29 June 2024

Menemukan Dua Hal yang Penting


Dalam perjalanan mengembangkan diri, saya menyadari ada dua hal yang penting sekali untuk diatasi. Sebelum dua hal ini ditemukan, disadari, saya rasa akan sulit perjalanan ini untuk menemukan ujungnya.

Pertama, adalah mengetahui apa kelemahan terbesar kita. Kelemahan itu bisa sesuatu yang memang tidak kita sukai, atau bahkan sesuatu yang kita benci, atau sesuatu yang kita takuti dan sangat hindari. Bisa juga sesuatu yang sangat sulit untuk kita lakukan.

Kelemahan ini sebaiknya kita sadari segera agar bisa dicari solusinya, dan supaya usaha kita ke depannya tidak mandeg. Well, saya pribadi menyadari bahwa kelemahan terbesar saya adalah sulit bagi saya untuk bisa konsisten. Istikamah. Dan saya menyadari bahwa ini fatal sekali. 

Pasalnya, dari banyak sumber, ustadz, guru, narasumber, buku-buku, seringkali saya menemukan pernyataan bahwa konsistensi adalah kunci. Jelas, dalam beribadah pun konsisten itu sangat penting. Bahkan dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Aisyah ra., Rasulullah SAW mengatakan bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang konsisten walaupun sedikit. 

Namun, saya bersyukur karena telah menyadari hal ini, dan insyaallah hal ini bisa diatasi. Bukan sesuatu yang mutlak dan tidak akan berubah. Inilah pentingnya kita menyadari kekurangan, supaya kita bisa mengatasinya. Kalaupun gagal, paling tidak kita bisa memperbaiki sedikit demi sedikit.

Salah satu cara mengatasinya, menurut saya, adalah dengan mengikuti kelas atau kegiatan seperti 30 DWC ini. Dengan begitu, ada tuntutan, ada dukungan dari luar agar saya bisa konsisten menulis. Karena itu juga, tujuan utama saya dalam program ini adalah konsistensi, sedangkan kualitas memang tidak terlalu diprioritaskan.

Bagaimana denganmu? Apakah sudah menemukan kelemahan diri sendiri? Tidak apa, pelan-pelan saja. Sambil menjalani, mungkin akan ditemukan dan disadari. 

Lagipula, ada hal lain yang mungkin ini lebih menyenangkan untuk kita temukan, dan memang perlu ditemukan juga, yaitu kelebihan. Kebalikan dari poin pertama, di poin kedua ini kita sebaiknya bisa menemukan apa kelebihan diri.

Kelebihan ini bisa berupa sesuatu yang kita senangi, sesuatu yang kita rasa mudah melakukannya, sesuatu yang kita senang melakukannya walaupun banyak tantangan. Tentunya sesuatu ini yang positif untuk dilakukan, ya, bukan hal negatif.

Bagi saya, kelebihan ini adalah menulis, dan membaca. Saya senang menulis, saya rela begadang demi bisa menulis dengan tenang, saya lebih suka menulis daripada menjahit (misalnya) atau melakukan kerajinan tangan lain.

Demikian juga membaca, jika sudah bertemu buku-buku yang tepat, maka tebal pun tetap bisa dilahap. Saya pribadi lebih banyak membaca novel, novel dalam negeri, dan beberapa novel terjemahan. Beberapa buku self improvement, dan buku motivasi. 

Tadinya saya pikir ini sebuah kebiasaan yang biasa saja, ternyata tidak. Di era serbacepat, serbadigital, tidak semua orang suka dan bisa membaca buku. Jadi, saya rasa senang membaca masih menjadi sebuah kelebihan.

Karena sudah menyadari kelebihan ini, saya fokus pada hal ini. Mengasah kemampuan menulis dan skill lain yang terkait. Sambil tetap mengatasi moody yang membuat inkonsisten.

Menemukan dua hal ini tidak mudah karena bisa jadi kita justru denial. Namun, saya rasa dua aspek ini adalah hal yang penting dalam berbagai hal. Bukankah dalam hidup ini kita ingin lebih efektif dan efisien? Dengan menyadari kelebihan dan kekurangan, saya rasa bisa sangat membantu. 

Semoga kita bisa menemukan dua hal penting ini dan mengolahnya sehingga perjalanan hidup yang sebentar ini bisa lebih bermakna. 

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day29
Share:

Mencari Ketenangan, Melupakan Sumbernya

 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28)


Dalam perjalanan pencarian rumah, berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain, saya dan suami mengobrol dan merenungkan, sebenarnya untuk apa kita berpindah-pindah? Untuk apa membeli rumah? Toh, tidak ada salahnya mengontrak.

Ya, sebenarnya doktrin bahwa membeli rumah adalah sebuah kewajiban itu memang diturunkan dari orang tua saya. Bukan hal yang aneh, ketika orang tua berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Dan bagi ibu saya, kehidupan lebih baik itu salah satunya adalah dengan memiliki rumah sendiri.

Pasalnya, ibu saya sejak dulu hidup di rumah kontrakan. Saya masih ingat, sekitar 22 tahun lalu, pertama kalinya pindah dari rumah yang saya tempati sejak lahir. Kala itu kami pindah karena si pemilik kontrakan ingin membangun ulang area itu, sehingga kami, dan beberapa tetangga, terpaksa pindah. 

Alhamdulillah, kami menemukan kontrakan yang tidak jauh begitu jauh. Walaupun dengan ukuran yang lebih kecil, dan harga sewa lebih mahal, tapi secara kualitas bangunan lebih baik dibanding yang lama. Itu bukan terakhir kalinya, beberapa tahun kemudian, kami pindah lagi, dan beberapa tahun setelahnya lagi. 

Padahal pindahan rumah bukan hal sederhana, sangat repot malah. Namun, mau bagaimana lagi, ketika kondisi memaksa. Mungkin kerepotan itu jugalah yang orang tua saya tidak ingin saya mengalaminya juga. Maka, di mata orang tua, membeli rumah sendiri adalah pilihan terbaik. Titik.

Saya bisa menerima jika orang tua memiliki pandangan seperti itu. Walaupun, seiring berjalannya waktu, hal itu tidak selalu tepat. Kemudian, di sinilah aku sekarang. Kembali merenungi, sebenarnya, kenapa orang tua ingin sekali kami punya rumah sendiri? Well, menurutku, jawabannya adalah karena ingin kami mendapatkan kehidupan yang tenang.

Ketenangan, itulah yang dicari. Tenang karena sudah ada tempat tinggal milik sendiri, tenang karena tidak khawatir akan diusir atau disuruh pindah oleh pemilik kontrakan. Tenang karena rumah nantinya juga bisa diwariskan.

Ya, kami, kita, mencari ketenangan. Hidup yang tentram damai, paling tidak dari sisi kebutuhan primer berupa papan. Sayangnya, dalam pencarian ketenangan ini, seringkali kami, kita, melupakan sumber ketenangan itu sendiri. Sebagaimana saya kutip di awal tulisan, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. 

Allah-lah sumber ketenangan. Dengan mengenal-Nya, mempelajari nama-nama dan sifat-sifatnya, mentadabburi tanda-tanda kebesaran-Nya, membuat kita menjadi tenang. Kita tenang karena tahu dan yakin bahwa nasib, takdir kehidupan kita, termasuk rezeki dan ajal kita, telah ditulis dalam Lauh Mahfuz.

Bukan sembarang, yang menuliskan takdir itu adalah Allah yang Maha Mengatur, Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Allah mengetahui doa-doa kita. Allah juga yang Maha Bijaksana, Allah telah menakar rezeki dan musibah bagi setiap orang. Dan bagaimana pun yang telah Allah tentukan bagi kita, kita tetap bisa tenang, tinggal menjalaninya saja dengan penuh tawakal.

Lalu, hubungannya dengan mengontrak rumah? 

Mengontrak atau membeli rumah, keduanya sama-sama baik asalkan dilakukan dengan cara baik-baik. Di satu sisi, membeli rumah terasa lebih menenangkan, di sisi lain, tidak juga. Rumah juga perlu perawatan, biaya rutin, belum lagi jika ada yang rusak. Belum juga mempertimbangkan jarak rumah-kantor.

Kalau sudah begitu, ternyata membeli rumah pun tidak lantas nyaman. Selama kita hanya fokus pada bungkus dan melupakan isi, maka akan sulit menemukan ketenangan. Kita terlalu mengandalkan diri sendiri dan lupa dengan Sang Pencipta. Maka, alih-alih ketenangan yang datang, kita justru semakin haus akan validasi dari orang sekitar.

Karena itu, ketika melakukan pencarian, maka fokuslah. Fokus memperbaiki diri, fokus mengingat Allah, memohon pada Sumber Ketenangan.


#30DWCJilid46
#30DWC
#Day28
Share:

27 June 2024

Hal-Hal yang (Bukan) Rahasia


“Rahasia!” kata seorang perempuan berusia paruh baya, sambil malu-malu. Ia lebih tampak seperti orang yang ingin membeberkan rahasia, tapi tidak ingin benar-benar kelihatan begitu. Paham, kan, maksudnya?

“Ih, kasih tahu, dong. Ke mana, sih, orang itu? Kok, katanya ngga pulang ke rumahnya, ya?” sahut seorang perempuan lawan bicaranya yang jelas terpancing umpan “rahasia” tadi.

“Ibunya aja nggak tahu, lho, dia ke mana.”

“Ke mana, sih, emangnya?”

Pergunjingan dua ibu-ibu itu pun berlanjut, makin seru. Keduanya tampak begitu antusias. Yang satu semangat membocorkan rahasia berupa aib orang, yang satu tak kalah gigih mengulik aib orang.

Sialnya, saya justru merasa risih sekali karena tidak sengaja mendengar obrolan tadi di warung saat sedang belanja. 

Entah mengapa, rasanya obrolan langsung mendadak seru kalau sudah ada kalimat seperti itu. Ketika dibilang rahasia, semua justru ingin mendengarnya. Sama seperti kalau dibilang “jangan”, malah tergoda untuk melakukannya. 

Padahal, kalau sudah dibilang rahasia, apalagi tidak ada hubungannya dengan kita, ya sudahlah, biarkan saja. Tidak perlu diulik-ulik. Apalagi hal seperti ini masuk dalam kategori yang memang seharusnya dirahasiakan.

Apa saja yang seharusnya dirahasiakan?

Pertama, rahasia yang masuk dalam kategori rahasia sesungguhnya, dan memang sebaiknya dirahasiakan. Rahasia orang, aib diri dan orang lain, dan kebaikan diri. Menurutku tiga hal ini memang sebaiknya tetap menjadi rahasia.

Jika ada rahasia orang lain, yang kita tidak tahu, maka sudahlah, tidak perlu dicari tahu. Toh, kita tidak tahu pun tidak masalah. Justru kalau kita tahu malah bisa jadi masalah. Misal, aib orang lain, jika kita tahu, bisa jadi kita akan gatel sekali ingin menyebarkannya–seperti kasus ibu-ibu di atas tadi. Daripada harus menahan diri menjaga rahasia, lebih baik tidak tahu sama sekali, bukan?

Begitu juga aib diri sendiri, sebaiknya tetap menjadi rahasia, jangan malah diumbar, dijadikan konten. Yaa kalau ada manfaat, atau hikmah, pelajaran yang bisa diambil, dan memang lebih besar manfaat dibanding mudarat, mungkin masih ok. Akan tetapi, jika tidak? Hanya rugi saja yang kita dapat.

Ketentuan yang sama berlaku untuk kebaikan yang kita lakukan. Kalau dibeberkan malah akan menghilangkan pahalanya, menumbuhkan ujub pula. 

Apakah ini rahasia?

Nah, ada hal-hal yang sebenarnya bukan rahasia-rahasia amat, tetapi masih dicari-cari. Yaitu pertanyaan, “kenapa aku diciptakan? Untuk apa aku diciptakan?”

Wajar, kalau bertanya seperti itu. Namun, secara umum, itu pertanyaan yang sangat luar biasa jadul. Karena malaikat pun sudah menanyakan hal yang sama bahkan sebelum manusia pertama diciptakan. Dalam surat Al Baqarah, Allah menceritakan bahwa malaikat mempertanyakan, kenapa Allah menciptakan manusia? Padahal manusia itu akan berbuat kerusakan di bumi? Sedangkan sudah ada malaikat yang selalu tunduk patuh.

Allah sudah menjawab di ayat yang sama bahwasannya Allah mengetahui apa yang tidak diketahui malaikat. Malaikat pun mengiyakan hal itu. Kemudian di ayat lain, Allah juga memberi tahu tujuan penciptaan manusia, tidak lain adalah untuk menyembah Allah. 

Hal ini sudah bukan rahasia lagi, iya kan? Cukup dengan mencari ilmu, mengamalkannya sebaik mungkin, maka apa-apa yang kita pikir rahasia itu akan terungkap juga. Toh, tidak semua harus diketahui saat ini juga. Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi setiap hamba-Nya. Kita sebagai hamba lah yang sering tidak memahaminya.

Yaa dalam perjalanannya, kita memang akan tetap mempertanyakan banyak hal. Tentu saja. Sebagai manusia yang diberikan karunia untuk bisa berpikir, kita pasti penasaran dengan banyak hal. Ingin mencari tahu ini dan itu. Bukan sesuatu yang buruk selama masih dalam jalur yang benar.

Kesimpulannya, ada hal yang memang sebaiknya tetap menjadi rahasia, demi kebaikan bersama. Tidak perlu dicari tahu, apalagi kalau tentang aib orang. Ada juga hal yang saat ini mungkin masih menjadi rahasia karena kita belum tahu, dan baru akan terungkap seiring berjalannya waktu. Bersabarlah, berdoalah.

#30DWCJilid46

#30DWC

#Day27


Share:

26 June 2024

Sekolah Mahal atau Sekolah Gratis?


Akhir-akhir ini (katanya) sedang ramai dibahas tentang biaya SDIT yang mahal. Isu-isu seperti ini memang wajar mencuat di masa akhir/awal tahun ajaran. Banyak orang tua yang berburu sekolah bagi anak-anaknya.

Terlepas dari masih semrawutnya pendidikan di Indonesia, sebenarnya opsi sekolah di kota-kota besar cukup banyak. Mau yang gratis? Ada sekolah negeri. Mau yang berbayar? Banyak sekolah swasta. Masalah kualitas memang tidak bisa disamaratakan. Tinggal dipilah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Tidak ada yang sempurna, tentu saja.

Nah, masalahnya, ketika ingin spek mahal dengan harga murah. Lalu, karena kesal, mulai menyebut kalau ilmu seharusnya tidak mahal, pendidikan bukan bisnis, dst. Di sinilah kita harus melihat dari dua sisi.

Saya teringat dalam novel Janji karya Tere Liye. Di salah satu bagian disebutkan bahwa “ilmu itu gratis”. Sepertinya senada dengan protes sekolah mahal, kan? Sebenarnya tidak demikian.

“Ilmu itu gratis” adalah pemahaman yang bagus jika dipegang oleh orang berilmu, dengan posisi sebagai guru, ulama, pengajar. Akan mulia sekali jika kita berada di posisi orang yang berilmu, lantas berniat berbagi ilmu secara gratis. Itu juga sudut pandang yang dipakai dalam novel Tere Liye tadi.

Namun, jika posisi kita sebagai murid, penuntut ilmu, maka harus dibalik. Ilmu itu bukan barang murah, ilmu adalah barang berharga yang harus diperoleh dengan kerja keras, pengorbanan besar. Sebagaimana para ulama dahulu mencari ilmu, mengorbankan tenaga, waktu, menjual apa saja jika perlu, untuk modal perjalanan menemui guru.

Ilmu itu hal yang mulia. Jika untuk makanan atau perhiasan saja kita mau merogoh kocek dalam, kenapa tidak untuk ilmu?

Banyaknya guru, ustaz, yang berbagi ilmu secara gratis di media sosial hendaknya tidak membuat kita meremehkan ilmu itu. Jika ada yang mematok harga demi sebuah pendidikan, apalagi pendidikan agama, dan kita tidak mampu, artinya kita bukan target atau sasarannya. Bukan artinya kita tidak bisa mencari ilmu sama sekali. 

Masih ada jalan lain untuk mencari ilmu. ada sekolah lain, kelas-kelas lain yang lebih pas. Atau, jika kita kekeh, maka kita harus berkorban lebih agar bisa membayar biayanya. 

Kesimpulannya, alih-alih menghujat sekolah karena mematok biaya mahal, lebih mudah dan solutif jika kita yang menyesuaikan pilihan sekolah dengan kemampuan.

#30DWCJilid46
#30DWC
#DAY26
Share:

Why Do You Make Me Do This?


Why do you make me do this?

Itulah pertanyaan si sulung ketika bius sunatnya habis. Sambil teriak kesakitan, dia mengatakan itu. 

Aku jawab karena dokter yang menyarankan, tapi dia tidak terima jawaban itu. Tentu saja. Aku tahu anak ini perlu jawaban yang bisa dia terima untuk rasa sakit yang sebesar itu.

Namun, menjelaskan bahwa khitan adalah kewajiban agama di tengah kondisi yang tidak tenang seperti itu rasanya tidak bagus. Aku ingin dia bisa menerima dengan baik, bukan ketika marah-marah dan menyimpulkan kalau kewajiban satu ini menyakitkan.

Di situ aku kembali terpikirkan, bahwa semua ada saatnya. Tidak harus semuanya diketahui sekarang. Salah satu contohnya, tentang pernikahan dan kehidupan setelah akad nikah. 

Adikku pernah bertanya, ”kenapa kita ga dikasih tahu ini semua dulu sebelum menikah? Sejak dulu?” 

Itu pertanyaan yang muncul setelah dia membaca-baca di Twitter, entah dari mana, membahas masalah-masalah pernikahan. 

Well, aku hanya menjawab bahwa memang tidak semua harus diketahui sekarang. Ada hal-hal yang sebaiknya diketahui nanti saja. Coba bayangkan jika kita diberitahu segala macam hal tentang kehidupan rumah tangga ketika usia 17 tahun, atau 20 tahun? Pikiran kita akan dipenuhi hal yang belum saatnya. Belum tahu kapan terjadi. Lantas kita malah jadi tidak fokus memikirkan yang lebih penting, tentang pendidikan atau pekerjaan misalnya. Atau menuntut ilmu agama.

Saat kubilang seperti itu, dia tidak sepenuhnya menerima. Wajar, mungkin itu memang unpopular opinion di masa sekarang. Namun, beberapa waktu setelahnya, dia akhirnya bisa menerima, bahwa memang lebih baik fokus pada apa yang bisa dilakukan sekarang, alih-alih mengkhawatirkan masa depan.

Belajar tentang pernikahan jelas perlu, hal itu mungkin lalai diajarkan oleh orang tua kita. Akan tetapi, yang juga penting adalah belajar dari sumber yang benar, di waktu yang tepat, dengan dosis yang sesuai. Di luar itu, bertawakal saja pada Allah. Bukankah sederhana? Jangan dibikin ribet sendiri. 

#30DWCJilid46

#30DWC

#Day25

Share:

25 June 2024

Yang Baru Kutahu tentang Khitan


Karena tidak punya saudara laki-laki, saya benar-benar buta tentang sunat menyunat alias khitan. Dan ketika anak sulung sunat hari Minggu lalu, barulah saya menyadari beberapa hal tentang khitan ini.

Pertama, selain proses sunat itu sendiri, yang juga butuh kesabaran adalah proses penyembuhannya. Tadinya saya pikir, setelah melewati proses sunat, maka sudah selesai. Yaa tinggal penyembuhan layaknya penyembuhan luka pada umumnya begitu. Seperti habis lahiran normal lah, bahkan setelah selesai dijahit sudah tidak sakit lagi.

Ternyata tidak! Proses penyembuhan khitan ini bahkan mungkin lebih menantang dibanding khitannya yang hanya 20 menit itu. Mungkin karena ada bagian yang dihilangkan, ya, jadi sakitnya pun luar biasa.

Terutama ketika efek bius habis, aku agak kaget juga karena anaknya teriak-teriak kesakitan. Untunglah keluarga suami sudah tidak heran, dan katanya memang wajar. “Dulu bapaknya juga gitu,” kata mereka. Setelah obat painkiller bekerja, alhamdulillah sakitnya hilang, tidak histeris lagi. Jadi, lesson learned nomor satu adalah, ketika anak selesai sunat, langsung minumkan painkiller. Segera. 

Kedua, penyembuhan ini kalau kuibaratkan seperti metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu. Wkwk. Ok, mungkin ini agak lebay, tapi kurang lebih begitu. Kupikir setelah sunat, bentuk penisnya akan langsung rapi. Rupanya, akan ada proses menunggu lukanya kering, lalu lukanya akan mengeluarkan ekstrudat berwarna kuning (bukan nanah). Kemudian di hari ke sekian perlu rutin berendam, kemudian bekas luka menjadi koreng, lalu lepas dengan sendirinya. Kurang lebih 2-3 minggu, kata dokter. It takes some times. 

Semoga Allah lancarkan proses penyembuhan ini. Aamiin.


#30DWCjilid46
#30DWC
#Day24
Share:

23 June 2024

Untuk Apa?

Day 23 (Eksistensi)

{ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ }

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

[Surah Al-Mulk: 2]

Kadang, atau malah sering, terutama kalau lagi masa-masa sulit, masa-masa sedih, atau lagi lelah, atau pikiran terombang-ambing, kemudian bertanya-tanya, untuk apa siy sebenarnya hidup ini?

Lalu teringat perkataan Allah dalam surat Al Mulk ayat 2. Memanglah dunia ini ya ujian. Sejatinya semuanya ujian. Jadi, jangan heran ketika merasa sedih, lelah, capek, sulit, karena ya, memang sedang diuji. Bahkan harta dan kesenangan juga sebenarnya adalah ujian.

Iya ya…

Kalau sudah begini, hanya bisa berdoa semoga kita lulus ujian. Semoga ujian ini bukanlah penambah dosa, melainkan penambah pahala. Semoga ujian ini mendatangkan sabar dan syukur, bukan marah dan takabur.

Alhamdulill. Kalau begitu, memang semua orang diuji. Bukan saya sendiri. Bukan kita aja. Semua dapat ujian. Hanya bisa berdoa, semoga kita tidak diberi ujian yang lebih berat lagi. Semoga Allah selalu memberi kemudahan dalam tiap ujian yang kita hadapi. 

Walaupun yaa masih banyak ngeluhnya juga. Ah, manusia. Lebih seringnya mengeluh dibanding bersyukur. Padahal sudah jelas, mengeluh malah akan menambah berat ujian yang dirasakan.

Intinya, selama kita hidup, pasti akan merasakan suka duka silih berganti. Karena kesenangan atau kesengsaraan sejati hanya ada di akhirat nanti. 

#30DWCJilid46

#30DWC

#day23

Share:

22 June 2024

Ketika Anak Didiagnosis TB


Menerima sesuatu itu umumnya mudah-mudah saja. Toh, tinggal terima saja, bukan memberi. Ada yang beri makanan, tinggal terima. Ada yang memberi bantuan, bisa ditimbang, lalu terima. Alhamdulillah, tinggal terima saja.

Namun, adakalanya menerima itu sulit sekali, perlu waktu. Di antaranya adalah menerima takdir yang menurut kita buruk. Astaghfirullaah. Padahal sejatinya kita tahu, tidak ada takdir yang buruk. Apalagi bagi seorang muslim, ketika diberi kesenangan dia harusnya bersyukur, dan ketika diberi ujian dia harusnya bersabar. Dan keduanya adalah hal baik yang mendatangkan keridaan Allah.

Itu pemahaman yang sudah sering sekali didengar dari kajian-kajian. Rasanya seperti ringan saja. Lain cerita ketika waktu praktiknya tiba. Seolah semua ilmu itu terlupakan, seolah semua hanya kata-kata hiburan. Karena kita tidak mau berpasrah, menerima keadaan, menerima takdir.

Salah satunya bagi saya adalah ketika menerima kenyataan bahwa anak kedua saya BB-nya sangat susah naik. Dan salah satu kemungkinan terkuat penyebabnya adalah karena infeksi TB. Kok bisa? Karena pembantu di rumah eyangnya positif TB, dan eyangnya sendiri pun menyusul setahun kemudian positif TB. 

Awalnya saya masih denial. Sungguh. Saya masih beralasan, ah, dia aktif kok, BB-nya ini sulit naik ya karena dia makannya memang susah. Dari tujuh hari, dia makan lahap palingan hanya satu dua hari. Sisanya sedikit sekali yang bisa masuk mulut.

Namun, setelah berbulan-bulan BB-nya hanya naik sedikit, akhirnya saya menyerah. Memang harus menerima kenyataan bahwa bisa jadi anak saya ini tertular TB. Saya memutuskan konsultasi dengan dokter Apin. Karena saya mem-follow beliau di IG, membaca buku beliau, saya merasa beliau bisa mendiagnosis dengan adil. Tidak over atau underdiagnose.

Dengan situasi dan kondisi yang saya ceritakan, dokter Apin dengan yakin langsung mengatakan, “Ini mah udah kemungkinan besar TB, Bu”. Bahkan kalaupun hasil mantoux negatif, beliau akan kasih obat pencegahan untuk kasus seperti ini. Baiklah, saya pun tidak kaget. Saya mengikuti saran beliau untuk melakukan rontgen dan tes mantoux. Hasilnya, rontgen kesan pneumonia atau TB, dan mantoux positif. 

Dokter di RSUD langsung meresepkan obat TB anak yang bisa diambil gratis di Puskesmas. Masih sedikit kurang yakin, saya mendatangi satu dokter lagi, dan pendapatnya ternyata sama. Barulah setelah itu saya bisa menerima bahwa anak ini memang TB. Walaupun secara klinis tidak ada gejala berarti (selain BB yang stuck).

Di bulan awal pengobatan masih terasa beraat sekali ketika harus meminumkan obat setiap hari. Namun, hal itu perlahan luntur ketika tak lama kemudian terlihat perbaikan yang nyata pada anak. Dia mendadak jadi lahap makannya! Alhamdulillah! Dia makan lahap sekali setiap kali makan. Dan setelah sebulan pengobatan, BB-nya naik. Bulan kedua juga. Sempat agak stuck lagi di bulan ketiga dan keempat, tapi di bulan kelima naik lagi cukup jauh. Alhamdulillah. 

Total dalam lima bulan sudah naik 1.5 kg. Ini prestasi besar siy menurut saya. Karena sebelumnya angka itu baru tercapai dalam setahun, bahkan lebih. Dengan ini, saya merasa sudah mengambil keputusan yang tepat, walaupun terlambat. Qadarullah. Sekarang sudah memasuki bulan keenam pengobatan. Semoga saja cukup hanya dengan enam bulan. Semoga Allah sembuhkan, lancarkan semuanya. Aamiin. 


#30DWC

#30DWCJilid46

#day22


Share:

Pengalaman ke CS Mandiri yang Ternyata sudah Banyak Berubah


Disclaimer dulu, ya. Ini tidak berlaku di semua Mandiri sepertinya, hanya beberapa saja. 

Jadi, ini masih kelanjutan cerita mengunduh aplikasi penipuan beberapa waktu lalu itu. Nah, waktu itu demi berjaga-jaga kan langsung saya blokir semua mobile banking dan menghapus aplikasinya. Artinya, saya harus ke bank dan aktifkan lagi.

Kemarin saya sempatkan ke bank Mandiri cabang bintaro sektor 1 karena ini salah satu yang terdekat, dan tempatnya cukup luas sehingga nyaman untuk anak-anak. Sebelum ke sana, saya membaca review dulu di Google, dan di luar dugaan, review akhir-akhir ini kebanyakan buruk.

Beberapa bilang pelayanan lama. Ada yang sudah menunggu satu bahkan dua jam, macam-macam lah. Melihat itu saya jadi ragu. Saya akan ke sana membawa dua bocil yang lagi aktif-aktifnya, kalau antrinya lama tentu jadi masalah besar dong. Wkwk. Saya pun mencari-cari kantor cabang lain, tapi pilihan akhir tetap Mandiri bintaro sektor 1 karena dekat supermarket. Hehe.

Nah, ketika saya sampai, langsung dipandu untuk mendaftar dulu. Sekarang daftarnya di tablet, dan harus masukkan beberapa data, tidak cuma ambil nomor antrian seperti dulu. Nasabah bahkan tidak dapat kertas nomor antrian. Hanya disebutkan nomor berapa, dan urutan yang sedang dilayani terpampang di layar TV. saya nomor enam, dan yang dilayani sudah nomor lima. Aman lah.

Ternyata di Mandiri ini sistemnya tidak lagi nasabah mendatangi meja CS ketika gilirannya, tapi CS-nya lah yang menghampiri nasabah yang sedang menunggu sambil duduk cantik di sofa. Saya lihat mba-mba CS menghampiri nasabah lain, dan jujur saja menurut saya ini agak aneh. Karena format kerjanya jadi terlalu luwes, pakaian petugas CS juga tidak formal rapi seperti dulu, sekarang yaa sok nyantai gitu kalau saya boleh bilang. 

Ah, sudahlah, yang penting pelayanannya ok, urusan kelar, ya kan?

Kira-kira sepuluh menit menunggu, seorang CS menghampiri saya. Agak bingung karena tanpa sapaan “selamat pagi” atau apa, tau-tau langsung duduk aja di sebelah saya. Duh, beda banget dengan zaman dulu. Tapi lagi-lagi, baiklah, yang penting kelar urusan. Saya langsung sampaikan keperluan, lalu saya hanya perlu membubuhkan tandatangan.

CS pergi lagi dan saya diminta menunggu sebentar. Kira-kira lima belas menit atau lebih, CS datang membawa kartu ATM baru, memandu saya membuat PIN baru, dan voila! Kelar sudah urusan saya. Alhamdulillah. 

#30DWC
#30DWCJilid46
#Day21
Share:

21 June 2024

Kelas Online dengan Mba Indah

Day 20

Semalam ada kelas via Zoom, bagian dari kelas 30 DWC. Kelas tentang menulis sudah tidak asing bagiku, tapi yang satu ini cukup spesial karena pematerinya.

Narasumber semalam adalah Mba Nurindah atau yang akrab disapa Mba Indah. Mba Indah adalah seorang psikolog, pendiri XBrasi, dan juga penulis buku nonfiksi. Bagiku sendiri, Mba Indah adalah seorang mentor menulis.

Pertama kali dimentori oleh Mba Indah ketika program dari Rumah Belajar Menulis IP Jakarta, namanya Solo-book Bootcamp (RBM SBC) kalau tidak salah. Itu di pertengahan tahun 2021. Aku senang sekali bisa mengikuti program RBM itu. Walaupun lumayan deg-degan pas tahu mentor nonfiksinya adalah Mba Indah. 

Alhamdulillah, Mba Indah lihai sekali dalam memberi kritik dan saran yang konstruktif. Tidak membuat kita down, apalagi aku yang masih newbie dalam menulis buku solo. Kebetulan juga tema tulisanku bersinggungan dengan psikologi lah gitu, jadi makin yakin kalau dimentori sama Mba Indah yang seorang psikolog.

Dua tahun berselang setelah program RBM SBC selesai, naskah yang kutulis itu kuedit sesuai saran mentor, lalu kudaftarkan ke Editor’s Clinic GPU, dan ternyata lolos! Baru beberapa hari yang lalu aku mengirimkan naskah lengkapnya ke editor. Semoga ada kabar baik. Aamiin.

Jadi, ketika semalam ada kelas Zoom, aku berusaha ikut karena ingin mendengar materi dari Mba Indah, dan memang materinya sangat menampar diri ini. Jadi begini, dari kelas bertajuk “Mengubah Kontemplasi Menjadi Tulisan Berisi” itu aku seakan ditegur bahwa sebuah tulisan itu hendaknya melalui proses berpikir, dianalisis, sehingga menghasilkan pesan yang berfaidah, bermakna. Jangan hanya sekadar curhat tanpa ada pemikiran atau perenungan apa-apa. 

Ini kalau ingin menaikkan nilai atau kualitas tulisan. Kalaupun menulis hanya untuk curhat yaa tidak masalah juga, hanya saja rasanya jadi pembaca kurang mendapat pesan dari sana. Kecuali kalau pembaca mau berkontemplasi sendiri. Hehe.


#30DWCJilid46

#30DWC

#Day20

Share:

20 June 2024

Pindah-Pindah Lagi


Pindah rumah bagiku adalah sebuah momen besar, momen spesial, sebuah keputusan yang serius. Semenjak menikah, aku dan suami telah beberapa kali pindah rumah. Ketika baru menikah dan langsung ikut ke Batam, aku sempat tinggal di kosan suami selama dua hari. Kemudian kami pindah ke rusun.

Rusun ini seperti kosan yang lebih luas, kamar mandi dalam, ada meja kompor, tapi tidak ada furnitur apapun. Untuk pasangan suami istri yang baru saja menikah, menurutku ini pas-pas saja. Di dalam komplek rusun pun ada masjid, lapangan, tukang sayur, warung, dan dua warteg. Cukup lengkap dan nyaman.

Hanya beberapa bulan, kami lalu pindah ke rumah dinas di daerah Tiban. Alhamdulillah, rumahnya cukup luas, di dalam komplek yang sederhana. Di sanalah kami tinggal selama empat tahun. Enaknya di rumah dinas ini karena tidak ada biaya bulanan. Namun, di awal sebelum pindah, kami harus keluar modal dulu untuk merenovasi. Karena rumah itu sudah lama kosong dan sudah ada bagian yang rusak.

Setelah empat tahun, kami kembali ke Jakarta, dan kami tinggal di sebuah kontrakan mungil yang mirip dengan rusun. Ada kamar mandi dalam, satu ruangan besar, dan meja kompor. Kontrakan itu seperti rusun karena dalam satu area tak kurang 20 pintu yang terbagi di dua lantai. Ada pagar, dan tempat parkir khusus untuk penghuni. Menuju tempat parkir pun ada pagar kecil yang bisa dibuka dengan sidik jari. 

Itu tempat yang cukup nyaman dan aman bagi keluarga kecil kami. Lagi-lagi, seperti waktu di rusun, kami hanya beberapa bulan di sana dan memutuskan pindah ke tempat yang lebih besar karena akan kedatangan anggota keluarga baru, anak kedua maksudnya.

Sekarang, di usia anak kedua yang sudah dua tahun, kami akan pindahan lagi. Kali ini cukup jauh, lintas kota Jakarta-Tangerang. Alhamdulillah pindahan kali ini tidak sedang hamil, jadi semoga bisa lebih semangat packing-packing, angkut-angkut, dan beres-beres. Wkwk. 

Di mana pun kami menetap, semoga selalu diberkahi Allah, diberikan tetangga yang baik, lingkungan yang aman dan nyaman. Aamiin. 

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day19
Share:

19 June 2024

Ketika Ide Datang Mendadak


Kemarin adalah hari yang mendebarkan dan melelahkan bagi jari-jemari saya. Bagaimana tidak, tepat di hari deadline lomba menulis, saya tiba-tiba terpikir sebuah ide tulisan feature. Kalau tidak dieksekusi, kok, rasanya sayang sekali. Alhasil, saya mencoba sajalah buat, walaupun waktunya tinggal beberapa jam lagi sampai penutupan. And I wasn’t free yesterday. Jadi harus curi-curi waktu, riset kecil-kecilan, dan menulis.

Sebenarnya jika hanya menulis lima ratus kata, it will be just fine. Masalahnya, lomba ini minimal 1500 kata! (Inhale… Exhale…) Saya yang menulis 700 kata saja sudah ngos-ngosan tentu semakin puyeng memikirkannya. Bukan jumlah yang sedikit, secara hitungan halaman kurang lebih lima atau enam halaman A4. 

Akan tetapi, sudahlah, gas pol rem blong. Sampai jam tujuh malam baru dapat lima ratus kata. Kemudian baru bisa benar-benar menulis di jam sepuluh malam, setelah si bocil tidur. Artinya, seribu kata dalam dua jam. Tulisan nonfiksi. Duh, bahkan cerpen pun agaknya sulit juga.

Kalau sambil menulis, waktu memang tidak terasa. Tiba-tiba sudah jam 11.35 pm. Hah?! Baiklah, sepertinya sedikit lagi. Ketika waktu sudah tersisa lima belas menit lagi sebelum waktu submit ditutup, masih kurang 400 kata. Astaghfirullah. 

Seketika seperti orang mabuk, jari-jari bergoyang tidak indah di atas keyboard, mengetik apa saja yang terpikirkan. Tepat pukul 11.59 pm, tombol submit diklik. Eh, kok, error? Kok malah ke-reload? Sempat panik, tapi untunglah isian formnya masih ada. Jadi langsung coba klik submit lagi, dan berhasil! Alhamdulillaaah…

Rasanya seperti habis lari sprint. Setelah itu, tanpa berpikir apa-apa lagi, langsung masuk kamar dan tidur. What a day. Ffiuuhh…

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day18
Share:

17 June 2024

Gramedia Digital, I Love You But I Hate You


Ketika di tahun 2020, Gramedia merilis aplikasi Gramedia Digital untuk membaca ebook secara legal, ah, sungguh aku bahagia dan bersyukur. Karena ini artinya aku tidak perlu menambah ruang atau rak untuk buku-buku baru demi memenuhi nafsu membaca.

Apalagi ketika ada teman yang mengajak sharing berlangganan GramDig, sempurna sudah harapanku terkabul. Aku bisa berlangganan premium, tahunan, dengan harga tetap terjangkau. Koleksi buku yang ditawarkan pun sangat banyak. 

Aku pun mulai meminta rekomendasi buku dari teman-teman, aku bisa membaca berbagai jenis buku tanpa harus membeli versi cetaknya. Dan ini semua legal. Luar biasa. Namun, tiba-tiba, negara api menyerang. Wkwk. 

Bukan, bukan negara api, entah apa yang membuat Gramedia mengotak-atik aplikasi yang sudah cukup baik ini. Di awal tahun ini, muncul sebuah update yang cukup besar. Ketika kita meng-update aplikasi GramDig ini, maka semua buku yang sudah diunduh hilang tak berbekas! Duh, teganyaaa!

Tapi, baiklah, anggap saja ini seperti reset factory, namanya juga perubahan, awalnya mungkin sulit. Aku mulai mengunduh ulang satu per satu buku yang sebelumnya sudah diunduh. Sayangnya tidak semua buku kuingat. Baiklah, jika aku tidak ingat, mungkin itu artinya tidak penting untuk saat ini.

Akan tetapi, tidak cuma itu. Perubahan kedua yang terjadi adalah ada beberapa buku yang tadinya masuk ke dalam koleksi langganan premium, sekarang tidak lagi. Artinya, kita harus tetap beli satuan, di luar langganan.

Huff… Di sini, aku mulai membencimu, GramDig. Tapi rasa cintaku lebih besar. Dan periode langgananku juga belum habis. Wkwk.

Hal selanjutnya yang justru menyebalkan setelah adanya update adalah, jika kita belum selesai membaca buku, ketika membuka buku itu lagi akan terbuka halaman awal lagi. Padahal sebelumnya otomatis terbuka di halaman yang terakhir dibaca. Sekarang kita harus rajin memberi highlight atau saved page sebagai pembatas buku.

Namun, begitupun aku masih bertahan. Dan GramDig ini semakin menguji kesabaran. Kembali update datang, dan setelah di-update, malah keluar notif menyebalkan setiap kali membuka buku. Dan notif itu sebenarnya tidak memberi pengaruh apa-apa. Hh.. Entah apa yang diinginkan developer aplikasi ini. 

Kita lihat kelanjutannya, apakah akan lebih baik, atau justru lebih buruk.

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day17
Share:

16 June 2024

Catatan Tengah Malam

Day 16

Takbir bergema. Iduladha di depan mata. Alhamdulillaah. Alhamdulillaah. Besok, semoga bisa salat iduladha dengan lancar. Semoga amal ibadah kita diterima. 


Semoga, ibadah-ibadah kita, bukan sekadar amalan badam. Bukan sekadar memenuhi kewajiban. Bukan sekadar ikut-ikutan.


Rindu sekali, ketika ibadah sehari-hari benar-benar merasuk di hati. Sungguh-sungguh dihayati, dipahami. Ketika ibadah menjadi penenang, pengalih perhatian dari kesibukan dunia yang tidak ada habisnya.


Ketika salah fokus terus menerus, aku merindukan ibadah yang benar-benar serius. Merindukan niat yang lurus, dan tidak terbawa arus.


Ah, memang benar sebuah nasihat yang pernah kudengar. Rezeki yang tidak mendekatkan kepada Allah, rezeki yang justru melalaikan dari ibadah, sejatinya bukanlah rezeki. Sebaliknya, itu adalah musibah yang tak disadari. Astaghfirullaah.


Ketika hati ini terlena dengan dunia, semua terasa begitu penting, sekaligus sangat sia-sia. Terasa lelah, tanpa hasil yang indah. Bukannya pelepas dahaga, justru haus makin terasa. Astaghfirullaah.

Semoga Allah selalu membimbing hati yang sering lalai ini. Semoga Allah selalu menuntun langkah yang lemah ini. Sebuah perubahan yang sangat perlahan, semoga tetap dalam kebaikan.

Di tanggal 10 Dzulhijjah ini, semoga Allah izinkan kita membersihkan hati, memulai lagi semuanya dengan hati-hati. Karena kita tak ingin terpeleset ke lidah api, dan menyesal di hari nanti. Semoga Allah jaga hati ini, selalu dalam kebaikan. Aamiin.

Sebuah catatan menjelang tengah malam sunyi. Begitu sunyi, sampai kumerasa berisik sendiri. Suara-suara di hati dan pikiran yang begitu bising. Semoga Allah jaga dan lindungi hati yang lemah ini. Aamiin.

#30DWCJilid46

#30DWC

#Day16

Share:

Mendadak Thriller Gara-gara Aplikasi Penipuan

Kemarin sore menjadi hari yang menegangkan. Karena tanpa sengaja, aku memgunduh file berekstensi .apk yang dikirimkam via WA oleh seorang kawan. You know what it means? Yap! Itu adalah aplikasi penipuan.

Kabar tentang modus penipuan ini sudah banyak tersebar, aku pun sudah tahu. Aku bahkan pernah mengingatkan ibuku tentang adanya modus seperti ini. Namun, ketika dihadapkan langsung, well, it's a different story.

Awalnya aku memang merasa bingung, kok temanku tiba-tiba mengirim WA ke sebuah grup webinar yang sudah lama. Kemudian kubacalah pesan WA itu. Wah, undangan pernikahan. Siapa yang menikah? Batinku.

Lalu, seperti refleks saja, jari jempolku dengan entengnya mengklik file yang berjudul "undangan pernikahan. Baru beberapa detik setelahnya aku menyadari bahwa file itu adalah APK. Hampir saja aku mengklik lagi file itu dengan maksud meng-cancel unduhan, tapi ternyata sudah selesai diunduh! Kalau kutekan lagi justru akan membuka file dan menginstall aplikasi jahanam itu.

Akhirnya karena panik, aku langsung mematikan handphone. Kemudian aku menelepon CS bank BSI dan memblokir akun mobile banking. Sedangkan CS bank Mandiri menyarankan aku memblokir tidak hanya mobile banking, tapi juga ATM dan rekening. Just to be safe. Aku menurut saja.

Setelah itu barulah aku kembali menyalakan handphone, sambil tetap di airplane mode. Aku mencari-cari aplikasi yang terinstall, tapi tidak ketemu. Termasuk di sistem. Kemungkinan file aplikasi itu baru terunduh, tapi belum terinstall. 

Aku pun mencari file yang diunduh tadi, tapi lagi-lagi tidak ketemu di Files. Baru ketika aku menggunakan fitu cari, dengan keyword "undangan", muncullah file laknat tersebut. Aku langsung menghapus file itu.

Namun, sampai dua belas jam setelah itu, aku belum berani menyalakan akses internet di handphon. Hh.. Begitulah sore hariku yang mendadak thriller.

Alhamdulillah 'ala kulli haal.
Ini menjadi teguran tersendiri buatku. Mungkin aku terlalu banyak main HP, scroll-scroll tak berfaedah. Padahal ini hari arafah, harusnya banyak beribadah. 

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day15

Share:

14 June 2024

Opsi Rumah Baru

Day 14

Pencarian rumah kembali menemukan drama. Well, sebenarnya bukan drama juga siy, karena ini bukan sesuatu yang buruk. Malahan mungkin sebenarnya ini hal yang baik.

Jadi, di last minute, injury time, ketika kami sudah 80% yakin dengan satu pilihan, tiba-tiba muncul pilihan lain. Pilihan baru ini tampak begitu menggiurkan, dari segi biaya yang lebih murah, rumahnya sendiri dari luar tampak oke. Secara lokasi juga mendukung.

Ah, ini membingungkan sekaligus menggiurkan. Berada di antara dua pilihan yang sama-sama bagus. Insyaallah, besok adalah penentuannya. Besok, sama-sama baru akan lihat langsung kedua pilihan itu. Bismillaah. Semoga Allah berikan pilihan terbaik, tempat tinggal yang penuh berkah. Aamiin.

Nah, selain itu, hari ini anak sulung terima rapor semester dua. Genap sudah perjalanannya dua tahun di TK. Alhamdulillaah.

Sampai rumah, saya langsung melihat karya si anak selama di sekolah. Semua tugas-tugas sekolah selama setahun ini dibawakan pulang oleh gurunya. 

Bagian yang paling menarik adalah melihat gambar-gambar hasil karya anak ini. Masyaallah, sungguh di luar prediksi BMKG. Ketika diberi tugas menggambar bebas, anak kicik ini menggambar solar eclipse. 

Di hari lain, dia menggambar perbandingan antara keadaan matahari hari ini, dan apa yang terjadi 50 miliar tahun lagi. Masyaallah. Tentu saja dia hanya dengar dari YouTube. 

Selebihnya dia menggambar planet-planet. Untungnya diberi nama planet-planet itu. Kalau tidak, kasian kali gurunya. Hyahaha. 

Dan ketika aku tertawa karena beberapa gambarnya yang normal (seperti rumah, pohon, dll) tapi jelek, anak ini hanya bilang, “low quality”. Hyahaha. 

Masyaallaah. Semoga perjalanan selanjutnya selalu diberi kemudahan dan keberkahan oleh Allah. Aamiin


#30DWCJilid46

#30DWC

#Day14




Share:

13 June 2024

Menyapih Anak Kedua

Waktu menunjukkan pukul 23.41 dan aku baru saja membuka laptop, mulai menulis. Sungguh aku tidak tahu akan menulis apa. Yang kutahu hanyalah, aku tidak ingin jika hari ini tidak setoran 30 DWC, atau telat setor. Jadi, kutulis sajalah apa yang terlintas.

Well, actually nothing goes on my mind right now. Ah, paling mudah adalah menuliskan keluhan atau uneg-uneg atau yaa semacam itu. So, saat ini hal yang paling sulit adalah menyapih. Ya, menyapih si bungsu, ini berbeda sekali situasi dan kondisinya dibanding lima tahun lalu saat menyapih si sulung.

Karena pengalaman menyapih anak pertama yang terbilang mulus, memang agaknya aku meremehkan hal ini di anak kedua. So, here i am. Anak bungsu sudah berusia 26 bulan tepat di hari ini, dan masih belum disapih. Padahal, sejak beberapa bulan lalu dokter sudah menyarankan untuk disapih agar makannya lebih lahap.

Well, the problem is, trik yang kugunakan saat menyapih anak pertama dulu tidak bisa digunakan lagi sekarang. Lagi-lagi, ya itu, perbedaan situasi, kondisi, dan karakter si anak juga. 

Perbedaan paling utama adalah, dulu anak masih sebiji, jadi bisa fokus. Kalaupun mengajak bepergian hanya membawa satu bocil. Sekarang a whole different story.

Perbedaan kedua adalah, kemampuan bicara anak. Dulu, anak pertama di usia 26 bulan sudah cukup lancar bicara, sudah bisa komunikasi dua arah. Sedangkan adiknya ini belum, jadi agaknya itu cukup berpengaruh.

I think that’s enough word untuk setoran hari ini. Astaga, bahasa gado-gado begini jadi macam anak Jaksel bener. Emang iya, sih. Wkwk.


#30DWC

#30DWCJilid46

#Day13

Share:

12 June 2024

ISK, Fimosis, dan Sunatan yang Tertunda


Bagi ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki mungkin sudah kenal dengan istilah fimosis. Fimosis adalah keadaan ketika kulit kulup penis itu terlalu rapat, sehingga ketika ditarik akan sulit untuk kepala penisnya keluar. Kondisi ini membuat risiko infeksi saluran kencing (ISK) meningkat.

Itulah yang dialami oleh si sulung. Dia sudah pernah terkena ISK ketika usia hampir empat tahun. Waktu itu dokter mendiagnosis fimosis dan menyarankan sunat. Alhamdulillah ISK-nya sembuh. Namun, belum kunjung disunat karena anaknya masih sangat enggan.

Kira-kira setahun kemudian, dia ISK lagi dan agak lebih parah. Kali ini benar-benar diperiksa urin, USG, dan diberi obat antibiotik. Alhamdulillah sembuh. Lagi-lagi dokter menyarankan segera sunat. Ketika itu dokter menyarankan sunat di rumah sakit, karena ada kondisi fimosis dan sudah pernah ISK.

Nah, setelah bujuk rayu, beberapa bulan setelahnya anaknya mau disunat. Dia sudah tidak takut lagi karena diiming-imingi akan disunat barengan dengan saudara sepupunya, berempat. Wkwk.

Rencananya mereka berempat akan diikutkan di sunatan massal. Dua minggu sebelum hari-H, diadakan screening untuk mengetahui apakah anak-anak ini bisa disunat di sunatan massal atau tidak. Dan dari empat anak ini, ternyata hanya dua yang lolos screening, sementara dua lainnya–termasuk anakku–tidak lolos.

Dokter bilang karena ada fimosis, sehingga proses sunatnya bisa jadi lebih lama. Dikhawatirkan anestesi yang diberikan sudah habis ketika proses belum selesai. Karena di sunatan massal ini dosis anestesi yang diberikan memang yang minimalis. Jadi, disarankan untuk sunat di rumah sakit atau di klinik. 

Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Semoga saja setelah ini si sulung masih semangat untuk disunat walaupun tidak rame-rame. 

Well, sepertinya ini salah satu pernak-pernik anak laki-laki.

#30DWCJilid46

#30DWC

#Day12


Share:

11 June 2024

Ini Tidak Seburuk yang Kamu Pikirkan


Ketika mendapati suatu kesulitan di tengah jalan, aku seringkali langsung berpikir, “ini sulit”, “ini tidak mungkin”, dan semacamnya. Padahal aku belum benar-benar mengalami atau menjalaninya. 

Ketika sudah dijalani, ternyata itu tidak seburuk yang kubayangkan. Perasaan pesimis ini menurutku tidak sepenuhnya buruk. Dalam sebuah kelas online tentang pengasuhan, aku pernah membaca, bahwa ketika anak akan disuntik, jangan katakan “ngga sakit kok”. Karena kalau begitu, anak justru tidak siap, dan sakit yang dirasakan ketika jarum disuntikkan justru bisa jadi terasa lebih sakit dari seharusnya karena adanya efek kaget.

Tubuh tidak siap dengan rasa sakit yang akan datang. 

Sebaliknya, kita justru harus memberi pengertian pada anak, bahwa apa yang akan dilakukan ini sakit lho, tapi ini demi kebaikan. Dengan begitu, tubuh akan bersiap, sehingga rasa sakit itu bisa diantisipasi.

Mungkin kurang lebih begitu yang kurasakan ketika akan menghadapi hal yang tidak disuka. Lebih baik membayangkann kemungkinan terburuk, agar tubuh kita siap. Jika yang terjadi tidak seburuk yang dibayangkan, maka alhamdulillah.

Namun, jika ternyata memang seburuk itu, tubuh sudah bersiap sehingga tidak kaget. Karena sebelumnya, otak telah melakukan simulasi atas hal itu. Namun, yang perlu diingat, jangan juga terlalu berlebihan sehingga rasa takut yang mendominasi.

Alhamdulillah, di bulan Juni ini, kami telah sampai di penghujung salah satu lorong yang telah dilalui beberapa bulan terakhir. Semoga ada cahaya terang nan indah yang menanti di ujung sana.

#30DWC

#30DWCJilid 46

#day11


Share:

10 June 2024

Pengalaman Mengikuti Editor’s Clinic Gramedia Pustaka Utama

Biasanya di klinik kita akan bertemu dokter, konsul atau berobat tentang kesehatan diri kita. Nah, kalau di klinik yang satu ini, kita bukan bertemu dokter, melainkan editor. Dan bukan badan kita yang diperiksa, tapi naskah kita. Menarik kan?

Pertama kali saya mendengar ada acara editor’s clinic ini sekitar pertengahan tahun lalu. Di akun IG-nya, Gramedia mengumumkan seleksi naskah untuk editor’s clinic. Sayangnya, waktu itu naskah saya belum rampung. Terpaksa melewatkan kesempatan berharga itu. Hiks.

Nah, alhamdulillah, dua bulan berselang, Gramedia kembali membuka kesempatan untuk ikut editor’s clinic di acara Indonesia International Book Fair (IIBF). Tentu saja saya tidak mau kelewatan kesempatan lagi. Langsung rapikan naskah, dan submit.

Naskah yang dikirim hanya outline atau sinopsis keseluruhan dan tiga bab pertama. Lalu tinggal duduk anteng menunggu pengumuman lolos atau tidak. Alhamdulillah, naskah saya menjadi satu dari sepuluh naskah yang terpilih. Ada sepuluh naskah fiksi, dan sepuluh nonfiksi, saya termasuk yang nonfiksi.

Nah, karena naskah saya temanya tentang muslimah, saya kira akan dipertemukan dengan editor dari Quanta. Ternyata, ketika sampai di lokasi, editor yang mereview naskah saya adalah editor nonfiksi GPU!

Duh, makin deg-degan! Wkwk. Maaf, ya, norak banget, tapi memang se-degdeg-an itu. Seperti degdegan pas jadi petugas upacara di sekolah untuk pertama kalinya, mungkin gitu lah kurang lebih. Haha.

Cara saya untuk mengurangi degdegan adalah mengobrol dengan peserta lain yang juga lagi antre. Lumayan membuat santai. Dan tidak lama kemudian giliran saya–lebih tepatnya naskah saya–yang diperiksa oleh editor, Mba Nadhira namanya.

Awalnya saya diminta menjelaskan gambaran umum tentang naskah. Kemudian Mba Nadhira memberi beberapa saran. Tidak banyak masukan saat itu. Saya hanya diminta menyelesaikan naskah dan mengirimnya kalau sudah selesai.

Kata-kata yang paling mengena saat itu justru “take your time”. Mba Nadhira yang juga seorang ibu memahami sekali riweuhnya mengasuh anak sambil menulis. Saya senang sekaligus lega karena merasa dimengerti. Alhamdulillah.

Setelah sesi konsultasi naskah yang hanya lima belas menit itu, semangat saya langsung melesat. Pastinya, dong. Akan tetapi, menyelesaikan naskah, swasunting walaupun alakadarnya, memang tidak semudah itu. Dan sampai sekarang belum kelar. Hiks. Insyaallah sedikit lagi.

Semoga bulan depan sudah bisa dikirim. Aamiin. Mohon bantu doakan ya, teman-teman!

#30DWCJilid46
#30DWC
#Day10
Share:

09 June 2024

Mencari Rumah (Lagi)

Bulan Juni tahun ini ternyata menjadi salah satu bulan yang paling sibuk. Salah satunya karena harus mencari rumah kontrakan baru. Sebuah pencarian yang tidak mudah, seperti mencari jodoh. Wkwk.

Apalagi pindahan kali ini agak jauh. Maka pencarian pun tidak semudah yang sudah-sudah. Namun, alhamdulillah, Allah mudahkan kami menemukan beberapa opsi. Insyaallah, semoga tempat bernaung kami nantinya penuh dengan keberkahan.

Selain pindahan, sebuah momen besar di bulan ini juga adalah sunatan. Si anak sulung akhirnya mau disunat. Sebagai ibu yang tidak punya adik atau kakak laki-laki, ini akan jadi pengalaman baru yang agak bikin deg-degan bagi saya.

Akan tetapi, yaa insyaallah, saya yakin dengan segera sunat ini adalah hal yang terbaik. Bahkan dokter sebenarnya sudah menyarankan sunat sejak awal tahun. Waktu itu karena si sulung ISK, dan memang ada fimosis, jadi lebih cepat disunat akan lebih baik.

Sebelum disunat akhir bulan nanti, si sulung akan diperiksa dulu. Dokter akan menilai apakah bisa disunat biasa secara konvensional oleh dokter umum, atau perlu perlakuan khusus di RS. Mengingat dia pernah ISK, saya agak waswas juga. 

Satu dokter pernah bilang sebaiknya sunat di RS karena pernah ISK, sementara dokter lain bilang aman-aman saja untuk sunat biasa. Hanya saja sebaiknya sebelum sunat cek urin dulu untuk memastikan tidak ada infeksi.

Semoga semua lancar, semoga Allah beri kesehatan dan kemudahan dalam setiap proses ini. Aamiin.


#30DWCJilid46

#30DWC

#Day9

Share: