas Harvard, yang divonis Alzheimer (Early Onset Alzheimer). Padahal usianya masih tergolong muda, sekitar 50 tahunan. Umumnya yang mendapat diagnosis Alzheimer itu usia 65 ke atas.

Sedikit informasi, Alzheimer adalah penyakit yang menyerang otak. Sebabnya adalah penumpukan protein (amyloid) pada bagian-bagian otak. Semakin lama amyloid semakin banyak dan merusak fungsi otak. Biasanya gejala diawali dengan pikun/lupa, disorientasi, dll. 

Back to Still Alice. Sesuai diagnosis dokter spesialis saraf, kemampuan Alice dalam berbagai hal pun menurun perlahan. Ia yang semula sangat pintar, menjadi pelupa. Perlahan ia kehilangan kehidupan normalnya. Ia tak lagi bisa mengajar, tak lagi menulis buku. Bahkan untuk membaca pun ia kesulitan. Ia lupa rute jalan yang sering dilaluinya, lupa posisi ruangan di rumahnya, bahkan lupa fungsi benda dan cara menggunakannya.

Untungnya, Alice memiliki seorang suami–yang juga doktor dan dosen di Harvard–dan tiga orang anak yang sangat menyayanginya. Keluarganya memberi perhatian, waktu, dan tenaga ekstra, demi Alice bisa merasa lebih baik. Walaupun lama kelamaan Alice bahkan melupakan mereka.

Alzheimer yang diderita Alice adalah jenis yang keturunan/familial/genetik. Dan setelah dilakukan tes, ternyata salah satu anaknya mewarisi gen tersebut. Namun begitu, sang anak tetap menyayangi Alice. Deteksi dini ini membantu si anak ketika sedang menjalani program hamil dengan bayi tabung. Sejumlah cara ditempuh sehingga janin yang dikandungnya tidak mewarisi gen Alzheimer.

Lisa Genova menyajikan novel ini dengan bahasa yang simpel, mudah dipahami, tidak bertele-tele. Baik versi Inggris maupun terjemahannya. Penulis memberikan sudut pandang menarik dari seorang penderita Alzheimer, bukan dari sisi perawat atau keluarganya. Betapa hancurnya Alice ketika mendapat diagnosis tersebut, dan menjalani hari-harinya menjadi sangat sulit, sangat menantang.

Ada salah satu kutipan dari Alice yang sangat mengena, yaitu ketika Alice bilang bahwa ia rela menukar penyakit ini dengan kanker. Well, that’s bold. Kita menganggap penyakit paling berbahaya dan ditakuti adalah kanker, tetapi–paling tidak menurut Alice–kanker tidak membuat penderitanya lupa pada keluarga, dan kini banyak gerakan yang mendukung pasien kanker.

Berbeda dengan Alzheimer yang mungkin belum banyak diketahui orang. Orang yang tidak paham akan memberi label “gila”. Di sisi lain, penyakit ini juga belum ditemukan obatnya, dan bahkan progresnya tidak bisa direm. Beberapa obat sedang dikembangkan dan diuji coba tetapi belum ada yang berhasil.

Tidak hanya bagi penderita, bagi keluarga dan yang merawat pasien Alzheimer pun ini merupakan ujian berat. Karena itu muncul gerakan dukungan bagi para perawat dan keluarga pasien Alzheimer.

Novel ini pertama kali terbit tahun 2007, dan diadaptasi menjadi film berjudul sama sekitar tahun 2014. Film tersebut juga memenangkan beberapa penghargaan. Jika Anda tertarik dengan kisah Alice, saya sarankan membaca novelnya lebih dulu baru menonton filmnya. Karena banyak poin-poin dari novel yang tidak diceritakan di film, sehingga bisa jadi penonton bingung. Narasi atau ucapan Alice dalam hatinya pun tidak tergambar di film. 

Still Alice versi bahasa Indonesia bisa dibaca di Gramedia Digital. Kalau versi bahasa Inggris ada di Play Books, tapi lumayan mahal. Wkwk.

Novel ini menambah wawasan kita tentang penyakit Alzheimer, sekaligus agar kita bisa waspada. Karena buku ini juga saya jadi membuka web Alzheimer Indonesia, dan menemukan tagline menarik: jangan maklum dengan pikun.

Masyarakat kita meyakini bahwa usia tua berarti akan sering pikun. Padahal sebenarnya tidak demikian. Pikun bukanlah proses normal dari penuaan. Apalagi yang terjadi berulang kali dan semakin parah/sering. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter saraf jika keluarga dan saudara yang mengalami kepikunan. Tentunya tidak semua pikun berujung Alzheimer, ya.

Setelah membaca Still Alice, saya jadi semakin penasaran dengan novel/film lain bertema serupa. Any recommendation? 


Share:

01 January 2024

Rencana yang Tertunda

Bismillaah..

Rasanya folder “Tulisan 2023” juga belum banyak isinya, tau-tau sudah ada folder baru “Tulisan 2024”. Rasanya, banyak waktu terbuang untuk hal-hal tak berfaedah. Karena itu, sebaiknya folder baru ini lekas diisi dengan kebaikan. Anyway, bukan berarti merayakan tahun baru, hanya saja lebih mudah menghitung atau menandainya kalau di awal bulan, sekaligus awal tahun.


Hari ini aku sebenarnya berencana ngebolang ke Gramedia Matraman untuk ikut acara talkshow dengan Tere Liye. Iya, Tere Liye. aku bukan fansnya, hanya saja aku suka dengan beberapa novelnya seperti Tentang Kamu, dan Janji. Sesuk kurang sreg. 


Selain itu, aku suka dengan tulisan-tulisannya di media sosial. Walaupun kadang terkesan songong, haha, tapi penulisannya itu mengalir dan enak dibaca. Bahkan tulisan seputar politik pun dibuatnya menarik, terkadang lucu, seringnya miris.


Alasan lain aku ingin datang adalah karena ingin me-recharge motivasi menulis. Bertemu dengan penulis, apalagi sebesar Tere Liye, bisa menjadi booster semangatku. Bisa dibilang, dia juga yang membuatku kembali menulis sepuluh tahun lalu, setelah hiatus selama empat tahun. Saat itu aku sudah mengubur impian menjadi penulis, aku menulis yaa sekadar iseng. Aku tidak lagi menulis cerita fiksi, baik cerpen maupun novel.


Namun, suatu hari ternyata Tere Liye datang ke sekolah tempatku bekerja. Ia memberi semacam workshop menulis untuk para siswa, dan aku sempat ikut menyimak sebentar. Di waktu yang singkat itu, ia bilang, bahwa semua orang bisa menulis. Dan entah kenapa, aku kembali bersemangat. Padahal waktu itu aku bahkan belum pernah membaca karyanya satupun. 


Kemudian aku menulis lagi, dan ikut lomba cerpen. Dan aku menang. Saat itu lomba cerpen pesertanya rasanya tak seramai sekarang. Aku senang. Aku terus menulis. Bahkan sampai selesai dua buah cerita yang bisa disebut novela. Sekitar 70-an halaman.


Semangat menulis itu kembali redup setelah menikah dan pindah ke Batam. Ditambah lagi punya anak. Ah, menulis hanya sesempatnya. Akan tetapi, lagi-lagi, tanpa direncanakan, aku bertemu dengan Tere Liye. Sekitar tahun 2018 di hari minggu, aku seperti biasa ke Gramedia di Mall BCS. Ternyata hari itu ada talkshow dengan Tere Liye. Wow. 


Walaupun masih belum membaca satu pun karyanya, aku ikut menyimak talkshow itu. Pengunjung ramai, tapi tidak terlalu padat untuk sekelas Tere Liye, mungkin karena di Batam. Mendengar Tere Liye bicara, bercerita tentang proses penulisannya, rencana dan impiannya, itu kembali memotivasi jiwa menulisku yang sudah di ujung tanduk. Aku pun kembali menulis.


Hari ini, seharusnya aku datang ke acaranya lagi. Namun, setelah beberapa pertimbangan, aku urung. Aku berharap semoga ada kesempatan lain bisa bertemu lagi. Semoga ketika itu, aku sudah punya sebuah buku solo, dan produktif menulis, bukan lagi dalam rangka mencari motivasi. 


#1Jan2024


Share:

15 August 2023

Resensi Novel Perkumpulan Anak Luar Nikah

Novel perkumpulan anak luar nikah

Bukan, ini bukan novel tentang anak-anak yang lahir dari hasil married by accident. Sama sekali bukan.


Iya, saya awalnya juga berpikir begitu. Hyahaha. Tapi ternyata malah jauh lebih menarik dari istilah itu sendiri. Ok, let's talk about this book.


Martha, seorang ibu rumah tangga keturunan China-Indonesia (Cindo) yang tinggal di Singapura, terancam dipenjara karena memalsukan dokumen. Dokumen itu adalah akta kelahiran, dan dia gunakan untuk mendaftar beasiswa di sebuah kampus ternama di Singapura. 


Namun, pemalsuan itu baru diketahui khalayak ramai setelah bertahun-tahun Martha lulus kuliah. Siapakah gerangan yang membocorkannya? Well, dalam perjalanan novel ini, pertanyaan itu tidak lagi penting. Pertanyaan "why" lah yang menjadi inti cerita novel ini.


Martha melakukan pemalsuan itu karena ia ingin di aktanya tertulis nama mama dan papanya, alih-alih "anak di luar nikah". Kenapa? Karena memang secara de facto ia bukan anak di luar nikah, tapi secara de jure, yes, she is


Perkara birokrasi menjadi momok tersendiri bagi seorang Martha karena ia Cindo, dan bukan orang kaya. Jika sebagai WNI saja kita sering dibuat kesal dengan aturan dan tradisi di birokrasi, maka bagi orang-orang Chindo hal itu berkali lipat lebih menyebalkan. Martha pun mengambil jalan pintas dengan mengubah sendiri akte kelahirannya. Buntutnya, Martha kini harus menghadapi pengadilan di Singapura yang terkenal strict.


Novel ini adalah paket komplit, ada cerita tentang keluarga, ada romance tanpa drama lebay, ada unsur politik, sejarah China di Indonesia, kisah tragedi Mei 98, ada tradisi dan budaya, juga tentang mengejar cita-cita. Selama membaca PALN dari awal sampai akhir, saya terus membatin, "berapa lama riset yang dilakukan penulisnya, ya?". Karena novel ini memang tipe yang perlu riset detil, mengenai kehidupan di Singapura, sistem peradilan di sana, dan kehidupan kampusnya. 


Tidak hanya Singapura, banyak juga latar tempat dan budaya di Indonesia yang membuat novel ini terasa begitu nyata. Karena membahas suku, agama, ras, dan sejarah, tentu tidak bisa asal bicara. Ada mitos-mitos seputar Cindo, ada asumsi-asumsi yang sudah mengakar di masyarakat, terklarifikasi dalam novel ini. 


Setelah membaca PALN saya harus mengingatkan diri saya bahwa ini adalah novel, cerita fiksi, bukan buku sejarah yang seluruhnya fakta. Walaupun tentu saja, ada bagian-bagian yang memang based on true story, alias nyata. Selain itu, dengan cerita dan latar yang kental dengan suku dan ras, tentunya novel ini juga menyinggung tentang nasionalisme. 


Ya, mungkin kita yang bukan Chindo tidak pernah ditanya tentang seberapa besar kecintaan kita terhadap bangsa ini. Seolah dengan lahir dan besar di sini, memiliki ciri fisik yang sama dengan kebanyakan orang, berarti kita cinta negeri ini. Dan sebaliknya. Akan tetapi, apakah benar demikian? Jika posisinya dibalik, akankah kita masih bertahan dengan negara ini? Sebagaimana Martha yang bertahan dengan status WNI bahkan ketika tinggal bertahun-tahun di luar negeri? Ah, cocok sekali dibaca di bulan Agustus, ya, kan?


Posisi Martha sebagai ibu rumah tangga juga menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Ketika banyak novel-novel bercerita tentang wanita muda berkarier di kantor elite, novel ini mengambil posisi ibu rumah tangga. Padahal Martha punya prestasi cemerlang di kampus. Juga pernah bekerja di perusahaan besar. Namun, ia memilih menjadi ibu rumah tangga berdaster yang mengurus anak-anaknya. Kok, saya terharu, ya. :')


Anyway, karya Grace Tioso ini sangat recommended. Membaca novel ini seperti sedang menikmati cemilan kesukaan yang ingin terus kita makan, tapi tidak ingin segera habis. wkwk. Bukan novel ringan, tapi juga tidak berat. Berisi, sarat informasi, bukan sekadar asumsi. Pun demikian, novel ini tetap bisa menghibur. 



Share:

11 August 2023

Resensi Novel Sesuk (Tere Liye)


Another book from Tere Liye. 

Beberapa bulan lalu saya melihat buku ini di Gramedia. Saya iseng mengintip isinya. Cicip beberapa halaman saja, saya pikir. Dan terjadi lagi. Lagi-lagi saya jadi penasaran dengan keseluruhan cerita. Kenapa? Karena adegan pembuka di bab awal yang sangat menarik bagi saya.


Begini kurang lebih:

Sebuah keluarga (ayah, ibu, dan tiga orang anak) memutuskan pindah rumah dari perkotaan ke desa yang jauh. Penyebab pindahan ini adalah si anak bungsu (berusia 2 tahun) yang nyari tewas karena jatuh dari beranda lantai dua. Kok bisa? Bisa, lha, wong ibunya asik main hape, anak yang lagi aktif-aktifnya itu memanjat pagar beranda dan jatuh.


Beruntung si anak tidak tewas, pun tidak terluka apa-apa. Namun, si ibu tetap trauma dengan kejadian itu. Mereka sekeluarga pun pindah rumah, dan juga mengubah gaya hidup mereka cukup drastis. Menjadi sosok keluarga yang hangat, rukun, dengan orang tua yang full attention untuk anak-anak mereka. 


Sayangnya, tak lama mereka pindah, di desa tersebut mulai terjadi hal-hal aneh. Isu-isu berembus. Mulai dari celetukan, menjadi obrolan. Warga pun mulai meyakini bahwa kejadian meresahkan tadi disebabkan kedatangan keluarga itu.


Saya tidak akan menceritakan lebih jauh, bisa spoiler. Hehe.

Dari cover novel ini, kita pasti langsung bisa menilai bahwa ini cerita horor. Hah? Tere Liye bikin cerita horor? Seriusan nih? Dan sebagaimana banyak cerita horor, novel ini pun diawali dengan kisah sebuah keluarga yang pindah ke rumah baru. Seperti cerita film-film horor luar negeri gitu kan. Kenapa, ya? Mungkin karena pindah ke suatu tempat baru yang belum dikenal memang menimbulkan rasa ketakutan tersendiri. 


Membaca adegan pembuka yang cukup mengejutkan, saya pun berharap banyak dari novel ini. Namun, entahlah, saya bosan sekali di beberapa bab setelahnya. Ceritanya sangat slow pace. Bahkan saya hampir menyerah di tengah karena sejumlah adegan yang berulang-ulang. Hanya saja saya masih penasaran, apa yang akan disampaikan Tere Liye lewat buku ini, dan itu pasti disimpan di akhir. Jadi saya lanjut membaca.


Novel diceritakan dari sudut pandang seorang anak perempuan yang duduk di kelas 6 SD, dan dalam format diary. Ini agak membuat saya bertanya-tanya, apakah seorang anak SD dengan background keluarga kaya yang kurang perhatian ortu itu bisa menulis sedetil itu? Berpikir seperti itu? Seberani itu? Entahlah.


Well, ringkas kata, saya kurang terhibur, kurang puas, dengan novel ini. Akan tetapi, memang Tere Liye ini selalu menyisipkan pesan yang dalam. Jadi walaupun penyampaian mungkin kurang smooth, tapi pesannya tetap sampai, dan saya tetap merasa tertampar. Wkwk. 


Informasi buku:

Judul: Sesuk

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Sabakgrip

Tebal: 329 halaman

Tahun Terbit: 2022


Share:

22 July 2023

Review Novel Penaka (Altami N.D.)


Novel drama sehari-hari yang dipadu dengan fantasi.

Di novel ini, kita bisa menjadi apa saja yang tidak kita inginkan. Literally.

Merasa berutang pada diri sendiri karena belum menulis review novel ini. Padahal udah baca sejak beberapa bulan lalu. Jadi, Penaka ini tentang apa? Singkatnya, Penaka adalah novel tentang rumah tangga muda (Sofia dan Laksana) dan seorang anak perempuan berusia satu tahun. 


Konflik bermula ketika Laksana kebanyakan maen HP. Pulang kerja HP-an, mau tidur HP-an, mandi pun HP-an. Kalau bisa mungkin tuh HP udah ditempelin ke mukanya sekalian. Eh, kok jadi esmosi gini saya nulisnya. Wkwk.


Anyway, Sofia kesal, dan kekesalan itu merembet ke mana-mana. Muncul perasaan rendah diri karena “cuma” ibu rumah tangga, lelah mengurus anak yang lagi aktif-aktifnya, dst, dsb. Lalu, Sofia minta cerai, dan berniat untuk melanjutkan sekolah (dan bekerja). 


Akan tetapi, tepat setelah minta cerai, terjadilah sesuatu yang luar biasa: Sofia berubah menjadi botol minum! Tepatnya botol minum yang bisa melihat dan memiliki perasaan. Eh? Kok bisa? Apakah ini kutukan? Atau azab istri durhaka? Wkwk. Setelah menjadi botol minum, Sofia juga berubah menjadi bentuk lain yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Lalu, bagaimana cara dia kembali normal sebagai Sofia? Silakan baca sendiri yak!


Penaka ini unik, mulai dari judulnya, covernya (iya, saya suka covernya), dan ceritanya. Konfliknya sangat realistis dan dekat dengan kehidupan rumah tangga sekarang ini. Hanya saja saya pribadi kurang sreg dengan cara tokoh-tokohnya dalam menemukan solusi karena ada unsur fantasinya. Sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pembaca. Bukan berarti saya ingin mengalaminya juga siy. Hahahaha.


Nah, lewat sisi fantasi itulah banyak pesan-pesan baik yang disampaikan oleh penulis. Sehingga pembaca yang relate (dan saya yakin banyak yang relate), bisa mengambil pesan bahkan mungkin solusi tanpa harus menjalani serangkaian kejutan yang dialami Sofia.


Overall saya menikmati membaca Penaka. Alurnya tidak bertele-tele, tapi tetap bisa memainkan emosi pembaca. Ada senang, sedih, deg-degan, dan haru. Jumlah halamannya pun tidak tebal, bisa dibaca sambil santai atau jadi teman di perjalanan.


Btw, novel ini mengingatkan saya dengan film Jumanji. :)

Share:

16 June 2023

Cara Mudah Mengajari Anak Minum Pakai Sedotan


Setelah drama sembelit yang on off terus selama berbulan-bulan, saya memutuskan kalau bayi ini harus diajari minum dengan sedotan. Kenapa? Karena kalau sudah bisa minum dengan sedotan, harapannya akan lebih mudah dan banyak minum air putihnya. Efeknya, BAB bisa lebih lunak dan lancar.


Sebagaimana emak-emak milenial pada umumnya, saya pun mencari di dunia maya cara mengajarkan anak minum pakai sedotan. Saya menemukan rekomendasi video di YouTube, mengajari minum dengan sedotan. Caranya, pertama suapi dulu anak minum menggunakan sedotan. Tahan air di dalam sedotan, lalu sodorkan ke mulut anak. Ketika anak tahu bahwa di sedotan itu ada airnya, dia akan coba menyedot. Ini yang dicontohkan di video YouTube tersebut.


Saya coba pada anak saya menggunakan beberapa jenis sedotan. Sedotan plastik biasa, sedotan aqua gelas, sedotan botol minum bayi. Hasilnya, setelah beberapa kali, masih tidak berhasil. Hahaha. Maka saya coba berkreasi. Caranya menggunakan aqua gelas yang masih utuh, dan sedotannya. Pertama, tusukkan sedotan ke aqua gelas, seperti biasa, lalu sodorkan sedotannya pada anak. Kemudian, pelan-pelan saya tekan itu gelas aqua, air pun mengalir ke mulut si anak kan? Dia agak kaget gitu awalnya. Keselek sedikit. Lalu coba lagi, dan hanya sebentar saja langsung berhasil pemirsa! Dia akhirnya mau nyedot itu sedotan. Muahahaha.. Alhamdulillah.


Menurut saya cara ini sangat mudah dan tingkat keberhasilan tinggi. Karena sedotan aqua itu kan kecil ya, jadi airnya lebih mudah untuk naik. Apalagi kalau gelasnya masih penuh. Namun, tetap hati-hati, ya, karena sedotannya berbahan plastik yang agak keras, jangan sampai masuk terlalu dalam, khawatir melukai gusi atau langit-langit mulut anak.


Setelah lancar minum dengan sedotan aqua, tak lantas anak saya lancar minum dengan model sedotan lain. Ketika sedotannya diganti, awalnya tidak mau, tapi lama-lama dia mau dan bisa juga. Alhamdulillah. Dan benar saja, ketika dia senang minum dengan sedotan, minum air putihnya jadi lebih banyak. BAB pun relatif lebih lancar, walaupun tidak melulu. Masih ada drama per-BAB-an kadang-kadang. 


Semoga sharing ini bermanfaat bagi yang sedang mengalami hal serupa ya. Terima kasih sudah membaca. :)


Share: